webnovel

Cinta Diujung Kabut

Rukha memutuskan berangkat ke Yogyakarta untuk belajar Seni Batik Tulis agar ia mendapati perhatian dari sang Ayah. Disana Rukha bertemu dengan seorang pemuda bernama Ghandy yang tidak lain adalah anak dari Larasati seorang seniman Batik Tulis yang nanti nya akan melatih Rukha. Mereka saling memendam rasa yang mendalam. Kisah lampau yang telah lama terkubur kembali terkuak ketika Rukha menceritakan kepada Larasati tentang alasannya belajar Seni Batik Tulis. Rahasia besar satu-persatu terungkap, membuat semua orang terjerat dalam belenggu perasaan yang menyakitkan. Sanggupkah Rukha dan Gandhy menghadapi kenyataan pahit cinta yang telah menjerat bagai akar beringin tak berujung? Bagaimana hidup ini bisa begitu kejam dalam mengisyaratkan sebuah cinta. Ikuti kisah Rukha dan Gandhy yang penuh Tragedi dan air mata. -KembangJati-

KembangJati · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
24 Chs

Secarcik kertas coklat,

"Jika ada hari dimana kau harus memilih jalan di dua sisi persimpangan, maka tanyakan pada nurani mu. Jalan mana yang harus kau pilih. Jangan sampai memilih jalan menyesatkan mu."

"Bagaimana aku bisa tahu persimpangan itu menyesatkan atau tidak bagiku bu?" Tanya Rukha kecil.

"Kau akan tahu nanti anakku, cara bagaiamana kau memisahkan antara kata hatimu atau logikamu.

Tidak selamanya hatimu akan benar, dan tak selamanya juga logikamu salah dengan egonya.

Yang pasti nurani tetaplah akan terpatri pada sebuah ketulusan, kau harus mendengar suara kecilnya yang terletak jauh didalam sana.

Karena dalam keadaan semu tak tahu arah, suara hati dan logikamu lah yang akan paling terdengar dalam balutan ego yang memuncak.

Hingga terkadang, nurani mu tidak terdengarkan."

"Bukankah hati dan nurani itu sama Bu?"

"Tidak anakku, hati hanya sebuah wadah yang akan diisi oleh segala rasa.

Namun nurani adalah sebuah rasa yang hidup untuk ketulusan disetiap hati manusia.

Dan kau akan benar-benar menjadi dewasa saat menghadapi gejolak antara hati dan logikamu tak lagi sejalan."

Rukha tenggelam dalam lamun ingatan disaat ia dan ibunya saling mengisi satu sama lain.

Kemudian Ia menoleh ke samping kanan dalam posisi berbaring ditempat tidur.

Melihat setangkai rose lavender yang tergeletak disisi perut nakas tepat disamping lampu tidur.

Rukha menatap lekat bunga dengan kelopak besar berwarna lavender. Bibirnya sedikit tertarik ke kedua sisi kanan dan kiri.

Ia menarik senyuman seakan merasa bahagia. Namun, tampak binar serpihan kaca yang juga terbendung dimata indahnya.

Dan binar itu, mengalir perlahan dari ujung mata saat ia memejamkan mata indahnya.

Entah apa yang sedang dirasakan gadis ini, bahagia dalam kesedihan atau kesedihan dalam kebahagiaan. Ah, bukankah itu sama saja?

*****

Suasana pagi seperti biasa nya, Rukha membantu Ningrum untuk menyiapkan sarapan.

Ia menyusun piring sesuai dengan tempat duduk.

Sementara Ningrum masih menggoreng tempe mendoan kesukaan Ranti. Bisa dibilang itu merupakan menu wajib dirumah ini.

Rukha melanjutkan pekerjaannya dengan meletakkan nasi goreng kampung didalam bakul yang terbuat dari anyaman bambu.

Lalu ia melanjutkannya lagi dengan membuat teh hijau panas yang nantinya akan dihidang setelah makan nasi.

"Rukha,"

Rukha menoleh melihat Ningrum yang memanggilnya.

"Hari ini ibu akan mengantarmu lagi."

"Hm, tidak usah bu. Aku tak ingin merepotkan mu."

"Aku tidak pernah merasa direpotkan Rukha,"

"Ee…hmmm maksudku. Tidak apa-apa bu. Aku akan pergi sendiri. Lagian aku merasa seperti anak TK kalau harus selalu diantar olehmu."

Rukha sudah mulai nyaman dengan keluarga kecil ini, karena mereka selalu mengahadirkan kehangatan yang tulus untuknya.

Hingga ia tak lagi sungkan untuk mengeluarkan pendapatnya. Jika itu diperlukan.

Ningrum menarik nafas dan tersenyum.

"Ya sudah, kalau begitu. Kau bisa naik sepeda?"

"Ha." Ucap Rukha sedikit menganga dengan rasa terkejutnya.

Rukha menggelengkan kepalanya sambil tertunduk malu.

"Tidak apa Rukha." Ujar Ningrum sambil tersenyum.

"Ibu akan menyuruh bapak menelepon tukang becaknya untuk mengantarmu."

"Aku jalan saja bu," tangkas Rukha.

"Udara segar dipagi hari yang sayang dilewatkan kalau aku naik becak." Timpal Rukha sambil tersenyum membujuk.

"Kau yakin? Apa kau terbiasa berjalan, lagi pula kau sendirian."

Ningrum memastikan bahwa Rukha akan baik-baik saja disaat dia berjalan sendirian.

Karena ia merasa Rukha adalah sepenuhnya tanggung jawabnya selama gadis itu berada dirumahnya.

"Aku sudah hapal jalan menuju sanggar bu, Ranti sudah membawaku beberapa kali dan aku mengingatnya dengan baik."

"Nanti kau kelelahan sebelum berlatih, karena harus berjalan." Ujar Ningrum memastikan.

"Aku sudah terbiasa berjalan menyisiri kebun murbey." Jawab Rukha sambil tersenyum meyakinkan Ningrum.

"Wah, benarkah. Terdengar menyenangkan. Baiklah, kalau begitu kau harus berhati-hati. Sebelum itu, ayo kita segera sarapan nanti akan keburu dingin." Bisik Ningrum dalam candaannya.

"Kau duduklah duluan. Ibu akan memanggil Bapak."

*****

Udara sejuk membiasi dirinya, dingin itu sesekali menusuk tubuhnya saat angin sesekali menerpanya.

Rambut coklat tua bergelombang itu kali ini kembali disanggulnya dalam balutan bando pita bercorak bunga daisy.

Dengan sedikit menyisakan beberapa helai poni bagian depan kanan dan kiri.

Dress hitam dibawah lutut, berbahan sutra dengan kombinasi ban pinggang yang mengikat dipinggangnya. Jelas, memperlihatkan bentuk ramping tubuhnya.

Ditambah dengan kerah sanghai dan lengan tangan yang panjang membuat penampilannya terlihat sungguh elegant dan menawan.

Ia terus melangkah sambil menyandang tas dibahu jenjangnya. Tas kain berbahan goni dengan motif batik menjadi tas favorite nya selama ia berada dikampung ini.

Kicau burung saling bersahutan seakan mengiringi langkah kakinya.

Rukha benar-benar menikamti perjalanannya. Karena ia memang penikamat udara pagi yang asri nan sejuk.

*

Langkahnya terhenti didepan tangga kecil paguyuban.

Ia melihat kembali keseluruh bangunan rumah joglo dengan saka/tiang-tiang tinggi penuh ukiran yang khas.

Ia menarik nafas dalam-dalam. Perasaan yang tidak biasa itu kembali timbul saat ini.

Bahkan hanya melihat rumahnya saja. Debaran jantung itu kembali berdebar secara tak normal.

Ia menguatkan dirinya untuk melangkah masuk, melawati saka/tiang-tiang tinggi.

Terlihat pintu rumah sudah terbuka seakan bu Laras memang sudah menunggunya.

Lama ia mematung didepan pintu yang sudah terbuka lebar. Ingin masuk, tapi ada keraguan.

Berpikir bagaimana jika bertemu lagi dengannya. Bukan tak ingin, namun seakan tak siap. Getaran hati ini sungguh mengganggu. Tapi, ada titik kebahagiaan bila diingat.

**

Hembusan angin diruang rose galery sedang menyisiri dua insan yang saling bertemu pandang dalam jarak yang sangat dekat.

Saling melihat dengan tatapan yang penuh isyarat.

Sampai pada akhirnya Ghandy tersadar dari hanyutnya pandangan karena mata pinsil yang tajam telah menusuk jari kakinya.

Karena tanpa sadarnya Rukha telah menjatuhkan pinsil yang berada digenggamannya.

Spontan Ghandy menarik diri dari jarak kedekatan mereka, ia menggaruk rambut bagian belakang yang tidak gatal sembari tersenyum tipis.

Rukha yang berdiri dengan sikap salah tingkahnya, membuat Ghandy menyadari bahwa ia harus segera beranjak sebelum semuanya benar-benar menjadi kikuk.

Karena apa yang dirasakan Rukha, sebenarnya juga dirasakan olehnya.

Ia sedikit menundukkan kepalanya sambil melemparkan senyuman pada Rukha, lalu berbalik dan melangkah menuju pintu.

Namun, belum jauh saat ia melangkah, ia berbalik, dan kembali saling menatap.

Matanya menangkap mata Rukha yang masih melihatnya seakan menghantar kepergiannya.

Tentu saja itu membuat hatinya merasakan senang. Seolah Rukha tak ingin berhenti melihatnya. Pikirnya.

"Rose Lavender hanya tertuju pada pelangi yang akan selalu kulihat bahkan tanpa mendung ataupun hujan yang menderai." Ujar Ghandy sambil menatap lekat mata Rukha begitupun sebaliknya.

Ia berbalik dan melanjutkan langkahnya, mengambil caping dan sepatu boot karet, kemudian keluar meninggalkan Rukha yang masih mematung.

Nafas yang tak beraturan karena debaran jantung yang tidak sedang normal. Hingga ia sedikit merasakan sesak.

Itu yang dirasakan Rukha saat ini. Belum pernah ia merasakan tatapan hangat dari seorang laki-laki, dan ucapan yang begitu membuat setitik getaran yang begitu nyata dihatinya.

Ia menoleh kebelakang, melihat secarcik kertas coklat dan setangkai rose lavender disudut meja.

Pandangannya lekat, namun penuh isyarat.