webnovel

Aku Difitnah

Ivory menatap khawatir melihat kedua pemuda yang sedang menatapnya dengan tatapan yang begitu penuh dengan kebencian, membuatnya seketika bergidik ngeri dan segera menelan salivanya. Meskipun ia merasa tidak asing dengan sosok kedua pemuda tersebut, tetap saja ada aura yang mengerikan terpancar dari raut wajah mereka yang membuat gadis itu merasa takut dalam hatinya.

"Bam! Dasar gadis gak tau diuntung dan berterima kasih! Loe udah apain Robin hah? Apa gak cukup banyak Robin membantu loe selama ini dan ternyata cuma segitu rasa cinta loe ke dia? Gue bener – bener kasian sama sahabat gue itu. Ternyata gadis yang dipilihnya seperti ini. Habis manis sepah dibuang! Bahkan mungkin arwahnya pun masih belum tenang di sana, tapi loe udah segitu cepatnya bisa lupain dia? Dia begitu mencintai loe sampai rela mengorbankan persahabatan kita demi seorang wanita tapi apa balasan untuk dia? Wanita macam apa loe ini hah? Brengsek! Dasar wanita murahan!" ujar Rick, salah seorang sahabat baik Robin yang selama ini dikenal oleh gadis itu ketika ia bersama Robin masih sering mengunjungi bar.

"Ya! Loe harus tanggung jawab atas kematian Robin sahabat kita! Sini loe!" bentak Mike menarik keras lengan gadis itu namun Jade segera menghalanginya.

"Stop! Jangan pernah harap kalian bisa bawa kekasihku sesuka hati kalian! Lawan aku dan jangan jadi pengecut yang beraninya cuma sama cewek."

"Haahahaha… Ada cecunguk kecil yang sok jadi jagoan Mike. Apa tadi loe bilang? Kekasih? Hohoho… Takut… Loe kira bisa ngelawan gue? Rasakan ini! Buk!" ujar Rick yang telah memuncak emosinya dan langsung melayangkan sebuah tinju pada wajah Jade, lalu kemudian menarik tubuh pria itu keluar dari restoran dan disusul oleh Mike beserta Ivory.

"Stop! Jangan ganggu dia! Dia gak ada hubungannya dengan masalah ini! Tolong, lepasin dia!"

"Loe kira, loe bisa bahagia dengan cewek ini? Dia ini cewek matre dan asal loe tau, Robin pun udah pernah menidurinya dan loe masih mau dengan cewek bekas gitu? Kasihan banget sih nasib loe," ujar Mike tertawa terbahak – bahak.

"Buk! Jangan ngomong macam – macam tentang kekasihku atau akan kuhabisi kalian ya!" ujar Jade dengan penuh emosi lalu segera kembali menyerang kedua pria dihadapannya. Suara baku hantam segera mengudara dan bahkan terdengar berirama, mengundang perhatian para tamu yang sedang berada di sana dan menyaksikan drama aksi tersebut. Ivory yang begitu mengkhawatirkan kondisi Jade yang telah kolaps lantas segera mengambil sebilah kayu yang terletak di sekitar pekarangan tersebut lalu segera menghantamkannya ke arah leher kedua pemuda yang masih berbaku hantam dengan Jade, membuat kedua pemuda tersebut pun kini telah menjadi babak belur, ia segera mengancam kedua pemuda itu bahwa ia akan melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwajib. Mendengar ancaman tersebut, ketakutan segera menghantui perasaan mereka lalu membuat mereka segera meninggalkan tempat kejadian. Darah segar pun telah mengalir dari sudut bibir Jade akibat hantaman kuat pemuda tersebut, dan wajahnya terlihat babak belur serta ia terlihat sembari memegangi bagian perutnya yang masih terluka akibat hantaman – hantaman kuat yang bertubi – tubi mengenainya. Dengan nafas yang sudah terengah – engah kedua pemuda tersebut akhirnya beranjak pergi dan meninggalkan mereka.

"Urusan loe belum selesai dengan kita Iv, kita akan kembali lagi untuk meminta pertanggungjawaban loe atas kematian Robin! Tunggu aja loe!" ujar Mike seraya menunjuk ke arah Ivory, namun gadis itu tidak mempedulikannya karena ia sedang berusaha mengangkat tubuh pria itu.

"Kamu gak apa – apa kan? Lukamu… Astaga, kita ke dokter dulu untuk obati lukamu ya," ujar Ivory khawatir.

"Gak… Gak perlu sayang, aku gak apa – apa. Kita pulang… aja sekarang," ujar Jade terbata – bata seraya meringis kesakitan akibat luka perutnya yang terkena hantaman.

"Tapi…kamu kan lagi kesakitan begini gimana bisa bawa motor? Nggak bisa. Aku harus bawa kamu naik taksi. Motor itu kamu tinggalin dulu, besok aku akan meminta tolong paman untuk mengurusnya. Udah malam begini mereka pasti juga udah beristirahat," ujar Ivory segera memanggil taksi dan telah membopong pria itu dengan langkah yang tertatih – tatih lalu segera menyandarkan tubuh pria itu di bagian belakang kursi taksi.

"Kenapa sih, kamu tadi harus cari masalah sama mereka? Sekarang keadaanmu jadi kek gini kan?"

"Aku gak peduli sayang, aku juga gak mungkin diam aja liat kamu diganggu sama orang – orang seperti itu. Lagian mereka itu siapa sih? Kamu kenal mereka di mana?"

"Mereka itu sahabat baik Robin. Aku juga gak ngerti kenapa mereka menuduhku seperti itu. Mungkin mereka merasa kesal dan dendam terhadapku karna memang gara – gara menolongku, Robin meninggal bukan? Yang aku bingungkan kenapa mereka harus menuduhku bahkan memfitnahku dihadapanmu begitu? Aku tau aku salah, makanya aku masih merasa menyesal karna sempat mengabaikannya tapi…ucapan mereka tadi benar – benar menyakitkan…Aku…Aku bukan wanita seperti itu…" ujar Ivory terisak – isak. Tidak sanggup melihat ratap tangis gadis itu, Jade yang sudah tidak mempedulikan rasa sakitnya lantas memaksakan dirinya yang masih terasa sakit untuk memeluk gadis itu.

"Ssttt…udah sayang, udah…bukankah udah kukatakan sebelumnya, selama bersamaku, please jangan pernah ada tangisan lagi ya…Aku bahkan gak percaya sama sekali perkataan mereka, jadi tolong kamu jangan menghakimi dirimu sendiri lagi ya…" ujar Jade lirih.

Suasana haru seakan mengiringi perjalanan mereka hingga kembali ke rumah. Beruntung karena seisi rumah telah sunyi senyap sehingga Ivory dan Jade tidak harus menjelaskan apa yang telah terjadi dan menyebabkan Jade menjadi babak belur. Ivory yang begitu mengkhawatirkan kondisi pria yang kini sedang duduk di hadapannya, segera membopong pria itu ke balkon apartemen dan mengobati luka lebam pada tubuh pria itu. Jade menatap lekat dan serius wajah gadis yang sedang mengobatinya. Tanpa disadarinya, benih cinta yang selama ini telah bersemayam dalam hatinya semakin tumbuh mekar dan semakin hari seakan semakin menguasai dirinya dan membuatnya semakin hari semakin menyayangi dan mencintai gadis itu. Jade yang tanpa sadar telah memegang dagu gadis itu segera menyatukan kedua bibirnya dan mengecup gadis itu perlahan, membuat gadis itu kembali merasakan debaran hebat dalam hatinya. Namun kali ini rasa itu membuatnya begitu nyaman, dan penuh dengan kebahagiaan juga tanpa beban.

"Sayang...kamu tau kalo kamu itu adalah harta yang paling berharga bagiku, jadi kuharap kamu jangan pernah mendengarkan apapun kata orang - orang itu tentang dirimu. Jangan pernah merendahkan dirimu apalagi menerima fitnah orang lain terhadap dirimu. Andai kamu seperti yang mereka katakan sekalipun, sungguh aku gak masalah dan aku tetap mencintaimu tanpa syarat apapun. Tapi aku percaya padamu bahwa apa yang mereka katakan itu adalah suatu kebohongan belaka. Mereka hanya ingin menghancurkan hubungan kita. Kamu adalah permata hatiku, dan gak akan ada yang pernah bisa menggantikan itu. Jadi, jangan kamu pikir aku akan meninggalkanmu hanya karna tipuan cecunguk seperti itu, maka itu gak akan pernah terjadi dalam hidupku. Aku lebih baik memilih untuk mati daripada harus kehilanganmu lagi untuk kedua kalinya, dan kumohon, jangan karna hal itu mengganggumu lantas membuatmu meninggalkanku lagi. Oke?" ujar Jade dengan mata yang sudah mulai berkaca - kaca.

"Iya...Iya sayang, terima kasih karna udah percaya padaku. Aku juga sangat mencintaimu...dan apapun yang terjadi kali ini, aku gak akan pernah pergi lagi darimu, karna kamu udah bersemayam jauh di dalam lubuk hatiku. Aku sayang banget sama kamu Jade..." Ivory kembali memeluk manja tubuh pria itu seakan tidak ingin berpisah darinya untuk sedetik pun. Selama ini, ia baru menyadari bahwa hanya pria itulah yang mampu membuat hatinya merasa teduh dan damai setiap kali ia memiliki masalah apapun. Pelukan hangat yang terjadi antara kedua insan muda tersebut seakan memanggil jiwa yang telah pergi untuk segera kembali bersatu dengan raganya, agar mereka tidak akan pernah berpisah lagi untuk selama - lamanya. Malam itu serasa menjadi malam yang begitu panjang bagi gadis yang begitu mengkhawatirkan kondisi pria tersebut, ia terlihat begitu sibuk bagaikan seorang perawat yang berulang kali keluar masuk kamar untuk mengompres dahi pria itu agar suhu tubuhnya yang mulai memanas perlahan - lahan berangsur menurun. Rasa khawatir yang mulai menjalari tubuhnya membuatnya tidak mampu untuk terlelap dan tidak karuan. Ketika ia mendapati pria tersebut telah terlelap dengan begitu nyenyaknya, ia sempat memikirkan perkataan dan ancaman yang dilayangkan oleh kedua pemuda tersebut. Ia merasakan kekhawatiran yang seakan menyiksa dirinya, membuatnya berpikir apakah mungkin lebih baik ia menjauhi pria tersebut dan pergi jauh dari kehidupan di perkotaan tersebut agar kedua pemuda tersebut merasa puas dan tidak perlu melihat dirinya lagi dan mereka tidak akan pernah kembali untuk menyakiti pria yang dicintainya itu. Setelah memikirkan hal itu, beberapa saat kemudian ia segera mempersiapkan segala sesuatunya untuk beranjak pergi meninggalkan keluarga tersebut, berpikir bahwa itu mungkin adalah cara terbaik agar tidak akan ada lagi pertikaian ataupun orang yang terluka hanya karena dirinya.

Waktu telah menunjukkan dini hari, ketika gadis itu sedang menarik koper untuk meninggalkan apartemen James, dan sempat menuliskan sepucuk surat perpisahan kepada keluarga tersebut yang ditinggalkannya di meja tamu begitu saja. Ia memulai derap langkah diam dan mulai mengendap -ngendap ditengah ruang tamu tersebut, namun ia tidak menyangka bahwa pemuda itu akan terbangun ditengah tidurnya dan diam - diam telah mengikutinya dari belakang lalu tiba - tiba kedua tangan pria tersebut telah memeluk pinggangnya dari belakang lalu menariknya kembali ke kamarnya dan segera mengunci kamar tersebut. Tatapan tajam pria itu kini seakan mengunci kedua bola mata gadis itu dan tubuhnya kini pun seakan mengunci tubuhnya agar ia tidak bisa berkutik lagi. Kini ia telah berdiri di hadapannya dengan tatapannya yang dingin dan sayu.