webnovel

Kebersamaan

Rumah kecil dan sederhana yang ditempati sekarang tidaklah membatasi perasaan bahagia mereka malam itu. Mereka terlarut dalam perbincangan yang cukup menghibur Moniq sekaligus untuk membantu merangsang ingatan masa lalunya. Mereka pun melontarkan berbagai lelucon seperti saat mereka berkumpul bahagia bersama Enrique dan lelucon lainnya tanpa ingin mengungkit perihal Nathan yang telah membuat wanita itu berakhir dengan keadaan seperti yang dialaminya saat ini. Waktu tanpa berasa bergulir begitu cepat membuat mereka tidak sadar bahwa hari sudah begitu larut dan Moniq pun sudah tidur terlelap. Setelah membawa Moniq beristirahat di dalam kamar, Ivory yang masih belum merasakan kantuk dan khawatir akan Jade yang harus tidur di ruang tamu, membuatnya kembali menemui pria yang sedang terlihat begitu serius dengan ponselnya dan sedang duduk di matras tempatnya akan beristirahat yang diletakkan di ruang tamu.

"Hai, serius banget sih. Aku ganggu gak?"

"Untuk seseorang yang spesial tentu saja nggak. Sini, duduk dulu. Kenapa? Kamu masih belum bisa tidur? Hm?" ujar Jade melepaskan sebelah tangannya dari ponselnya untuk mengelus rambut blonde gadis itu yang kini kembali digerainya karena ingin mengembalikan penampilannya yang sebelumnya demi mengembalikan ingatan Moniq.

"Iya, aku khawatir apa kamu gak apa – apa hanya tidur di sini? Masih ada space sih di dalam."

"Tenang aja sayang, calon kekasih masa depanmu ini mau tidur di manapun juga bakal aman – aman aja," ujar Jade tersenyum seraya mencubit pelan pipi gadis itu.

"Idih, apaan sih kamu? Pede banget."

"Harus dong. Ucapan itu adalah doa. Kalo aku bisa berucap seperti itu berarti aku sedang berdoa agar apa yang kuucapkan itu bisa menjadi kenyataan suatu hari nanti. Ngomong – ngomong aku lebih suka melihat penampilanmu yang kembali begini. Terlihat lebih cantik dan alami. Akhirnya, aku bisa melihat lagi sosok Ivory yang pernah kukenal ini," ujar Jade kembali meledek gadis itu dengan mengedipkan sebelah matanya.

"Dasar gombal. Kamu emangnya lagi apa sih tadi? Serius banget."

"Hei aku gak pernah pintar gombalin cewek tau. Aku selalu berkata serius. Kalo suka gombalin cewek – cewek mungkin aku udah gak single sampe sekarang. Oh ya, ini tadi aku lagi cari kerjaan baru via website. Sekalian cari satu juga yang cocok untukmu. Teringatnya kamu kuliah jurusan apa ya? Kita belum pernah berbincang soal ini."

"Sama denganmu. IT. Tapi aku fokus dibagian pengembangan software agar aku bisa meneruskan usaha papa dulu. Kalo kamu kan dibagian teknologi jaringan kan?"

"Iya. Kamu masih ingat aja. Hebat juga. Nih, aku kirimin linknya ya. Aduh, aku kenapa dari kemarin lupa minta nomormu ya? Sini ponselmu," ujar Jade membuat Ivory terdiam sesaat.

"Aku udah kembalikan ponsel itu padanya. Ponsel itu dulu dia yang memberikannya padaku dengan nomor pribadi staf di sana dan aku gak diizinkan untuk sembarang membagikan nomorku pada orang lain. Makanya karna aku gak mau siapapun menghubungiku, aku gak pernah lagi mengontakmu atau mama apalagi nomor itu bersifat rahasia. Maaf," ujar Ivory lirih.

"Astaga…jadi ternyata begitu ceritanya. Ya udah. Apa boleh buat. Semua udah terjadi dan yang penting selama ini kamu baik – baik aja. Besok aku akan membelikan yang baru untukmu."

"Gak perlu Jade, gunakan tabunganmu sebaik dan sehemat mungkin sampai kita bisa sama – sama dapat kerjaan karna saat ini aku juga lagi gak membutuhkannya."

"Tapi kalo aku mau hubungi kamu gimana?"

"Kita kan sekarang udah tinggal bersama lagi, jadi kamu bisa memberitahuku apa saja ketika di rumah kan? Kali ini biarkan aku berusaha sendiri. Aku ingin membeli apapun yang kuinginkan dari hasil kerja kerasku. Gak apa – apa kan?" ucapan Ivory seketika membuat Jade tercengang. Ia mengangguk paham dan merasa begitu bangga karena gadis kecil yang dikenalnya dua tahun lalu kini telah tumbuh menjadi gadis dewasa yang sudah lebih matang pemikirannya. Ia lalu mengelus kepala Ivory gemas.

"Ukhh…Bangga banget deh aku sama calon kekasihku ini. Oh ya, kalo begitu aku ingin memberikanmu ini saja," ujar Jade seraya menyerahkan sebuah surat pada Ivory.

"Apa ini?"

"Surat dari papa kamu," ujar Jade tersenyum namun Ivory yang membuka surat yang berisikan sandi – sandi tersebut hanya bisa melongo tidak mengerti.

"Ini bukannya catatan kuliahmu dulu ya?"

"Waktu itu aku gak bisa ceritakan yang sebenarnya ke kamu. Tapi waktu aku mau menceritakannya juga kamu gak mau dengar dan gak mau lihat. Jadi kusimpan dulu, berharap suatu hari aku bisa membuatmu mengerti dan sepertinya aku gak perlu melakukan itu lagi karna ketika kamu udah memasuki mata kuliah ini, kamu sendiri pun akan mempelajarinya juga dan saat itu kamu akan mengerti apa yang selama ini ingin kusampaikan padamu. Jadi kamu simpan aja dulu surat itu. Dan setelah kamu udah mengerti nanti, kabari aku ya," ujar Jade mantap seraya melebarkan senyumannya, membuat Ivory mendengus kesal.

"Terima kasih banyak atas semua yang telah kamu lakukan untuk kami," ujar Ivory seraya tersenyum dan menidurkan kepalanya manja di atas kaki Jade. Dengan mengesampingkan segala bentuk perasaan yang ada diantara mereka, entah mengapa ia selalu merasa nyaman setiap kali berada didekat pria itu. Setelahnya mereka kembali berbincang – bincang hingga gadis itu merasa kelelahan sendiri dan akhirnya terlelap. Melihat ekspresi tidur wajah kecil nan lucu gadis itu, membuat Jade seketika gemas dan mencium kening gadis itu.

"Mimpi yang indah ya, calon kekasihku. Aku juga mau berterima kasih karna kamu udah mau ngasih aku kesempatan lagi untuk bisa kembali dekat denganmu. Aku akan melakukan yang terbaik supaya gak mengecewakanmu lagi, dan harapanku semoga kamu bisa segera menerimaku dalam hatimu," ujar Jade lalu menggendong tubuh gadis kecil itu ke dalam kamar dan membaringkannya di sebelah Moniq. Ingin sekali ia membiarkan gadis itu berada didekatnya namun ia merasa khawatir jika harus membiarkan gadis itu tidur di luar ruangan. Malam itu Jade berusaha keras mencari lowongan pekerjaan dari informasi di kampusnya, namun beruntungnya ia berhasil menemukan pemberitahuan bahwa dibagian perpustakaan sedang mencari pustakawan part time, bahkan bagi peserta yang berhasil lolos seleksi akan diberikan beasiswa apabila peserta yang bersangkutan memiliki prestasi yang bagus selama mengecam pendidikan di kampusnya. Jade segera mencoba peruntungan tersebut, apalagi untuk mahasiswa semester akhir baginya bisa segera menyelesaikan studinya merupakan hal yang sangat penting untuk pencapaian karirnya.

Waktu bergulir seakan memutar bumi begitu cepatnya. Pagi itu, rasa lelah dan mabuk berat setelah seharian penuh menemani Chelsea untuk berkencan membuat Robin terlelap hingga ia merasa begitu kaget karena ketika bangun ia telah mendapati dirinya tanpa sehelai benang dan sedang berada di sebuah ranjang bersama dengan wanita disampingnya di sebuah kamar hotel. Bahkan ia tidak mampu mengingat apa yang telah dilakukannya semalaman dengan Chelsea hingga dirinya berakhir di tempat terkutuk seperti itu. Kepala yang terasa begitu berat bagaikan ribuan ton batu besar yang menghantam dan menimpanya, membuatnya kesusahan untuk sekedar membuka matanya dan harus berulang kali memukul kepalanya sendiri agar ia bisa segera menyadarkan dirinya sepenuhnya dari tidur yang panjang itu. Ia segera melirik ponselnya yang telah menunjukkan angka delapan. Kedua kelopak mata yang sedari tadi tidak mampu dibukanya lalu seketika membesar, membuatnya segera memakai pakaiannya sendiri yang terlihat berhamburan di berbagai sudut ruangan dan tidak mempedulikan wanita yang masih tertidur itu. Batin pria itu kini seakan terasa begitu pilu melihat keadaan yang dilihatnya barusan, membuatnya seketika teringat akan wajah kekasihnya yang begitu dicintainya. Rasa rindunya setelah seharian penuh tidak melihat gadis itu membuatnya ingin sekali segera tiba di rumah dan menemuinya, hingga ia segera menancapkan gas motornya dan meluncur pada trotoar jalan seraya mengebut tidak karuan. Perasaan dan pikirannya yang berkecamuk seakan kini berpadu menjadi satu seperti kebingungan, kekalutan, kerinduan dan kegundahan seolah memeras dirinya agar tidak mampu fokus pada apapun lagi yang berada disekitarnya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk segera mencapai halaman parkiran rumahnya dalam waktu sekejap karena hasil balapannya di jalanan. Sesampainya di sana, seketika ia merasa heran karena keadaan rumahnya terasa begitu sepi dan lampu depan rumahnya pun sedang tidak dalam keadaan menyala. Apakah kekasihnya itu telah berangkat ke kantor batinnya. Segera ia membuka pintu yang terkunci rapat itu dan langsung melihat keadaan sekitarnya. Keadaan rumah yang tadinya dipenuhi oleh barang – barang ketiga anggota keluarga yang selama ini menempati rumahnya kini terlihat bersih bagaikan ombak sehari yang menyapu bersih rumah tersebut. Hati dan pikiran Robin yang telah dipenuhi oleh bayangan gadis itu membuatnya uring – uringan dan terus berusaha mencari sosok tersebut, namun tidak kunjung ditemukannya di setiap sudut ruangan manapun hingga membuatnya merasa semakin tidak waras dan tidak mampu lagi berpikir jernih, seakan ada sesuatu dalam dirinya yang ingin sekali diledakkannya sesegera mungkin. Ia mencoba menghubungi ponsel gadis itu, namun tiba – tiba ia mendengar suara nada ringtone ponsel yang begitu dikenalnya dari arah meja petak kecil yang terbuat dari kaca dan terletak di ruang tamu yang tidak begitu luas tersebut. Ia segera membelalakkan matanya melihat ponsel Ivory yang ditinggalkannya begitu saja, lalu ia segera melihat sebuah amplop yang berisikan surat resign dari pekerjaan gadis itu beserta dengan sebuah surat kecil yang terlipat begitu rapinya. Segera ia membuka dan membacanya.

"Dear Robin,

Terima kasih atas semua kenangan yang telah kita lalui bersama selama dua tahun lebih ini. Aku gak pernah melupakan sedetik pun kebersamaan yang telah kita lalui sejak aku mengenalmu hingga aku memutuskan untuk hidup berdampingan denganmu. Aku pun ingin berterima kasih padamu atas semua kebaikan yang telah kamu lakukan selama ini terhadapku. Tapi hari ini aku telah memutuskan untuk menjalani hidup baruku bersama keluargaku tanpa harus merepotkanmu ataupun bergantung padamu lagi. Aku hanya ingin mengucapkan salam perpisahan padamu, namun sepertinya kamu begitu sibuk jadi melalui surat ini aku ingin meminta izin padamu untuk pergi. Semoga kamu bisa menjadi lebih baik lagi tanpaku dan bisa menjalani hidupmu dengan baik. Jaga diri dan kesehatanmu ya.

Salam hangat,

Ivory"

"Apa – apaan ini? Nggak! Ini gak mungkin! Kamu gak boleh pergi begitu aja sayang… Kenapa kamu begitu tega samaku? Dan kenapa ini semua begitu mendadak? Pasti ada hal lain yang telah membuatmu meninggalkanku. Aku harus mencarimu sekarang. Tapi ke mana aku harus mencarimu lagi? Pelacak. Aku baru ingat pernah memasang pelacak pada cincin itu," gumam Robin geram dan terlihat seperti orang yang sudah kehilangan akal sehatnya.

Robin segera menghidupkan aplikasi pelacak yang selalu digunakannya. Ia segera menemukan keberadaan Ivory yang cukup jauh dari perkotaan dan segera mencari keberadaan gadis itu. Kemarahan, emosi dan kekecewaan yang telah menyelimuti hatinya membuatnya tidak mampu berpikir panjang lagi, kini ia hanya memfokuskan dirinya untuk menemukan gadis itu sesegera mungkin, bahkan kini pun ia tidak membutuhkan waktu yang lama untuk segera berdiri di depan sebuah rumah kecil dengan pintu kayu yang terlihat begitu lecek dan sederhana. Tidak mempedulikan apapun lagi, ia segera mengetuk pintu tersebut sekencang – kencangnya tiada henti, membuat Ivory segera berlari terburu – buru untuk membukakan daun pintu tersebut dan ketika pintu terbuka, ia begitu terperanjat dan segera langsung jatuh dan terduduk tepat di bawah kaki pria itu. Ia segera menutup mulutnya yang telah menganga lebar ketika ia menatap Robin dan seketika mencium bau alkohol dari tubuh kekarnya yang sedang berdiri dihadapannya lalu segera menengadahkan kepala menatap pria itu. Rambut pria itu terlihat begitu acak – acakan, wajahnya pun kusam, awut – awutan dan bajunya yang dikancing tidak rapi tersebut membuat hati gadis itu terasa berdesir. Dari mana saja pria tersebut batinnya. Segala imajinasi yang berjalan dalam pikiran Ivory segera menjalar liar. Ia membayangkan bahwa pria tersebut pastilah telah melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukannya dengan wanita tersebut. Pria yang matanya sudah memerah setelah melihat gadis itu segera menarik lengannya agar ia mengikutinya. Ivory segera berteriak sekeras – kerasnya agar pria tersebut segera melepaskannya namun pria berbadan kekar tersebut telah membopong tubuh kecil gadis itu dan mendudukinya di motornya lalu segera membawanya pergi. Moniq yang sempat mendengar teriakan putrinya segera berlari keluar namun ia sedikit terlambat karena bayangan tubuh gadis itu sudah terlihat menjauh. Pria itu ternyata membawa Ivory kembali ke rumahnya dan segera mengunci pintu rumah tersebut, lalu segera mengunci tubuh Ivory pada daun pintu dan menatapnya lekat dengan pandangan yang begitu mencekam.

"Coba kamu jelaskan apa maksudnya ini?" ujar Robin menunjukkan surat yang ditulisnya sehari sebelumnya beserta dengan surat resign tersebut, membuat Ivory bergidik ngeri dan menatapnya ketakutan bagaikan tikus kecil yang begitu ketakutan ketika menatap seekor kucing yang hendak memangsanya. Kedua bibir itu terasa terkunci dan bergetar tanpa mampu mengeluarkan sepatah katapun. Keheningan kini menjadi jeda diantaranya. Ivory yang merasa ketakutan tidak berani menatap mata pria itu, membuat pria tersebut semakin geram dan segera menangkup wajah kecil gadis itu agar mata biru gadis itu kini hanya menatap ke dalam matanya.