webnovel

Pendaftaran

Riski menjalankan usahanya dengan baik, semua pesanan pelanggan dapat ia kirimkan dengan baik. Riski mendapatkan respon yang baik pula, ada yang bersyukur ada yang mengantarkan sayur, ada yang tidak usah capek pergi ke pasar, dan masih banyak lagi.

Capek. Hanya satu kata yang dapat Riski terima kali ini, ia bekerja sendirian, mengantarkan sayur ke seluruh pelosok kota ini juga dengan sendirian. Keuntungan yang lain, Riski jadi hafal seluruh jalan di kota ini.

Kali ini Riski ingin libur, karena harus mengurus pendaftarannya masuk ke SMK. Banyak berkas yang harus ia bawa, dan di serahkan ke SMK yang Riski inginkan.

Karena nilai ujian Riski dapat dikatakan yang terbaik, ia berniat mengambil jurusan yang paling favorit juga yaitu Kimia Industri. Riski sudah yakin, dengan nilainya yang segitu, sudah pasti dirinya akan di terima.

"Riski mau daftar SMK, bu. Berangkat jam berapa kesana?" tanya Riski ke Sastro yang juga sedang libur dari kerjanya.

"Kita berangkat jam 8 aja yaa, nggak terlalu pagi dan nggak terlalu siang." balas Sastro seadanya, karena pagi ini Sastro harus mencuci baju terlebih dahulu.

Riski langsung pergi dari hadapan Sastro dan berjalan mengambil sebuah buku catatan usahanya. Riski melihat setiap hari keuntungannya mencapai berapa, ada satu hari dimana Riski sepi pelanggan. Tapi itu bukan masalah yang besar, Riski sudah terbiasa mengatasi masalah itu ketika bekerja bersama Widya.

Riski membolak-balik catatan itu, Riski selalu mencatat semua pengeluaran dan juga pemasukan usahanya. Bahkan, ia juga mencatat ketika Sastro meminta uang. Ya, meskipun belum bisa ngasih uang yang banyak, tetapi Riski selalu memberi Sastro uang. Riski juga menyisihkan uangnya sedikit untuk bersedekah.

Riski memikirkan, bagaimana usahanya bisa lebih maju dari ini. Ia tidak mau jika hanya stuck seperti ini saja. Riski sebenarnya sudah memikirkan ini sebelumnya, tapi untuk kesana butuh modal uang yang besar pula, idenya adalah membuka usaha itu di luar kota.

Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 8. Sastro juga sudah selesai mencuci bajunya, lalu segera bersiap-siap. Sedangkan Riski masih duduk termenung di meja dengan buku yang terus ia bolak-balik.

"Berangkat sekarang yaaa?" tanya Sastro yang mengagetkan Riski.

Riski menengok jam di dinding sebelah kanannya, dan ternyata benar sudah menunjukkan pukul 8.00.

"Ayo." jawab Riski seadanya.

"Kamu yakin mau sekolah di sana?" tanya Sastro meyakinkan Riski, sebenarnya Rudy menyarakannya masuk ke SMA, tapi ditolak sama Riski.

Riski mengkerutkan keningnya, "Emangnya kenapa, bu?"

"Iya kalo sudah yakin nggak papa. Udah di pikirin matang-matang, kan?"

"Sudah, bu. Soalnya lulusan SMK itu banyak yang langsung bekerja, Riski tak ingin kuliah. Kuliah nggak ada uangnya, bu. Apalagi kuliah itu kan mahal."

"Yasudah kalo inginmu seperti itu, nggak papa. Ibu mah nurut keputusanmu aja bagaimana maunya."

Riski tak ingin kuliah sebab ia tak ingin merepotkan Sastro-ibunya. Riski juga tak bisa jika harus membagi bekerja dengan kuliah, karena dulu Rudy pernah bekerja sambil kuliah, tetapi malah nilai kuliahnya hancur. Riski tak ingin akan seperti itu, merepotkan ibunya dan juga kakaknya. Riski ingin hidup mandiri, apalagi kalo sudah bekerja, bisa membantu ekonomi keluarganya. Dari usaha sayur ini saja, Riski sudah banyak membantu Ibunya.

Kalo misalnya ada biaya, Riski pasti mau untuk kuliah. Riski harus menerima keadaan, mengubur mimpinya dan mencari cara lain untuk kesana.

"Yasudah ayo berangkat." tukas Sastro, dan Riski hanya mengangguk.

Riski mulai menjalankan motornya. Entah kenapa, banyak pikiran di otaknya. Pikiran itu membuat Riski sebenarnya enggan untuk sekolah.

Riski takut dijauhi oleh teman-teman barunya, karena keadaan yang seperti ini. Pasti ia akan mendapatkan hinaan, lebih kejam atau justru lebih baik?

Saat SMP saja Riski mendapatkan perlakuan seperti itu. Harapan Riski hanya satu, semoga ia dapat di terima baik oleh teman sekelasnya ataupun dari kelas lain.

Perjalanan Riski memakan waktu 20 menit dari rumahnya. Di sana sudah ramai sekali siswa-siswa baru, dengan wajah yang cantik dan juga rupawan. Dari sini, Riski sudah merasakan inaecure yang luar biasa. Hatinya tergerak ingin pulang, tapi jika ia tidak sekolah, bagaimana bisa mencapai mimpinya?

"Besar banget, bu. Beda kayak di SMP." celeut Riski saat sudah masuk ke halaman depan sekolah itu.

"Iyaa, ini merupakan sekolah favorit di sini. Ya, maklum aja kalo muridnya banyak, dan sekolahnya besar." jawab Sastro.

Mereka berdua berjalan menuju tanda yang sudah di jelaskan, ada beberapa tanda panah dan beberapa siswa yang menuntun ke arah pendaftarannya.

"Kesini, bu." jawab siswa itu dengan ramah dan tersenyum lebar.

Riski mulai dari sini mulai berpikir. Kayaknya SMP dan SMK akan berbeda, buktinya kakak kelas itu sangat ramah. Yah, semoga saja Riski mendapatkan hak yang sama dengan yang lain.

Setelah sampai di tempat pendaftaran, Riski mengeluarkan berkas-berkasnya. Ini tergolong cepat, karena banyak sekali guru yang sedang berjaga untuk mengambil berkas itu. Total ada 10 guru, jadi ketika Riski datang sudah di sambut langsung oleh guru itu.

Riski langsung menyerahkan berkas tersebut ke guru yang bernama Bapak Marwan.

Marwan langsung membuka hasil ujian dari Riski, ia terkejut, "Bagus ya nilai kamu. Pasti di terima ini." jawabnya santai.

"Serius pak?" tanya Riski yang juga kaget dengan jawaban orang yang berada di depannya itu.

"Iyaa, untuk saat ini nilai kamu yang paling tinggi." jelas Marwan yang sudah memasukkan data Riski di daftar sekolah ini.

"Nanti kamu bisa lihat peringkatmu di sini ya. Kalo kamu masih ada di daftar ini berarti kamu di terima." Marwan menunjukkan sebuah tulisan di mejanya.

Sastro di sebelah ikut tersenyum bahagia mendengar pernyataan dari Marwan.

"Ini udah di masukkan datanya, nama kamu sudah ada." Marwan menunjukkan layar laptop itu ke Riski.

"Makasih pak." jawab Riski seadanya, ia melihat namanya berada di tempat paling atas alias nomor 1.

"Ini nanti masalah seragam bagaimana ya, pak?" Sastro mulai berbicara.

"Oh, masalah itu nanti kalo sudah penutupan, bu. Nanti kalo sudah di terima bisa datang ke sini untuk mengambil seragam." jelas Marwan ramah.

"Oalah, iyaa. Terimakasih pak." balas Sastro dengan tersenyum juga.

Riski mengkerutkan keningnya, "Pak, boleh bertanya?"

"Boleh dong."

"Kalo sudah lulus dari sini biasanya cepat dapat kerja, ya? Apa itu benar?" tanya Riski to the point. Bahkan Sastro yang di sebelahnya ikut tersentak.

"Betul, soalnya jurusan kimia itu di butuhkan di pabrik. Soalnya jurusan kimia itu paling penting, sekolah ini juga bekerjasama dengan beberapa perusahaan. Jadi siswa yang berprestasi, akan langsung kerja dengan perusahaan itu. Semangat yaa." jelas Marwan.

"Yaudah. Terimakasih, kalo begitu mau pamit pulang dulu ya, pak."

"Iya, hati-hati."

Sastro menyalami Marwan bertujuan bahwa ia akan pamit pulang.