Kebaikan selamanya tetap akan menjadi kebaikan. Apapun yang terjadi, ia sadar bahwa ia berhutang budi pada pria itu. Akhirnya ia mengesampingkan egonya agar seyogyanya ia tidak selalu merasa sakit hati mengingat keburukan yang telah dilakukan oleh pria itu.
"Jadi, selama ini kamu tinggal di mana…Jade?" Tanya Ivory khawatir kepada sosok pria itu. Ada sesuatu yang seakan menghentikan tenggorokannya ketika ia hendak memanggil pria tersebut dan tidak mampu menganggapnya sebagai seorang kakak lagi setelah ia memutuskan untuk meninggalkan mereka dan memutuskan hubungan tali persaudaraan dengan pria dari keturunan seorang psikopat yang telah memporak porandakan keluarganya.
"Kamu masih peduli padaku?"
"Anggap aja itu sebagai rasa terima kasihku padamu karna kamu udah membantu merawat mamaku selama ini. Aku minta maaf atas kesalahanku selama ini terhadapmu dan maaf karna aku mungkin telah mengecewakanmu bahkan gak jarang aku menyakitimu serta selalu menjadi beban bagimu dan akhirnya merepotkanmu."
"Jangan berpikir begitu. Itu udah jadi kewajibanku. Jadi kamu gak perlu berterima kasih begitu."
"Sejak saat itu kamu tinggal di mana bersama mama?"
"Orang itu telah membawa Catherine bersamanya meninggalkan kami ketika keadaan mama Moniq udah seperti itu. Kabar yang kudengar sebelum mama sakit, dia ternyata telah menikahi wanita lain lagi dan segera menceraikan mama lalu segera menggadaikan semua aset kepemilikan keluarga Smith dan mengusir kami. Mungkin itu juga sebabnya mama gak bisa bertahan hingga akhirnya terkena serangan jantung dan akhirnya koma. Setelah itu aku langsung membawa mama ke rumah sakit dan karna gak punya tujuan lagi yah, akhirnya hanya di sinilah aku tinggal, menemani mama hingga sadar tapi ternyata keadaan mama gak membaik juga hingga dokter menyampaikan hal tersebut padaku…aku udah kehabisan akal dan tabunganku pun udah gak cukup untuk membantu mama lagi, hingga…"
Tenggorokan Jade seakan tercekat dan tidak mampu meneruskan kata – katanya karena rasa sakit yang timbul setiap kali ia mengingat kembali keadaan Moniq sebelum dioperasi dan jauh di dalam lubuk hatinya ia ingin mengatakan bahwa meskipun hubungannya dengan Robin tidak begitu baik, diluar dari apapun yang terjadi, pria tersebut telah menolong mereka tepat pada waktunya. Hanya saja rasa gengsinya yang terlalu besar membuatnya tidak mampu mengutarakan hal tersebut karena begitu takut kalau pria itu malah akan menjadi besar kepala.
"Aku paham kok. Sekali lagi maaf karna udah membebanimu…"
"Gimana kalo nanti mereka tinggal bersama kita dulu aja sayang?" bisik Robin menawarkan.
"Tapi…rumahmu akan jadi terlalu ramai dan itu akan merepotkanmu bukan?"
Robin menggelengkan kepalanya dan tersenyum kepada gadis itu lalu merangkulnya.
"Bukankah udah kukatakan padamu tadi? Sejak kamu menjadi milikku, keluargamu udah kuanggap sebagai keluargaku juga kecuali…kalo ada orang yang gak mau dianggap begitu…" ujar Robin melirik sinis kearah Jade sekilas membuat pria yang ternyata mendengar pernyataannya itu kembali merasa geram.
"Apa maksud ucapanmu itu?" ujar Jade ketus.
"Stop! Jade, bisa gak kamu sedikit aja menurunkan egomu itu? Robin udah banyak berkorban dan membantu kita. Begini, setelah kupikir – pikir kembali, aku udah memutuskan akan menyewa rumah kecil yang berada tidak jauh dari lokasi rumah Robin," ujar Ivory mantap hingga membuat kedua pria tersebut terperanjat.
"Sayang, apa kamu yakin dengan keputusanmu itu? Aku begitu khawatir akan keselamatanmu dan ibumu kalo kalian hanya berdua nantinya."
"Gak apa – apa sayang, aku harus belajar mandiri mulai dari sekarang. Aku juga gak mungkin menumpang di rumahmu terus, udah dua tahun ini aku terus merepotkanmu dan sekarang aku juga udah bekerja, jadi kurasa penghasilanku cukup untuk biaya kuliah dan biaya hidup kami. Kamu gak perlu khawatir," ujar Ivory dengan penuh semangat dan tersenyum menatap Robin membuat pria tersebut semakin kagum akan kegigihannya.
"Kalo kamu udah memutuskan begitu, aku juga gak bisa melarang kamu lagi," ujar Robin mengelus kepala gadis itu seakan ia sedang menyayangi seorang anak kecil. "Tapi bagaimana dengan dia? Apakah dia juga akan tinggal bersama kalian?" tanya Robin penasaran seraya melirik ke arah Jade.
Keheningan segera terjadi di ruang itu. Mereka terlihat begitu sibuk dan larut dalam pikirannya masing – masing. Waktu seakan bergulir begitu cepatnya membuat mereka tidak menyadari bahwa mereka telah melewati waktu seharian di rumah sakit tersebut dan masih membahas hal yang sama sembari menunggu Moniq hingga sadar kembali dari tidurnya. Bahkan tanpa disadari, mereka telah menghabiskan waktu di sana seharian hingga akhirnya mereka jatuh terlelap. Keesokan paginya, Moniq mulai menunjukkan tanda – tanda kesadaran dirinya dan merintih kesakitan seraya memegang kepalanya yang terasa bagaikan dihantam kuat oleh palu besar dan disayat oleh pisau tajam. Seketika ia melihat sekelilingnya namun ia sepertinya tidak mengenali orang – orang yang ada dihadapannya. Ivory yang tiba – tiba menyadari bahwa ternyata ia telah ketiduran ditemani kedua pria tersebut di sebelahnya lalu terbangun, dan yang membuatnya lebih terperanjat lagi ketika ia melihat ibunya yang sudah sadar dan membuatnya begitu kaget bercampur haru dan bahagia. Ia segera memanggil dan meminta kepada dokter yang menangani ibunya untuk memeriksa keadaan.
"K…ka…lian siapa?" tanya Moniq yang masih dalam keadaan lemah.
Bagaikan dilempar oleh sebuah bom, pertanyaan Moniq tersebut membuat Ivory begitu terperanjat. Apa yang telah terjadi pada mama, batinnya.
"Ma, ini Ivory, putri mama."
Jade dan Robin yang merasa mendengarkan suara seorang gadis di alam bawah sadarnya segera terbangun dan begitu kaget karena ternyata Moniq sudah sadar dari tidurnya, namun mereka merasa bingung karena sepertinya Moniq tidak mengenali mereka bahkan putrinya sendiri.
"Ivy, mama kenapa?" tanya Jade penasaran namun gadis itu hanya menggelengkan kepala tidak percaya pada apa yang sedang dilihatnya.
"Putri? Aku siapa? Kenapa aku bisa memiliki seorang putri?" tanya Moniq bingung seperti seorang yang dungu tanpa mengetahui apapun dan tidak mengenali siapapun yang ada disekitarnya.
"Ma, apakah mama masih ingat aku? Ini aku Jade, putra sambung mama, masih ingat?"
"Jade? Putra sambung?" Ujar Moniq menggelengkan kepalanya terus menerus bagaikan seorang idiot.
Ivory segera menanyakan dokter yang baru saja tiba dan menyapa mereka.
"Dok, tolong cek kondisi mama. Mengapa mama bisa lupa sama putrinya sendiri?"
Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, dokter memvonis adanya efek samping yang terjadi pasca operasi dan pasca keadaan koma yang menyebabkan Moniq akan mengalami amnesia untuk sementara waktu.
"Apa? Amnesia? Tapi sampai berapa lama dok?"
"Tergantung masing – masing pasien. Yang harus kalian lakukan saat ini, teruslah ingatkan beliau benda – benda yang berarti baginya terutama foto keluarga, agar memori otaknya bisa terangsang dan ingatannya mudah – mudahan akan kembali lagi seperti semula. Kemudian, Ibu Moniq harus diterapi karena itu sangat dibutuhkan untuk pasien pasca operasi agar fungsi saraf otaknya bisa segera pulih seiring dengan kembalinya memorinya. Tapi ingat, jika sebuah kontraksi seperti rasa sakit terjadi padanya ketika kalian mencoba untuk memancing ingatannya, maka berhentilah. Jangan terlalu memaksakan ibumu untuk mengingat semuanya jika beliau belum bisa, karna semua butuh waktu dan proses. Kita gak akan pernah tau sampai berapa lama namun tetap bersabarlah, optimis, dan bantulah beliau. Perlahan namun pasti."
Ivory kemudian menjatuhkan dirinya pada sandaran kursi tempat duduknya semula. Pandangan lurusnya ke arah wajah ibunya yang terlihat seperti orang kebingungan itu seakan terus menyayat hatinya, membuatnya meneteskan air mata tanpa dimintanya. Ingin sekali ia menghukum dirinya sendiri mengingat semua yang telah dilakukannya selama ini. Membuatnya merasa begitu bersalah seakan tidak ada hal apapun yang bisa menghapuskan dosa yang telah dilakukannya yang telah menyebabkan ibunya menjadi seperti itu. Robin yang segera menyadari kekasihnya tersebut mulai membanjiri wajahnya dengan tangisan segera membenamkan wajah gadis itu dalam pelukannya untuk menenangkannya.
"Ini semua terjadi karnaku. Ini salahku. Semuanya salahku," ujar Ivory lirih.
"Sayang, tenanglah dulu. Seperti yang kukatakan sebelumnya, jika ada yang seharusnya disalahkan, maka itu aku. Bukan kamu."
"Masih berani mengakui dosa kamu?" tanya Jade sinis.
"Aku gak sedang bicara sama kamu. Jangan merasa paling benar. Ingatlah apa yang telah keluargamu lakukan terhadap mereka. Kamu lihat? Sekarang semuanya jadi begini, apa yang bisa kamu lakukan?"
Rasa kekhawatiran Ivory yang begitu besar membuatnya tidak mempedulikan pertengkaran kedua pria tersebut lagi. Ia kembali teringat akan semua foto – foto yang mereka simpan selama tiga generasi di gubuk 'Rahasia Cinta' milik James di pantai itu. Mungkin dengan foto – foto tersebut bisa mengembalikan ingatan ibunya secepat mungkin pikirnya. Tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mengambil kunci motor Robin untuk menuju pantai tanpa mengajak kedua pria tersebut lagi. Untungnya, Robin pernah mengajarkannya cara mengendarai motor tersebut sebelumnya. Namun hal tersebut membuat Robin begitu kaget.
"Iv, kamu mau ke mana? Biar aku antar!"
"Gak perlu! Aku mau ke suatu tempat dan akan segera kembali. Tolong jaga mama."
Robin hendak menyusul gadis itu namun Jade menghadangnya.
"Kalo dia udah bilang begitu turuti saja. Dia gak akan suka kalo kamu anggap remeh begitu."
"Kamu ini gimana sih? Memangnya kamu gak ada rasa khawatir sedikitpun?"
"Apa kamu baru kali ini menjalin hubungan dengan seseorang? Kenapa aku merasa kamu ini pria yang terlalu over protective? Sikapmu yang seperti itu akan membuatnya gak merasa nyaman sama kamu. Lagian aku percaya sama dia. Dan kurasa aku tau ke mana dia akan pergi."
"Ke mana?"
"Aku rasa aku gak punya alasan untuk menceritakannya padamu. Sudahlah, dia bukan anak kecil lagi yang harus kamu ikuti terus selama 24 jam bukan?"
Robin semakin mendengus kesal dan merasa begitu dongkol serta jengkel terhadap sikap ketus dan menyebalkan dari Jade yang terus menghalanginya untuk mengejar gadis itu. Selama ini, ia hanya mengajarkan kepada gadis itu untuk mengendarai motor tersebut, namun ia belum pernah benar – benar mempraktikkannya di badan jalan. Sementara itu, Ivory yang sudah tidak mampu berpikir dengan akal sehatnya lagi hanya fokus terhadap kesembuhan ibunya hingga ia tidak menyadari lagi bahwa dirinya telah melampaui batas keberaniannya untuk mengendarai motor moge besar tersebut, membuatnya bisa mencapai tempat tujuannya. Tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mengumpulkan dan mengambil semua foto – foto keluarga mereka yang diperlukannya agar ia bisa memancing ingatan ibunya kembali. Sebelum meninggalkan tempat itu, ia kembali memalingkan wajahnya di gubuk tersebut. Tanpa pernah disadari Ivory, dua tahun telah berlalu dan ia tidak pernah berkunjung lagi ke tempat itu. Semua keadaan masih sama, hanya gubuk tersebut kini sudah terlihat semakin kusam dan tidak terawat lagi. Semua memori kenangan ketika berkumpul dan bersenang – senang dengan kedua orang tuanya serta kenangan ketika bersama Jade untuk terakhir kalinya sebelum semua keadaan berubah seperti sekarang ini seakan berputar kembali dalam benaknya. Akan tetapi sebuah rasa bersalah lainnya kembali menghantui, namun kali ini bukan terhadap Moniq ataupun Jade, melainkan lebih terhadap kedua pria yang telah menitipkan gubuk tersebut kepadanya. Karena keegoisannya sendiri ia tidak hanya membuat ibunya menderita, namun ia pun telah menelantarkan pemberian sang ayah dan pamannya. Ia segera menjatuhkan lututnya di antara pasir – pasir yang terbentang luas, seakan ia ingin memohon pengampunan kepada sosok ayah dan paman dalam bayangannya atas segala kesalahan yang diperbuatnya dan berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan segera mengembalikan ingatan ibunya.
Sekembalinya Ivory ke rumah sakit, ia langsung bertemu dengan kekasihnya yang ternyata sedari tadi sudah mondar mandir dan uring - uringan. Robin yang bagaikan seorang ibu yang begitu khawatir dan mencemaskan putrinya, langsung memeluk gadis itu tatkala ia melihat sosoknya memasuki parkiran dan telah memarkirkan motornya.
"Sayang…are you okay? Gak ada sesuatu yang terjadi padamu kan?" Tanya Robin begitu mencemaskan kekasihnya, membuat Ivory kebingungan bahkan belum sempat untuk sekedar menarik napas. Tiba – tiba ia teringat akan pernyataan Jade sebelumnya, ketika ia menyebutkan apabila kita mencintai seseorang, pikiran dan hati kita hanya akan dipenuhi oleh bayangan orang tersebut dan akan mengorbankan segalanya untuk orang yang kita cintai termasuk diri kita sendiri. Lantas apakah yang sedang dilakukan oleh Robin saat ini merupakan wujud cintanya yang luar biasa terhadapnya?
"Sayang…aku baik – baik aja. Aku minta maaf karena udah buat kamu jadi khawatir samaku. Jadi dari tadi kamu udah nungguin aku terus di sini? Mamaku gimana keadaannya?"
"Astaga, kumohon lain kali jangan nekad begitu lagi ya. Aku khawatir karna kamu kan belum pernah pakai motor ini. Mamamu udah tertidur lagi sayang, mungkin efek dari obat bius itu belum habis. Tapi beliau masih belum ingat sama Jade atau siapapun bahkan setelah Jade bercerita dari awal," ujar Robin lirih, membuat gadis itu khawatir dan segera menemui ibunya.
"The brain might lost all memories we have in life, but the heart could never lost anything."
- L. J. Literary Works -