Pelan-pelan kubuka surat beramplop biru muda. Aromanya begitu lembut membuat siapapun ingin mengetahui isi dari surat tersebut. Lipatan surat yang terlipat rapi dan indah. Tidak ada sedikitpun cela dalam tulisannya. Tanpa coretan. Dan akupun sudah mulai berselancar terjun kedalam surat tersebut. Dan tenggelam dengan rayuan mautnya. Ciee. Tak segampang itu bos.Clara tak mudah untuk dirayu. Sorry ya.
Kubaca bait demi bait tulisan dan isinya begitu menyesakkan dada. Hahahaha.
Dear Clara cantik.
Apa kabarmu sayang. Sebelum mengenalmu aku tidak pernah mengenal kata cinta dan sayang tapi kamu telah merubah segalanya. Aku mulai jatuh cinta padamu. Rindu dan cintaku teramat dalam kepadamu. Aku ingin hari-hari ku bersamamu. Melihat senyummu. Mendengar suara, canda dan tawamu. Aku ingin kita menua bersama. Maukah engkau menjadi ibu dari anak-anakku kelak dan kita berbahagia bersama di rumah mungil kita yang diisi dengan tawa canda kita. Tangisan bayi-bayi kita. Maukah kau menjadi istriku, Clara? Terimalah rasa cintaku.
Dari yang selalu mencintai dan merindukanmu.
Selesai membaca semua surat tanpa pengirim yang sudah ku simpan selama seminggu ini, malah membuatku menjadi mual. Rindu? Sayang? Cinta? Halah kata-kata gombal.
Darimana dia bisa bilang rindu sama aku, emangnya aku kenal sama pengirim surat tersebut? Jangankan kenal, tau wujudnya aja enggak. Itu namanya sok kenal sok dekat. Ada-ada saja manusia jaman sekarang. Mungkin udah kebanyakan makan micin makanya begitu.
Kutatap langit bertabur bintang dari balik jendela kamar, menerka-nerka siapa dalang dibalik surat tersebut. Gaya penulisan nya sangat asing bagiku. Betul-betul tidak bisa kukenali. Setiap deret huruf begitu tersusun rapi. Ini tulisan cowok kok rapi banget. Pasti pemilik tulisan tersebut orang yang tenang dan santai. Dan dia juga bukan orang yang terburu-buru dalam mengerjakan sesuatu. Itu sih menurut analisa aku. Sambil berbaring dikamar, pikiranku terus dihantui dengan rasa penasaran mengenai siapa pengirim surat cinta tersebut, sampai tak terasa aku sudah terlelap dan menjelajah ke alam mimpi dan tersadar disaat suara alarm di handphone berbunyi pertanda pagi sudah menyapa.
Dengan sedikit rasa malas akupun beranjak dari tempat tidur menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sekarang gak tidak boleh santai lagi karena mulai hari ini dan seterusnya tidak ada lagi yang namanya diantar jemput sama pak Krisna yang sudah setia dari Sekolah Dasar sampai saat ini kelas sepuluh. Mengingat aku sudah lumayan dewasa sudah bisa menjaga diri dan bokap nyokap memutuskan supaya aku berangkat ke sekolah naik angkutan umum aja. Iya juga sih. Masak sampe tua begini masih diantar jemput juga, kayak anak taman kanak-kanak. Atau remaja jompo. Hehehe.
Setelah menyelesaikan sarapan pagi, akupun berpamitan kepada ibu.
Jam sudah menunjukan ke angka 06.30, dengan berjalan sekitar lima menitan tak terasa sampai juga ke halte bus. Sebuah bus sekolah lewat tapi nampaknya tidak berhenti karena begitu membludaknya penumpang memaksa diri ini harus menunggu bus selanjutnya. Dan akupun duduk kembali. Sambil menunggu bus kedua datang ku ambil ponsel dari saku dan membukanya untuk mengusir rasa bosan. Jam terus berjalan dan kulirik arloji ditangan, jarum jam sudah menunjukkan diangka tujuh. Lima belas menit lagi bel pertama berbunyi. Aku mulai resah. Bus pada penuh semua. Setiap lewat hanya menyalakan klakson pertanda tidak bisa berhenti karena penuh sesak dengan penumpang.
Dari kejauhan kulihat Reno mengendarai motor dan berhenti pas didepan ku.
" Naik, nek. Nanti terlambat."
Enak banget dia manggil orang dengan sebutan nenek. Apa setua itu aku? Dengan tetap diam dan tidak menggubris sedikitpun tawarannya. Pura-pura gak dengar ajalah. Anggap aja suara angin yang lewat atau anggap aja dia lagi ngomong sama orang lain bukan sama aku. Bisanya cuma menghina dan mengejek aja. Malas kali. Kenapa pula pake acara bus penuh segala sih.
"Buruan, nek. Apa mau kamu dihukum keliling lapangan atau membersihkan kamar mandi?"
Reno kembali menawari untuk berbonceng dengan dia. Dasar bocah edan, nawarin boncengan pakai kata-kata mengejek segala. Emang sih dia nawarin demi kebaikan ku juga tapi panggilannya kok gak enak didengar sedikitpun.
" Hei, nek. Kok malah melamun sih. Buruan hayo."
"Apa? kakek ngomong apa tadi. nenek gak dengar." Dengan kesal akupun sengaja berpura-pura tidak mendengarkan ajakan dari Reno.
"Apa kamu bilang? kakek? masak cowok ganteng dan masih muda begini, unyu-unyu kok dipanggil kakek sih."
"Kamu gak terima kan? aku juga gak terima dipanggil nenek. Emang aku nenekmu apa?"
"Hahaha. Hayo. Buruan. Ntar terlambat lagi."
Dengan berat hati dan sangat terpaksa kuterima juga tawaran makhluk menyebalkan tersebut . Bagaimana lagi. Akupun gak mau dihukum karena terlambat seperti yang sudah-sudah.
" Pakai nih helemnya." Dengan memutar badan Reno menyodorkan helm yang bergambar hello Kitty. Lah ini helm kok kayak helem perempuan atau dia sengaja sediain helem buat boncengan setiap ada cewek dijalan? Kok seperti harimau sedang mencari mangsa aja.
" Buruan dong pakai helmnya. Melamun aja kerja nih cewek. Kesambet dimana kamu kok jadi pendiam gitu."
Perlahan kupakai juga helm tersebut dan menaiki motor.
"Jalan aja. Aku dah siap pakai helm nya nih.
" Pegangin pinggang dong...Peluk."
"Dasar ganjen." Kucubit pinggangnya kesal.
"Kok ganjen sih. Entar nenek jatuh kalo gak pegangan."
"Males."
"Kalo kamu gak pegang pinggang, aku gak mau jalan nih." Ancamnya lagi.
Dengan kesal kulingkarkan tanganku dikepalanya seperti orang memeluk pinggang juga.
"Hei yang dipeluk itu dimana-mana pinggang cowoknya bukan kepala. Nampak banget kamu gak pernah dibonceng cowok ya. Kasian banget hidup menjadi jomblo akut seperti mu." Ledek Reno. Suaranya itu betul-betul menjadi polusi udara buat telinga ku.
"Ya udahlah. Aku nunggu bus aja. Biar ajalah terlambat." Aku pun sudah mulai kesal dengan ulah Reno. Nawarin boncengan tapi ada maunya. Minta imbalan dipeluk segala.
Aku berusaha turun dari sepeda motor tapi keburu di gas. Untung aja cepat aku pegangan. Kalo gak udah jatuh. 'Ketawa pula nih makhluk.' batinku kesal. Mimpi apalah aku semalam. Apes kali nasibku jumpa makhluk seperti Reno.
Kalau gak karena takut dihukum, bagus nunggu bus aja. Malas pun berboncengan sama dia.
Tak terasa lima belas menit sudah dan kami pun sudah sampai dipintu gerbang sekolah. Belum ada tanda-tanda mau ditutup.
Reno sudah menghentikan motor diparkiran sekolah dan akupun turun.
"Nah, helemnya." Ku serahkan helm dan memutar badan hendak meninggalkan dia.
" Eh gak ada ucapan terima kasihnya. Salim dulu kek. Cium tangan."
Kurasa salah minum obat nih anak. Menyebalkan. Dia kira aku ini siapanya dia. Saudara bukan, orang tua bukan. Pacar bukan. Ih amit-amit punya pacar seperti dia. Bawel banget.
" Makasih udah kasih tumpangan." Ujarku dengan kesal kutinggalkan Reno di parkiran sendiri. Sementara dia tertawa puas.