Suara gumaman beberapa orang yang mengobrol membuatku terbangun. Tanganku meraba-raba tempat tidurku hingga menemukan bantal lalu menutup kepalaku. Bau mint dan pinus tercium dari bantal di wajahku. Pinus?
Kubuka salah satu mataku bersamaan dengan suara Alex yang memanggil namaku. "Cara?"
Kupejamkan mataku lagi karena rasa sakit di kepalaku yang tiba-tiba muncul. Lalu ingatan kejadian sebelumnya mengalir di kepalaku membuat tubuhku membeku seketika. Kulepas bantal di wajahku sambil membuka kedua mataku, Alex berdiri di sebelah tempat tidur mengenakan kaos berwarna hitam dan jeans. Mum dan Dad berdiri di belakangnya dengan wajah cemas.
Oh, tidak.
Lalu aku menyadari bahwa aku sedang tidur di sebuah kamar asing. Tempat tidur ini dua kali lebih besar dari milikku, wallpaper berwarna biru tua menutup hampir seluruh tembok ruangan ini.
"Dimana ini?" tanyaku dengan suara serak, tenggorokanku juga terasa sakit seperti baru saja menelan amplas.
"Cara, kau tidak apa-apa sayang?" suara Mum terdengar cukup keras di telingaku hingga aku harus memejamkan mataku lagi karena rasa sakit di kepalaku semakin menjadi.
"Hanya sedikit sakit kepala, Mum." balasku dengan senyum lemah. Apa Mum kemarin juga melihatku berlari dari pertemuan itu? Pikirku dengan sedikit malu.
Kedua sudut mulut Alex ditarik ke bawah, ia berbalik lalu menggumam sesuatu pada Mum dan Dad yang hanya dibalas oleh bisikan keras Mum sebelum mereka berdua keluar dari ruangan. Sekarang tinggal aku dan Alex di ruangan ini. Ia bersandar pada pintu yang tertutup di belakangnya sambil menatapku dengan ekspresi yang aneh.
"Alex?" aku berusaha bangkit dari tempat tidur walaupun sekujur tubuhku terasa kaku dan sakit. "Apa yang terjadi?"
Aku masih mengenakan gaun beludru hijau yang kukenakan kemarin, kepalaku berdenyut menyakitkan hingga membuatku harus memejamkan mata untuk sementara.
"Cara..." Alex berjalan dengan langkah panjang ke arahku sebelum berlutut di depanku. Kedua tangannya menggenggam tanganku dan meletakkannya di pangkuanku. "Maafkan aku kemarin."
Ingatan tentang Alex dan packnya berputar kembali di kepalaku, semua rasa sakit hati yang kurasakan sedikit demi sedikit mulai memudar. Aku tidak ingin melihat Alex seperti ini. Kuraih wajahnya lalu menangkupnya di antara kedua tanganku, ekspresi asing di wajahnya saat ini membuatku sedikit cemas. Aku belum pernah melihatnya seperti ini.
"Kemarin adalah kesalahanku juga." balasku sambil berusaha membaca wajahnya. Alex menurunkan pandangannya dariku, entah mengapa hal ini terasa familiar di dalam kepalaku.
"Alex?" panggilku, aku menunggunya tapi ia tidak kunjung mengangkat matanya untuk membalas tatapanku. "Apa yang terjadi kemarin sore?"
Pertanyaanku lah yang berhasil membuatnya menatapku lagi. Kedua mata coklatnya terlihat lelah, sepertinya ia belum tidur sejak kemarin. "Aku bersumpah akan membuat semuanya kembali seperti semula."
"Apa?" Keningku berkerut mendengar jawabannya.
"Katakan padaku, kau akan selalu ada di sisiku."
Kerutanku di keningku semakin dalam, "Alex, apa—"
"Katakan padaku." desaknya.
"Aku… akan selalu berada di sisimu." ulangku dengan sedikit bingung.
Alex menatapku lekat-lekat saat aku mengulangi ucapannya lalu di luar dugaanku sebuah senyuman sedih muncul di wajahnya. Seakan aku baru saja mengatakan sebuah kebohongan padanya. Sebelum aku sempat bertanya lagi Alex melepaskan tanganku dan berdiri. "Kau harus makan dulu."
"Dimana ini?" tanyaku sambil mengedarkan pandanganku ke sekeliling kamar.
"Tempat ini adalah rumah utama Pack, tempat kami berkumpul dan bertemu."
Jadi ini kastil yang kemarin. Aku memang sedikit penasaran dengan isinya karena dari luar tempat ini terlihat sangat luas. "Seperti markas?" tanyaku lagi.
Alex tersenyum kecil saat mendengarnya, "Ya, bisa dibilang seperti markas. Rumah utama Pack biasanya hanya dihuni tetap oleh Alpha dan keluarganya."
"Jadi… kau akan pindah ke tempat ini nantinya?" Lalu untuk apa apartemen barunya?
Alex mengangguk lagi, "Tapi sementara ini Paman Brent masih menempatinya. Aku baru akan pindah nanti setelah kita menika—" Alex berhenti saat menyadari apa yang dikatakannya. Keheningan yang canggung menyelimuti kami selama beberapa saat.
"Aku akan mengambilkanmu makanan." katanya memecah keheningan di antara kami. Aku tidak yakin perutku bisa mencerna sesuatu saat ini.
"Boleh aku tidur lagi saja? Kepalaku sangat sakit." Kataku sambil memegang pelipisku yang berdenyut hebat. Walaupun aku ingin berbicara mengenai kemarin sore juga tapi aku benar-benar harus kembali tidur sekarang. Alex berjalan menuju lemari di sudut ruangan lalu membukanya.
"Kau bisa memakai bajuku." Katanya sambil memberiku sebuah t-shirt berwarna abu-abu dan celana piyamanya.
"Hm-mm" gumamku sambil mengambilnya. Walaupun pakaian Alex lebih besar dari ukuranku, tapi tidur mengenakan gaun akan jauh lebih tidak nyaman. Aku berdiri menunggunya untuk keluar, tapi ia hanya berdiri di depan pintu menatapku.
"Alex... kau harus keluar, aku ingin mengganti bajuku." Gumamku pelan.
"Oh, okay." Ia menjawabku lalu berbalik keluar dan menutup pintunya. Aku berdiri untuk melepas resleting gaunku ketika pintu di belakangku terbuka lagi, dengan terkejut kuputar badanku kembali. Kepala Alex muncul dari balik pintu.
"Alex!" teriakku dengan kesal, denyutan di kepalaku semakin sakit ketika aku berteriak.
"Jangan pergi kemana-mana, aku akan menunggu di depan pintu kalau kau sudah selesai."
Aku menatapnya dengan tidak percaya, "Kau berpikir aku akan meloncat dari jendela?" Ekspresi paniknya membuat rasa kesalku menghilang seketika. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. "Aku tidak akan kemana-mana, Alex."
"Aku tahu." balasnya walaupun ekspresi tidak percaya masih terlihat jelas di wajahnya,
"Alex?" tanyaku sebelum ia menutup pintu lagi, "Bisa tolong tarik resleting gaunku? Aku tidak bisa melakukannya sendiri." tanyaku sambil membalikkan badanku membelakanginya. "Mum yang membantuku mengenakan gaun ini sebelumnya."
Alex berjalan mendekat lalu perlahan ia menarik resletingnya hingga terbuka sebagian. Ia berhenti untuk menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghela hingga aku bisa merasakan hembusannya di tengkukku. Tiba-tiba kurasakan bibirnya di pundakku—membuatku sedikit tersentak, bibirnya bergerak perlahan menuju cekungan leherku tempat ia pernah menggigitku. Kedua kakiku terasa goyah, tapi kedua tangan Alex menopang pinggangku agar tidak terjatuh. Tiba-tiba ia berhenti setelah berada di pangkal leherku, tangannya menarik resleting gaunku hingga ke bawah sebelum ia menarik dirinya sendiri menjauh dariku. "Selamat tidur, Caroline." Suara Alex yang terdengar serak berbisik di telingaku, lalu kudengar suara pintu yang ditutup perlahan. Aku menoleh ke arah pintu yang tertutup lalu tersenyum sedih.
Ada sesuatu berubah di antara kami, pikirku sambil melepaskan gaunku lalu memakai T-shirt Alex yang besar. Kujatuhkan badanku di tempat tidur lalu bergelung dengan nyaman diantara selimut dan bantal, semuanya berbau seperti Alex. Kugenggam ujung selimutnya di tanganku, tidak lama kemudian kegelapan yang menenangkan sudah menyelimutiku.