webnovel

Kesamaan

***

Sesudah pesanan yang kami pesan di antar kan. Kami berdua pun makan dengan lahapnya.

Bagaimana bisa aku melewatkan makanan kesukaan ku ini.

"Kamu lapar atau doyan sih, Fir." ucapnya yang melihatku makan dengan begitu lahapnya.

Aku hanya nyengir kuda tanpa menjawab ucapan Reno barusan.

"Mau?" tawarku.

"Boleh?"

"Ya boleh kalau kamu mau. Palingan juga nggak akan mau juga kan?" ucapnya.

"Eh enak aja. Aku juga mau kali."

"Beneran?"

"Ya iyalah," ucapnya sambil menggeser piring jengkol yang masih tinggal separuh itu.

"Eh," ucapku yang terkejut melihat perlakuannya barusan.

Ternyata cowok sekeren dan seganteng dia suka juga ya makanan model begini? Aku kira ia bakal jaim atau gimana. Eh, ternyata enggak juga.

Aku yang dari tadi memperhatikan nya sampai lupa sendiri untuk menghabiskan makanan yang masih tinggal sedikit itu. Rasanya adem sekali kalau saat melihat ia makan dengan begitu lahapnya.

Apalagi ia tak ragu mengeluarkan sisi dirinya dengan makan di warung pinggir jalan begini. Tidar seperti lelaki yang mengajak ku jalan lainnya ia akan malu saat mengajak ku makan di tempat pinggir jalan begini. Paling tidak ia akan mengajak ku makan ke tempat yang sedikit berkelas.

Kalau tidak ia akan mengajak ku jalan-jalan ke suatu tempat. Namu walau begitu aku juga menghargai usaha setiap lelaki yang mengajak ku berlibur.

Bagaimana tidak aku hargai, toh aku sendiri kalau nggak di ajak main juga nggak akan main apalagi sampai jauh begitu. Secara di rumah hanya ada satu sepeda motor. Yang selalu mas Irwan gunakan untuk pergi bermain.

Bahkan aku sangat jarang sekali menaiki motornya itu. Aku lebih memilih untuk naik sepeda atau pun jalan kaki. Lebih praktis dan lebih sehat juga, kan?.

"Enak nggak, Fir?" ucapnya yang mengagetkan lamunanku.

Aku yang tersadar karena di ajak bicara langsung saja beralih menikmati makanan yang masih tinggal sedikit di piring ku.

"Enak kok," jawab ku singkat.

"Ini sebenarnya warung makan kesukaan ku." ucapnya.

"Oh, ya?" ucapku mencari jawaban yang sesungguhnya.

"Iya, hampir setiap hari dulu aku mampir ke sini hanya untuk menikmati masakan jengkol ini." ucapnya mulai bercerita lagi.

"Lho emangnya ibu kamu nggak pernah masak di rumah?" tanyaku.

"Jarang masak. Kan ibuku jarang di rumah. Pagi sampai sore kan di toko." ucapnya masih dengan melahap jengkol yang masih tersisa beberapa biji itu.

Aku yang baru pertama kali mengetahui pekerjaan ibunya hanya bisa manggut-manggut saja.

Karena sedari dulu memang aku cuek dengan gosip atau pun hal lainnya yang berhubungan dengan Reno bahkan dengan lelaki lain yang selalu mendekati ku. Karena memang aku tak pernah memandang dari derajatnya untuk menerima seseorang.

Yang penting ia tulus mencintaiku dan bisa menghargai ku sebagai perempuan. Itu sudah point penting bagiku.

"Terus bapak kamu?" ucapku mulai kepo dengan latar belakang keluarga nya.

"Bapak ku udah nggak ada?" ucapnya.

Namun tak tersirat kesedihan atau apapun yang terpancar dari wajahnya. Bahkan dia masih tetap fokus untuk mengunyah makanannya. Aku yang merasa tak enak langsung meminta maaf karena telah lancang menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi itu.

"Maaf ya, Aku bener-bener nggak tau soalnya." ucapku meminta.

"Iya santai aja kali. Lagian aku juga sudah biasa kok."

"Ibu kamu kerja di toko?" tanyaku.

"Bukan kerja sih, milik sendiri sebenarnya. Toko kelontong kecil-kecilan kok. Bukan toko yang besar."

"Oo begitu," ucapku sambil manggut-manggut.

"Nanti kapan-kapan aku ajak kamu ketemu ibu deh. Biar bisa kenalan." ucapnya sambil tersenyum.

"Eh, nggak usah kali." ucapku malu-malu.

"Hahah, kok merah gitu pipinya. Kenapa? malu ya kalau ketemu calon mertua." goda nya.

"Eh, apaan sih. Masih kecil juga udah bicara begituan."

"Lho gapapa dong. Kalau kamu mau juga ayok aku kenal kan sekarang juga nggak papa." ucapnya menggoda.

"Eh, ayok pulang udah selesai kan makannya!" ucapku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Ya sudah aku bayar dulu ya,"

Aku hanya mengangguk tanpa menjawab ucapannya lagi. Aku hanya menungguinya dari luar di samping motor yang akan ia kendarai. Takut di ambil maling, kaya dia yang diam-diam mencuri hati ku, Eh!.

"Sudah?" tanyaku saat melihat dia menghampiri ke arah ku.

"Iya, kamu di suruh cuci piring tuh belum bayar kan?" ucapnya dengan nada serius.

"Eh, bukannya kamu yang bayar?" ucapku kaget.

"Enak aja kan kamu yang makan." ucapnya.

"Eh seriusan! Aku nggak bawa uang ini terus gimana dong." ucapku bingung.

Aku yang saat itu bingung harus berbuat apa karena memang saat itu aku tak membawa uang sepeser pun. Seratus perak pun nggak bawa.

Karena kan pikirku bakal dapat gratisan gitu. Makanya aku meng-iyakan saat ia mengajakku makan. Duh! bagaimana ini nasip ku!

Sementara dia pura-pura cuek tak mendengar omelanku barusan. huh, dasar cowok nggak peka!

Aku pun langsung berjalan untuk kembali ke warung makan itu dengan perasaan sedikit dongkol. Dengan terpaksa aku harus menuruti perintah ibu pemilik warung untuk mencuci piring. Dari pada aku bingung harus membayarnya dengan apa. Bener, kan?

"Mau kemana?" ucapnya sambil menarik tangan ku.

Aku yang baru beberapa langkah berjalan dari tempat ku semula berdiri. Langsung refleks berbalik. Hampir saja badanku terhuyung ke belakang dan hampir saja menubruk Reno yang tepat berada di depan ku.

Cukup seperkian detik kami berdua berpandangan. Rasanya darah ini mengalir dengan begitu derasnya. Jantung pun berdetak begitu cepat. Sepoi-sepoi angin menerpa hingga menambah kesan yang begitu menyejukkan di kalbu.

"Eh, maaf." ucapku yang langsung melepaskan tanganku dari dekapan tangannya.

"Iya, nggak papa."

Canggung!

Hal itu yang aku rasakan saat ini kepadanya. Entah ini sebenarnya perasaan apa? Karena aku juga belum pernah merasakan perasaan yang begitu mendayu-dayu seperti ini.

"Kamu mau ngapain tadi?" ucapnya memecahkan keheningan di antara kita berdua.

"Eh, a.. aku mau ke warung lagi nemuin ibu pemilik warung itu. Kan tadi katanya aku fi suruh cuci piring. Soalnya aku juga beneran nggak bawa uang sama sekali buat bayar makanan yang tadi aku makan. Apalagi kan makanan yang aku pesan juga banyak tadi." ucapku polos.

"Hahah, " dia hanya tertawa mendengar jawaban ku barusan.

Emang ada yang lucu, ya? sampai-sampai dia tertawa begitu syahdu nya!.

"Kenapa ketawa gitu? Emang ada yang lucu." ucapku bingung.

Dia tertawa begitu riangnya hingga membuat matanya sedikit mengeluarkan air mata. Sebegitu lucunya, ya?

"Hahah, enggak. Kamu ini polos banget ya?" ucapnya sambil sesekali tertawa.

"Maksudnya? aku nggak paham."

"Tadi itu aku becanda kali," ucapnya sambil tersenyum.

Apa!! jadi sedari tadi aku di kerjain. Bisa-bisanya dia masih bisa tersenyum begitu. Dasar sok ganteng! gerutu ku.

***