webnovel

CINTA 9 TAHUN

Arra Maharani. Perempuan berumur enambelas tahun yang memiliki dua sisi yang lain di dalam dirinya, dia polos, lugu, ramah, baik dan mudah dimanfaatkan. Berada di tempat yang salah adalah kebiasaannya, dia diajarkan untuk selalu jujur dan membicarakan apa saja yang dilakukan dimana saja. Perempuan itu dididik sangat baik oleh orang tuanya dan dua kakaknya. Hanya saja, semuanya menjadi sedikit rumit. Raenal dan Giral memiliki pilihan terbaik untuk adiknya, sayangnya semuanya menjadi sebuah peperangan. Selain itu, Arra juga dihadapkan dengan situasi jika dia berpihak maka dia akan kehilangan mana yang tidak dia pilih. Cinta bukan tempat untuk memilih mana yang diberikan, namun perasaan kecil Arra ingin dia mendapat pemimpin di dalam hidupnya dengan baik. Sayangnya semua itu tidak mudah. "Tyo bukan pria yang baik untuk Arra." "Apa kau pikir laki-laki kecil itu pilihan terbaik untuk Arra? Bodoh sekali!" "Kak, bukankah kalian keterlaluan?"

sakasaf_story · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
54 Chs

33. Tawaran Vio Untuk Kevin.

Keadaan semakin menjadi, rasa cangung yang membuat Vio, Fian dan juga Arra hanya bisa terdiam tidak mengatakan apapun. Arra yang melihat ke arah wajah Fian, begitupun Vio yang terlihat melihat ke arah Arra yang melihat Fian.

Semakin canggung, namun Vio di sana benar-benar menjadi saksi mata yang asli jika dia melihat Arra yang sedang mencari tahu bagaimana respon Fian terhadapnya dan perasaan Fian yang sangat terkejut bukan main.

"Bagaimana?" tanya Fian begitu dia sukses membuat dirinya sendiri terlihat sangat kikuk dengan keadaan yang terlihat sedang tidak baik-baik saja. "Apa? Dimana salahnya, aku hanya asal bicara," sambung Vio membuat Arra menelan ludahnya sukar begitu melihat Fian meminta penjelasan dari Arra soal kedekatan antara Arra dengan Kevin.

"Kau menyukai Kevin, juga?" Arra memutar bola matanya malas dan memilih abai, perempuan itu berjalan menjauh cukup intens dan masuk ke kelasnya saja karena dia tidak ingin bicara.

Ini sebuah fitnah, Arra tidak mengatakan apapun. Vio yang selalu memberi tuduhan pada Arra, Vio yang selalu mengambil kesimpulan sendiri pada Arra, dan masih banyak Vio yang memiliki sikap dominan namun mendominasi Arra dengan isi kepalanya sendiri.

Bell masuk berbunyi, begitu Fian akan masuk ke kelas Arra dan juga Vio membuat laki-laki itu mengurungkan niatnya untuk masuk, Arra yang melihat dirinya sedang ditatap langsung oleh Fian juga hanya bisa terkekeh kecil.

"Iblis kecil itu benar-benar sangat cerdik," gumamnya membuat Arra melihat kw arah Vio yang datang setelah Fian kembali ke kelasnya.

Tatapan kecil dan senyum manja milik Vio perempuan itu berikan pasa Arra. "Apa aku salah mengatakan ini?" tanya Vio seakan-akan dia meminta oenilaian dengan apa yang baru saja dilakukan oleh Vio hanyalah sebuah candaan. "Kau tidak salah, Vio." Arra hanya mengatakan itu, Vio berjalan menuju kursinya dan Arra kembali bergumam.

"Sepertinya aku yang salah menganggapmu baik." Arra memutar bola matanya malas kembali terkekeh.

Perlajaran dimulai, satu sekolah sibuk dan fokus pada pelajaran mereka masing-masing, begitupun Vio yang sedang merencanakan sesuatu untuk nanti karena dia memiliki sebuah rencana baik.

"Maaf." Vio terlihat sedikit merasa keberatan, matanya memang terlihat mengatakan seperti itu namun mulutnya, ah ralat. Bibirnya benar-benar menjelaskan segalanya jika perempuan itu hanya berbohong.

"Maafkan aku jika kau tidak senang dengan apa yang ku katakan, Arra." Vio kembali menambahi jika kata maaf saja tidak mampu membuat Arra memaafkannya, perempuan itu bahkan tidak cukup yakin dan mampu untuk menegaskan jika tadi yang dia katakan adalah candaan.

Hanya candaan saja.

"Vio, lupakan saja. Aku baik-baik saja," jawabnya lagi, jam istirahat sudah berbunyi sejak dua menit lamanya.

Fian yang sekarang belum datang dimanfaatkan juga oleh Vio untuk berbicara dengan Arra. "Ya?"

"Aku bisa melihat jika kau tidak benar-benar memaafkanku, apa aku mengatakan kesalahan lagi? Maafkan aku, Arra. Maafkan aku, maafkan aku ya?" Arra menelan ludahnya sukar, jujur saja.

Melihat Vio seperti ini setiap melakukan kesalahan membuat Arra sedikit gerah, perempuan itu kembali berbicara. Arra angkat bicara. "Vio, apa kau benar-benar seperti ini?"

"Maksudmu?" tanya Vio saat dia tidak begitu paham dengan apa yang berusaha Arra katakan untuknya. "Kau."

"Kau seperti perempuan munafik, kau melakukan apa yang kau inginkan, terus selalu mengatakan jika kau tidak sengaja, lalu kau meminta maaf lalu mengatakannya lagi."

"Apa kau pikir aku benar-benar orang yang bisa sabar? Tidak, Vio. Aku lelah, kau terus mengatakan ini bercanda, namun candaan yang menurutnu lucu membuatku dirugikan." Arra marah, kali ini lebih intens, bahkan Arra yang melihat Fian ada di depan kelasnya memilih untuk melanjutkannya.

"Katakan saja jika kau menyukai Fian, kenapa harus aku yang dilemparkan pada Kak Kevin. Kami tidak memiliki nasalah denganmu, kami tidak menyakitimu, kwnaoa kau selalu melimpahkan semua kesalahan dan perasaan tidak sukamu itu padaku seperti ini?" Arra mengeratkan giginya, rahangnya dengan jelas terlihat tidak suka untukku.

"Aku bercanda." Arra mengatakan seolah-olah dia melakukan hal yang sama bagaumana Vio melakukannya. "Apa kau tidak marah jika aku mengatakan demikan di depan Fian."

"Kau mendengarku, Fian?" tanya Arra lebih mengeraskan suaranya pada Fian yang berdiri canggung di depan kelas keduanya.

Kelas yang sepi membhat Arra dan Vio semakin mencengkam dan terlihat sangat jelas jika hubungan baik keduanya menjadi semakin renggang. Vio berbalik seakan-akan dia benar-benar tidak percaya jika Fian ada di sana.

Karena kadaan terlihat berpihak pada Arra, laki-laki itu benar-benar ada di sana. "Kenapa lagi kalian berdua?" tanya Fian terlihat beejalan santai untuk memecahkan suasana agar kedua belah pihak tidak terlihat tidak baik-baik saja menjadi semakin mencair.

"Kenapa? Kami hanya berdebat kecil, aku sedang bercanda bagaimana Vio bercanda padamu tadi pagi di koridor," jawab Arra membuat Vio kembali melihat ke arah Arra dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

"Jadi yang tadi pagi hanya bercanda? Benar begitu, Vio?" tanya Fian pada Vio membuat perempuan itu menganggukkan kepalanya pelan, wajah yang menunjukkan dengan jelas bagaimana Vio menahan segalanya dan memilih untuk tetap tersenyum di depan wajah Fian.

"Ayo ke kantin kalau begitu," ajak Fian dengan menarik kedua tabgan Ara dan juga Vio masing-masing satu. "Tunggu dulu." Vio menghentikan semua pergerakan itu. "Aku harus pergi ke suatu tempat, aku akan menyusul, sepertinya kalian pergilah dulu." Vio terlihat sedang mencari sesuatu di tasnya membuat Fian dan Arra menunggu.

Arra yang sudah memegang kotak bekal begitu dengan ponselnya mulai terdiam juga. "Kau yakin ingin ditinggal?" tanya Arta pada Vio saat itu. "Iya."

"Iya, kalian pergilah lebih dulu, aku akan menyusul." Vio kembali mencari ponselnya di dalam tas, membuat Fian dan Arra mulai berjalan meninggalkan kelasnya menyisakan Vio di ruangan itu sendirian.

Kepergian Arra dan Fian membuat Vio berhenti mencari ponselnya, dia mengambil ponsel teraebut di saku roknya. "Aku membenciku, Arra." Vio bergumam dengan berjalan cepat menuju lapangan bawah untuk menemui seseorang.

Targetnya adalah laki-laki seniornya, tentu. Nama yang sudah disebutkan sebekumnya adalah Kevin, dan Vio benar-benar memberanikan dirinya untuk pergi ke kelas kakak tingkatnya itu untuk berbicara empat mata saja.

Saat dia melihat laki-laki baru saja keluar dari kelasnya, Vio sebgan refleks berlari ke arah laki-laki itu dan langsung menatik tangan yang lebih tua untik mengikutinya.

Kevin yang saat itu cukup terkejut hanya bisa terbawa tarikan tangan dari Vio tanpa tahu jika perempuan itu siapa. Saat sudah ada di lorong terakhir dan belakang sekolah Vio melepaskan tangannya membuat Kevin bisa melihat siapa yang menarik tangannya.

"Kau?" Kevin menuding dengan jari telunjukknya ke arah wajah Vio tepat di depan wajahnya. "Ya, ini aku." Kevin tidak percaya jika perempuan itu, perempuan yang menarik tangannya dengan tidka sopan, membawanya berlarik sejauh kelas dan lorong belakang sekolahan, dan memperlihatkan wajahya dengan biasa saja seakan-akan dia tidak melakukan apapun.

"Sudah ku duga," ucapnya lagi, Vio terkekeh kecil. "Apa yang sudah kau duga, Kak?" Vio menggelengkan kepalanya pelan berusaha menunjukkan pada Kevin jika tidak ada seornag pun yang akan paham dan tahu atau bahkan bisa menduga apa yang dia lakukan dengan baik. "Tidak ada."

"Cepat katakan padaku apa yang kau butuhkan, aku butuh ke kantin." Kevin memasukkan ponselnya ke saku celananya dan melipat kedua tangannya sebatas dada.

"Baiklah." Vio menghirup oksigennya cukup banyak karena dia tahu ini tidak akan semudah yang dia pikirkan. "Apa kau mau bekerja sama denganku?" tanya Vio langsung pda intinya, san tidak menjelaskan kesekuruhannya.

"Maksudmu?"

"Tunggu, aku kelas duabelas, dan kau kelas sepuluh. Apa yang bisa aku dan kalian lakukan? Tidak ada." Kevin berpikir dengan rasional, berjawab dengan jujur dan apa adanya.

Memang apa yang bisa Kevin lakukan dengan Vio? Bukankah tidak ada yang bisa diandalkan di tahun terakhir sekolahnya untuk berteman atau bahkan bekerjasama dengan tahun pertama?

"Bukan itu yang berusaha akau katakan padamu," ucap Vio sedikit mengoreksi apa yang Kevin katakan lebih jelas. "Lalu?" Vio menelan ludahnya lagi.

"Aku akan membantumu apapun jika kau mau membantuku," jelasnya lagi membuat Kevin semakin tidak paham kearah mana perempuan itu berbicara dengannya. "Kau sedang tidur?" tanya Kevin membuat Vio terkejut. "Hah?"

"Bicaramu seperti seseorang yang sedang nyenyak tertidur." Kevin menggelengkan kepalanya pelan, dia berjalan menjauh ke arah lain untuk ke kantin. Namun tangannya kembali dicekal, Kevin meliriknya benci.

Lalu dengan satu kali gerakan juga laki-laki itu menghempaskannya. "Satu kali kau menyentuhku bukan berarti kau boleh memegangku. Anggap yang pertama adalah kau melakukan kesalahan karena menarikku, jangan menyentuh orang asling semurahan itu, Vio!" Kevin memberi sedikit pringatan pada Vio walauoun secara halus, namun permepuan itu terlihat kembali menarik Kevin lebih kasar dari sebelumnya.

"Apa maupun?" tanya Kevin yang malas karena dia tahu jika tipe orang seperti perempuan itu tidak akan pernah mau mengerti atau bahkan mendengarkan orang kain berbicara.

"Katakan semua yang kau inginkan, dan cepatlah pergi." Kevin lelah terus tertahan dengan perempuan gila yang tidak bisa mendengarkan sama sekali.

"Aku menyukai temanku." Kevin menganggukkan kepalanya pelan sepeeri respon cepat jika menandakan jika laki-laki itu mendengarkannya. "Arra, aku menyukainya." Vio kembali melanjutkan pada siapa yang dia sukai, dan dia bisa melihat wajah Kevin tidak berubah sama sekali. Dan detik itu juga Vio merasa sangat gagal.

"Kau tidak marah?" tanya Vio membuat Kevin membuka kedua matanya begitu dia bingung mendengar pertanyaannya. "Untuk apa aku marah?" tanya balik Kevin.

"Ku pikir kau menyukai Arra," celetuk Vio membuat Kevin tertawa kecil mendengarnya. "Kau berpikir seperti itu?" tanya Kevin pada Vio membuat perempuan itu menganggukkan kepalanya cepat.

"Aku tidak menyukainya." Kevin kembali mempertegas kika laki-laki itu tidak menyukai, atau bahkan membutuhkan Arra sama sekali.

Laki-laki itu tidak ingin masuk ke dalam masalah mereka yang sudah rumit. "Apa tujuanmu datang padaku dengan mengatakan mengajakku bekerja sama?" Vio menggelengkan kepalanya pelan.

"Jika kau bermaksud untuk menawariku kerjasama agar membuat Arra tetap di dekatku, lalu Fian bersamamu. Aku tidak bisa." Vio kembali ingin angkat bicara namun dicegah Kevin, lagi-lagi.

"Dengar alasanku dulu," minta Kevin membuat Vio semakin menajamkan telinganya.

"Aku tidak memiliki waktu untuk hal tidak penting seperti ini, apalagi jika itu bersamamu."

"Aku tidak ingin menjadi sampah."

Benar, siapapun tidak akan terlihat menjadi musuh.

sakasaf_storycreators' thoughts