webnovel

Cinta Diujung Kabut

Rukha memutuskan berangkat ke Yogyakarta untuk belajar Seni Batik Tulis agar ia mendapati perhatian dari sang Ayah. Disana Rukha bertemu dengan seorang pemuda bernama Ghandy yang tidak lain adalah anak dari Larasati seorang seniman Batik Tulis yang nanti nya akan melatih Rukha. Mereka saling memendam rasa yang mendalam. Kisah lampau yang telah lama terkubur kembali terkuak ketika Rukha menceritakan kepada Larasati tentang alasannya belajar Seni Batik Tulis. Rahasia besar satu-persatu terungkap, membuat semua orang terjerat dalam belenggu perasaan yang menyakitkan. Sanggupkah Rukha dan Gandhy menghadapi kenyataan pahit cinta yang telah menjerat bagai akar beringin tak berujung? Bagaimana hidup ini bisa begitu kejam dalam mengisyaratkan sebuah cinta. Ikuti kisah Rukha dan Gandhy yang penuh Tragedi dan air mata. -KembangJati-

KembangJati · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
24 Chs

Hakikat Rindu

"Apa yang kau cari ndok? Mari singgah, singgah ndook." Seru penjual.

Suasana riuh seruan penjual, terlihat kegiatan tawar-menawar.

Ibu-ibu yang membawa anak sambil menenteng keranjang.

Gadis-gadis muda yang lalu-lalang silih berganti. Dan ada juga diantara mereka sedang menjaga dagangannya.

Tampak juga nenek-nenek yang menggendong barang dagangan dengan kain jarik.

Rukha melihat pemandangan itu semua, ia memperhatikan dengan seksama suasana pasar tradisional yang dikunjunginya saat ini.

Wajahnya sungguh prihatin melihat seorang nenek yang sudah terlihat bongkot masih harus bekerja membawa barang dagangannya kesana-kemari untuk menawarkan kepada setiap orang, barang-kali ada yang mau membeli.

Selama ini, Rukha adalah gadis yang terkurung disalah satu kaki gunung yang terdapat di daerah Jawa Barat.

Ia dibesarkan disana, dan sampai gadis pun tak pernah merasakan dunia luar.

Bukan karena ia dikekang oleh orang tuanya. Tapi, karena memang ia tak mau bepergian.

Rumah, gudang ulat sutra dan kebun murbey adalah tempat paling nyaman menurutnya selama ini.

Hingga, sampai tiba saatnya ia memutuskan keluar dari kampungnya untuk menggapai keinginan besar yang sedari kecil sudah diimpikannya.

Jadi, apapun hal yang dilihatnya saat ini adalah hal-hal baru baginya.

Ia hanya belum terbiasa melihat sisi lain dari kehidupan didunia ini.

Rukha gadis polos yang tumbuh dengan status sosial yang tinggi.

Tidak pernah merasakan kekurangan, terkecuali, kasih sayang seorang Ayah.

Sebelumnya tidak pernah ia melihat orang serenta itu untuk bekerja.

"Tiwul ndok?" Tawar sinenek karena ia melihat Rukha menatapnya.

Rukha menggangguk dan tersenyum sembari berkata, "iya Nek."

Sinenek pun tersenyum, sambil berjalan kebagian pinggir jalan untuk menepi menurunkan dagangannya.

Rukha mengikuti langkah sinenek.

Sinenek mulai membuka simpulan gendongan didadanya. Dengan sigap Rukha membantu menurunkan bakul dari gendongan sinenek.

"Matur nuwun ndok,"

"Piro sing arep dituku?" Nenek melanjutkan ucapannya.

Rukha mengerutkan keningnya, ia sama sekali tidak memahami apa yang dikatakan sinenek.

"Mesthi sampean ora ngerti tho?" Sinenek menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Mung sepuluh ewu mbah." Sambut pemuda yang tak asing lagi bagi Rukha.

Rukha terkejut melihat Ghandy yang menghampirinya.

Ia langsung berdiri dari posisi setengah duduk yang ditopang dengan lutut.

Sinenek membuat dengan cepat dan membungkus tiwul dengan daun pisang.

Ghandy melemparkan senyumannya pada Rukha dan menghampirinya.

Ia membayarnya lalu mengambil kantongan plastik dari tangan sinenek.

"Matur nuwun mbah." Ucap Ghandy.

Rukha masih terdiam melihat Ghandy berada disamping nya saat ini.

'Kenapa ia berada disini, apa dia mengikutiku' ucapnya dalam hati.

'Agh, tapi tak mungkin. Memangnya siapa aku yang harus diikuti olehnya' Rukha bergulat pada pikirannya sendiri.

Sinenek mengganguk. Dan ia kembali mengangkat bakul yang kali ini dibantu oleh Ghandy.

"Sesuk ojo tinggalin istrimu ditempat asing tho ndok," kata sinenek.

Ghandy mengangguk dan tersenyum.

Rukha menatap sinenek dan Ghandy secara bergantian.

Walau ia tidak mnegerti apa yang dikatakan sinenek, tapi ucapan terakhirnya tidak susah untuk dipahami.

Sinenek melanjutkan langkahnya, meninggalkan mereka berdua.

Ghandy kembali menatap Rukha, menjulurkan tangannya memberikan bungkusan tiwul yang dibelinya tadi.

Rukha menyambutnya, mengambil bungkusan dari tangan Ghandy.

Tanpa sengaja jari-jari mereka bersentuhan.

Sentuhan yang singkat namun sangat terasa, dan mungkin tidak akan terlupa.

"Terimakasih." ucap Rukha lembut.

Ghandy membalas dengan senyum hangat.

"Apa yang kau cari?" Tanya Ghandy.

"Hmmm, tidak. Aku tidak sedang mencari apa-apa."

"Benarkah?" Tanya Ghandy meyakinkan.

Rukha mengangguk dan tersenyum ragu.

Sambil mengalihkan pandangannya, dan sesekali menatap Ghandy.

"Jadi kau datang kesini hanya untuk membeli tiwul?" Tanya Ghandy menggoda.

Rukha tersenyum malu. Ia tahu bahwa Ghandy sedang menggodanya.

"Mengapa tak kau katakan saja padaku, biar aku yang membuatkan untukmu." Kata Ghandy sekali lagi menggoda Rukha.

Tepatnya, berusaha untuk menciptakan suasana nyaman diantara mereka.

Rukha hanya membalas dengan senyum khas nya.

Ghandy menyadari, ia harus berusaha lebih keras lagi.

Rukha kembali melihat-lihat sekeliling, sebatas jarak pandang-memandang.

Sepertinya ia memang sedang mencari sesuatu.

"Tidak ingin berjalan ke sekeliling pasar?" Tawar Ghandy, seolah ia tahu Rukha sedang mencari susuatu.

Rukha tersenyum tipis dan menggangguk.

Melihat itu, Ghandy merasakan bahagia yang ia sendiri tak tahu sebesar apa.

Karena untuk peratama kalinya, ia bisa jalan berdua setelah beberapa hari saling menyapa singkat disekitar rumahnya.

Akan ada banyak hal yang bisa ia bicarakan dengan Rukha, tidak, walau tidak banyak yang dibicarakan setidaknya ia bisa melihat wajah gadis yang sangat dikaguminya lebih lama dan lebih dekat lagi.

Ghandy mempersilahkan Rukha untuk duluan melangkah, yang kemudian disusul olehnya.

Mereka berjalan beriringan, meski sudah beberapa langkah berjalan belum ada sepatah kata pun yang keluar.

Hingga Ghandy memulai kembali usaha nya.

"Hari ini, mengapa kau cepat selesai berlatih?"

Rukha menoleh menatap Ghandy, kemudian dengan sigap ia kembali melihat jalan.

'Bagaimana dia tahu jadwal ku, sementara dia selalu berangkat kesawah dipagi hari dan ketika aku siap berlatih, ia bahkan belum pulang.' Gumam Rukha dalam hati.

*

Depan paguyuban yang memang terlihat sepi, seorang gadis melangkah menuruni anak tangga kecil.

Kemudian berjalan keluar, melewati halaman paguyuban yang lumayan lebar.

Ia terus melangkah mengikuti jalan kearah kiri.

Matahari yang mulai terlihat turun terbenam dari arah barat. Menandakan bahwa hari sudah semakin sore.

Rukha terus berajalan menyisiri jalan tanah merah berbatu. Dan terdapat pohon-pohon cemara dibagian pinggir jalan.

Ia berjalan dengan santai tanpa melihat kanan-kiri. Pandangannya focus kedepan.

Perjalanan yang lumayan jauh ditempuh dengan pejalan kaki. Namun, Rukha tidak terlihat keletihan.

Hingga, ia sampai didepan rumah yang saat ini menjadi tempatnya bernaung.

Ia melangkah masuk menyisiri halaman rumah, sampai tiba tepat didepan pintu rumah.

Tak lama dari itu, seseorang membukakan pintu dari arah dalam.

Entah siapa, karena tidak terlihat jelas dari arah yang agak jauh dari rumahnya.

Bisa saja Bu Ningrum, Pak Basri, atau bahkan Ranti.

'Agh, tapi Ranti sedang sakit. Mungkin saja bu Ningrum.' Ucap Ghandy dalam hati sambil tetap melihat Rukha memastikan bahwa ia telah masuk kedalam rumah.

Ghandy berdiri sambil memegang setang sepeda ontel yang sedari tadi tidak dinaikinya.

Beberapa hari ini, ketika Rukha pulang berlatih, Ghandy selalu mengikutinya.

Tak henti rasanya ia mencari tahu lebih dalam tentang gadis yang memikat hatinya.

Dimana ia tinggal, sama siapa ia selalu pergi setiap hari, dan yang lebih penting memastikan bahwa Rukha benar-benar sampai kerumah tempat ia tinggal dengan selamat.

Ghandy selalu menunggu Rukha di perepatan jalan yang membagi jalan arah kesawahnya dan arah rumah bu Ningrum.

Ia mengikutinya langkah demi langkah dengan tetap menjaga jarak agar tidak ketahuan oleh Rukha.

Begitupun yang ia lakukan disore ini, ia memilih untuk pulang lebih cepat. Karena rindu yang tidak tertahankan.

Namun tidak disangka, takdir seolah merestui hakikat rindunya.

Ditengah perjalanannya Ghandy bertemu dengan gadis pujaannya. Dan tentu saja, bagaikan magnet ia kembali mengikutinya.

Ghandy terus memperhatikan Rukha walau kini masih dalam jarak.

Hatinya semakin terperosok jauh kedalam asmara tanpa daya.

Mereka bertemu ditempat lain, bahkan lebih intens, saling bicara dan menatap.

Mungkin melepaskan rasa rindu yang tertahan tak bersuara.