Terkadang hidup itu sulit untuk ditebak. Ketika kita mengharapkan hidup yang lebih baik dan indah namun seringkali justru kenyataan yang datang di hadapan kita dengan mudahnya menghempas kita begitu kuatnya hingga ketika kita jatuh kita akan merasakan sakit yang luar biasa. Begitu pula yang dirasakan oleh Jade dan Ivory pada saat ini. Mereka tidak pernah menyangka bahwa semua kenyataan yang mereka harus hadapi begitu pahit adanya. Rasanya hidup terasa amat tidak adil. Bagaimana mereka harus menghadapi hidup kedepannya setelah satu lagi rahasia besar yang selama ini telah tersimpan rapat pada akhirnya pun terkuak. "Kalo begitu kamu harus berusaha lebih keras lagi untuk menganggapku sebagai adik kandungmu sendiri, lupakan aku dari hatimu atau pergi dari hidupku," ujar Ivory tegas. "Kamu pikir gampang…" ujar Jade namun kemudian dipotong oleh gadis itu kembali. "Satu hal lagi yang mau kutanyakan sama kamu. Tolong kamu jawab yang jujur, apa kamu udah tau juga kalo orang itu yang udah bunuh papaku?" tanya Ivory. "Soal itu…" lagi – lagi belum selesai Jade mengeluarkan kata – katanya, gadis itu kembali menimpalinya seolah tidak mengizinkannya untuk beralasan ataupun berbohong lagi. "Kumohon, jujurlah untuk kali ini atau aku akan lebih membencimu lagi daripada ini," ujar Ivory dengan intonasi yang lebih menekan Jade kali ini. Jade benar – benar tidak tahu harus beralasan apa lagi namun sepertinya kali ini ia sudah tidak bisa menghindar, berbohong ataupun beralasan lagi. "Iya, aku udah tau juga, maaf karna aku gak bisa memberitahumu waktu itu. Aku takut kalo kamu sampe tau pasti kamu akan menjauhiku," ujar Jade tertunduk. Ivory yang sedari tadi tidak ingin melihat wajah pria di hadapannya itu langsung melongok ke arahnya untuk melihatnya lagi, namun kali ini dengan tatapan putus asa dan kekecewaan serta ekspresi wajah yang penuh dengan amarah dan emosi yang memuncak. Air mata yang sudah ditahannya sejak tadi pun tidak mampu dibendungnya lagi. "Kamu udah tau itu…tapi masih gak mau kasih tau aku malah bilang karna takut aku akan menjauhimu? Itu namanya kamu egois Kak! Tega banget sih kamu! Gak nyangka aku ya, ternyata kamu pun bahkan gak lebih baik dari orang itu. Bisa – bisanya kamu bekerjasama dengan mereka untuk menyembunyikan rahasia besar ini dariku? Dengan naifnya kamu menyuruhku untuk mempercayaimu bahkan menyuruhku untuk bekerjasama denganmu mencari tahu pelakunya padahal orang itu sekarang tinggal seatap dengan kita dan setiap hari ada di hadapan kita? Apa kamu udah gila? Lalu apakah mama udah tau juga soal ini?" tanya Ivory sekali lagi. Jade kini hanya bisa mengangguk pasrah. "Brengsek kalian semuanya!" Kini Ivory terlihat membanting semua barang yang ada di meja riasnya. "Aku bahkan lebih gak ngerti lagi sama jalan pikiran mama yang bisa – bisanya menyembunyikan hal ini juga dariku dan bahkan bersedia menikah dengan orang itu dengan alasan yang gak masuk diakal. Kalian semua ternyata sama aja. Aku muak liat kalian semua. Pergi dari sini sekarang juga Kak, aku gak sudi lagi liat kamu ada di sini!" tegas Ivory seraya sudah berdiri di atas ranjangnya untuk menjauh dari Jade dan melemparnya dengan sebuah bantal. "Dengarkan aku dulu Iv! Aku bisa jelaskan mengenai ini. Tenangkan dirimu!" ujar Jade membujuk Ivory yang sedang dikuasai oleh gejolak emosi yang memuncak. "Untuk apa lagi aku mendengarkan semua kata – kata yang hanya merupakan dusta yang keluar dari mulut seorang penipu ulung sepertimu?" ujar Ivory seraya berjalan turun dari ranjang untuk menjauh dari Jade. "Iv, ini semua bukan keinginanku. Ini permintaan dari mama Moniq. Mama juga gak mau kasih tau karna diancam oleh orang itu, kalo sampe kamu tau akan hal ini, nyawamu akan terancam dan mama gak ingin kamu celaka atau berakhir seperti papa kemarin. Kami gak mau dan gak bisa sampai kehilangan kamu juga Iv, kamu harus mengerti posisi mama yang juga terancam seperti itu. Beliau pun gak terima hal ini terjadi tapi beliau gak punya pilihan lain dan terpaksa harus melakukan ini demi kebaikanmu dan demi untuk melindungimu," ujar Jade menjelaskan. "Dan kamu pikir sekarang aku masih bisa percaya sama kamu setelah kamu bohong samaku? Lalu kamu bilang ini semua demi kebaikanku? Hahaha, lucu sekali ya Kak. Lelucon apa lagi ini? Bukankah kalian bertiga udah sepakat untuk melakukan ini semua demi menghancurkan keluargaku dan menguasai semua yang papa miliki? Dasar munafik kamu! Orang paling munafik yang pernah kukenal di dunia yaitu kamu. Brengsek! Pergi sekarang juga dari sini. Aku gak mau liat muka kamu lagi. Jangan pernah kamu tunjukkan wajah bermuka duamu itu lagi. Pergi…! Pergi gak?" Ivory begitu mengamuk dan melemparkan seluruh sisa bantal dan gulingnya pada wajah Jade namun semuanya dapat ditangkis olehnya. "Ivory! Berhenti! Apa kamu gak bisa liat sedikit aja ketulusanku kepadamu selama ini? Apa aku pernah menyakitimu? Aku juga gak menginginkan semua ini terjadi. Aku gak pernah tau kalo orang itu masih hidup dan ada kemungkinan Paman James masih hidup sampe sekarang dan…" lagi – lagi Ivory tidak mengizinkan Jade untuk melanjutkan perkataannya lagi. "Berhenti! Jangan pernah kamu permainkan aku lagi! Aku gak mau dengar lagi semua kebohonganmu! Pergi dari sini sekarang juga jangan sampai aku memaksamu dan menggunakan kekerasan! Pergi…!" Kemarahan gadis itu sepertinya sudah tidak dapat dibendung lagi hingga ia terus menerus melemparkan semua barang – barang yang ada di dekatnya dan akhirnya membuat Jade menunduk dan mengalah. Ia merasa sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk berbicara kepada gadis itu.
Perlahan – lahan ia pun berjalan mundur mendekati pintu kamar dan gadis itu pun ikut memutar posisinya untuk melewati ranjang dan akhirnya turun lagi ke tempat pria tersebut berdiri barusan. "Tunggu! Jangan lempar lagi! Sebelum aku pergi, tolong izinkan aku untuk obati dulu luka di lehermu dulu, aku…" "Gak perlu! Aku gak butuh perhatian atau kepedulianmu lagi! Aku gak peduli lagi sekarang. Meskipun aku mati dicekik atau dibunuh oleh orang itu sekalian pun aku rela biar dia puas sekalian dan kamu sebagai anaknya, turuti aja apa katanya, biar dia juga puas sama kinerjamu dan gak akan anggap kamu sebagai anak pembangkang lagi. Kamu gak usah sok – sok belain aku lagi mulai dari sekarang. Aku gak butuh apapun dari kalian semua. Bila perlu aku akan keluar dari rumah ini sesegera mungkin seperti yang adikmu katakan tadi. Biar kalian puas menguasai semua milik ayahku seperti yang kalian dambakan selama ini. Pergi gak?" Ivory hendak melayangkan sebuah ukiran patung kayu yang cukup besar ke arah Jade namun pria itu menyuruhnya untuk berhenti dan menjanjikan kepada gadis itu bahwa ia akan pergi asalkan setelah berjalan keluar, gadis itu akan menurutinya untuk mengobati luka bekas cakaran dan cengkeraman di lehernya akibat perbuatan Nathan tadi. Setelah Jade berjalan keluar, Ivory segera mengunci pintu kamar dan tidak peduli lagi terhadap luka di lehernya bahkan semua barang – barangnya yang berserakan di lantai lalu segera meringkuk di balik selimutnya serta menangis sejadi – jadinya. Ia merasa telah menjadi seseorang yang paling bodoh di dunia karena telah termakan semua tipu muslihat yang diciptakan oleh seluruh penghuni rumah itu termasuk ibunya sendiri. Ia tidak pernah menyangka bahwa ibu kandungnya sendiri yang selama ini sangat ia hormati pun akan melakukan hal sekeji itu terhadap dirinya dan bahkan menutupi semua hal itu darinya. Rasanya ia tidak bisa menerima semua hal yang tidak masuk diakal itu, terlebih lagi sosok Jade yang selama ini begitu ia agungkan laksana seorang putra mahkota yang terlahir dengan kebijaksanaan yang begitu tinggi ternyata tidaklah lebih baik daripada ayahnya yang merupakan psikopat itu. Ia merasa begitu menyesal karena selama ini telah begitu mempercayainya hingga tidak menyadari bahwa ia selama ini telah hidup dan tumbuh bersama dengan seorang penipu. Malam itu terasa begitu panjang bagi Jade dan Ivory. Jade meskipun bisa merasakan dan mendengarkan tangisan pilu dari kamar sebelahya, namun ia tidak mampu berbuat apa – apa untuk menghibur gadis itu seperti biasanya atau sekedar menjadi pelipur lara bagi gadis itu. Ia tidak tahu bagaimana akan menghadapi gadis itu hari – hari berikutnya, dan bagaimana ia harus menghadapi hidupnya jika gadis itu benar – benar akan menjauhinya. Rasanya ia tidak akan sanggup untuk menahan gejolak itu.
Pagi itu Ivory sengaja bangun lebih awal dengan tujuan agar ia dapat menghindari semua penghuni rumah tersebut. Rupa – rupanya Jade sepertinya juga berencana bangun lebih awal agar bisa menemani dan membawa gadis itu seperti biasanya. Ketika sedang menuruni anak tangga, dilihatnya gadis itu sengaja melewati ruang dapur dan tidak sarapan lalu berjalan keluar, yang akhirnya diikuti oleh Jade dari belakang. "Tunggu Iv, biar aku antar seperti biasa," ujar Jade yang segera mempersiapkan motornya yang sedang terparkir di halaman depan namun Ivory segera memberhentikanya. "Gak usah! Aku bisa pergi sendiri dengan bus," ujar Ivory yang berlalu meninggalkan Jade sendirian yang melihatnya dengan tatapan penuh keheranan. "Tunggu Iv, apa kamu udah obati luka di lehermu? Tunggu, kamu jangan ninggalin aku gitu. Biar aku antar kamu seperti biasa, aku harus selalu memastikan keselamatanmu. Iv…Tunggu…!" Jade terus berusaha memanggil gadis itu namun yang dipanggil tetap tidak bergeming dan terus melangkah menjauh darinya. Tidak mau kalah, Jade segera menyalakan motornya untuk mengikuti gadis itu hingga ke tempat ia menaiki bus sekolahnya. Ternyata gadis itu benar – benar telah bertekad untuk menjauh darinya. Inilah yang ia takutkan sejak awal. Sekarang yang bisa ia lakukan hanyalah mengikuti gadis itu diam – diam untuk memastikan keselamatannya. Ia membatin kepada sosok Enrique untuk meminta maaf kepadanya karena kecerobohannya kini ia tidak bisa lagi menjaga putrinya dengan sebaik mungkin setelah apa yang terjadi semalam. Setelah Ivory tiba di sekolah dan memastikannya masuk ke dalam, Jade baru kembali ke kantor tempatnya bekerja paruh waktu. Alih – alih bekerja, seharian ia hanya bisa bengong dan tidak bisa fokus pada apa yang dikerjakannya hingga ia mendapat teguran dari atasannya dan terancam akan dikeluarkan dengan tidak hormat. Mendengarkan ancaman itu, ia langsung mencoba untuk fokus karena ia takut jika ia kehilangan pekerjaan tersebut maka ia tidak akan bisa lagi membiayai uang sekolah Ivory. Sementara itu, Ivory yang selama ini dikenal sebagai siswa teladan pun tidak bisa fokus pada pelajarannya hari itu hingga ia mendapatkan 'Surat Peringatan' dari sekolahnya dan diskors untuk seminggu kedepannya. Ia tidak berniat untuk memberitahukan hal tersebut kepada siapapun termasuk Jade yang selama ini ia percaya. Baginya saat ini rasanya ia tidak bisa mempercayai siapapun lagi. Ia kemudian berjalan meninggalkan lingkungan sekolahnya dan tidak sadar bahwa surat skorsing yang diterimanya telah terlepas dari genggamannya di dekat halaman depan pintu gerbang. Ia hanya berjalan tanpa tujuan karena takut apabila ia pulang maka ia hanya akan bertemu dengan orang – orang yang telah mengecewakannya. Baginya rumah itu tidak layak untuk dihuninya lagi. Tiba – tiba ia berpikiran untuk mencari pekerjaan paruh waktu seperti apa yang pernah diceritakan oleh Jade sebelumnya. Sesaat ia merasa bingung, apakah siswa sekolahan sepertinya sudah bisa mendapatkan pekerjaan paruh waktu. Tidak ada salahnya jika ia mencoba dulu pikirnya sambil terus mencari di ponselnya lowongan pekerjaan paruh waktu untuk siswi SMA sepertinya, namun tidak ada satupun yang memenuhi kriteria. Tanpa disadarinya ketika ia berjalan ia menabrak seorang pria yang sepertinya berusia sedikit lebih tua daripada Jade.
"Try to never lie not even once, because when you lie once, no one will ever trust you again."
- L. J. Literary Works -