webnovel

Kembali Dibuat Jatuh

Naraya mengembuskan napas berat tepat dengan suara pintu kamar diketuk oleh ibunya. Hari ini rasanya akan jadi hari panjangnya setelah dia berhenti konsultasi dengan psikiaternya beberapa bulan yang lalu.

"Sayang … udah siap?" tanya ibu Naraya lembut sambil berjalan mendekatinya yang sedang duduk di tepi ranjang.

Naraya hanya mengangguk sekali dan selanjutnya meraih sling bag nya yang sudah dia taruh di atas nakas.

"Ayo, Ayah udah ada di mobil," ujar ibunya lagi.

Naraya hanya diam mengikuti langkah ibunya. Hari ini mereka akan kembali bertemu dengan dokter Hendra.

Kejadian kemarin di toilet restoran berhasil mengguncang pertahanan Naraya yang selama ini berusaha dia jaga. Gara-gara seorang Aksa, Naraya harus kembali jatuh ke dalam lubang hitam traumanya.

Namun, dengan kejadian kemarin, Naraya dan semua orang yang tahu akan traumanya jadi sadar bahwa Naraya belum bisa sembuh dari bayang-bayang masa lalunya. Bayang-bayang itu masih kuat melekat di ingatan dan bisa datang kapan saja jika ada pemicunya. Dan tindakan Aksa kemarin menjadi salah satu pemicu.

Sekarang, Naraya jadi sedikit tidak bersemangat memulai harinya. Ketakutan akan datang lagi bayang-bayang itu masih ada sampai sekarang. Dia juga jadi sedikit kesal karena orang asing seperti Aksa jadi tahu titik lemahnya.

Selama perjalanan menuju klinik dokter Hendra hanya dihabiskan Naraya dengan melamun. Benar-benar melamun. Kepalanya kosong seperti orang yang tidak memiliki visi dalam hidupnya.

Namun, itu lebih baik daripada harus dihantui bayang-bayang masa lalu. Lebih baik kosong, daripada harus penuh dengan hal-hal menyakitkan.

"Naraya, kita sudah sampai. Ayo, keluar," ujar sang ayah yang sudah membuka pintu belakang mobil tepat di samping Naraya.

Lagi. Naraya hanya mengangguk sebagai jawaban. Ayah dan ibunya sebenarnya sedih melihat anaknya terpuruk lagi seperti ini. Tapi, apa boleh buat? Ingatan tentang masa lalu tidak mudah untuk hilang sepenuhnya.

***

"Nggak apa-apa. Ini hal yang biasa terjadi. Kamu sudah tahu alasannya, kan? Trauma mungkin susah hilangnya, tapi kita bisa hidup terbiasa dengan semua itu. Saya rasa kamu nggak lupa dengan bagaimana cara mengontrol diri. Obat dari saya mungkin hanya bisa kamu gunakan setelah trauma kamu kambuh. Tapi, untuk mencegah hal itu, semuanya ada dalam kontrol diri kamu sendiri."

Dokter Hendra kembali menjelaskan apa yang harus dilakukan Naraya. Memang, selama ini cara yang paling ampuh untuk dilakukan dalam menghadapi trauma adalah dengan cara dilawan. Itulah yang selalu dokter Hendra katakan. Semua itu harus berasal dari dalam diri sendiri. Orang-orang di sekitar hanya perlu mendukung.

Setelah sesi konsultasi selesai, Naraya tidak langsung pulang. Dia memilih pergi dan duduk sebentar di kafe Kenangan. Syukur-syukur kalo ada Mas Tirta yang bisa diajak bicara.

Ibu dan ayah awalnya tidak mengizinkan karena masih khawatir kalau-kalau Naraya menghadapi situasi seperti kemarin. Tapi, Naraya berhasil meyakinkan kedua orang tuanya bahwa kondisinya saat ini sudah sedikit lebih baik setelah bertemu dokter Hendra.

Suara dentingan khas kafe ini berhasil menarik sudut bibir Naraya begitu dirinya membuka pintu. Rasanya sudah lama dia tidak berkunjung ke sini lagi. Tetapi, suasana di sana terlihat masih sama seperti terakhir kali dia datang.

Beruntung kafe masih sepi. Hanya ada dua meja yang terisi. Naraya senang datang di waktu yang tepat. Dan yang membuatnya lebih senang adalah keberadaan Mas Tirta saat ini.

"Saya pesan Lemonade satu, Mas," ujar Naraya berlagak seperti pelanggan asing karena Mas Tirta yang terlihat sibuk dengan laptop yang ada di depannya.

Mas Tirta tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat ini. Ada beberapa alasan yang membuatnya terkejut dengan kehadiran Naraya saat ini di depannya.

"Nar."

Naraya semakin melebarkan senyumnya saat mendapati Mas Tirta yang seperti orang tidak bertemu dengannya selama bertahun-tahun.

"Kok bengong, sih, Mas? Saya pesan Lemonade, lho," ulang Naraya dengan nada usilnya.

Mas Tirta tidak menanggapi bercandaan Naraya. Dia langsung keluar dari bar dan menghampiri Naraya. Ingin sekali dia membawa tubuh gadis itu ke dalam pelukannya, tapi dia masih sadar kalo Naraya baru saja diselimuti ketakutan akan traumanya.

"Naraya …," gumam Mas Tirta.

"Iya, Mas, ini gue. Jangan lebay gitu, deh, liatin gue," balas Naraya.

"Pengen peluk," ungkap Mas Tirta jujur.

Naraya langsung melotot mendengar ucapan Mas Tirta yang sangat frontal itu. Ini kali pertama Mas Tirta sejujur ini ke dia.

"Tapi gue nggak bakal lakuin itu kok, tenang aja," lanjut Mas Tirta.

Mas Tirta langsung mengajak Naraya ke tempat biasa setelah meminta pesanan Naraya kepada salah satu pegawainya. Kini, mereka berdua duduk saling berhadap masih dengan kebisuan yang menyelimuti.

"Maafin Aksa, ya, Nar," ucap Mas Tirta akhirnya.

Naraya sedikit terkejut saat Mas Tirta menyebut nama Aksa. Tapi, kenapa Mas Tirta bisa tahu?

"Mas Tirta tahu soal kemarin?"

Mas Tirta mengangguk dengan ekspresi menyesal. Padahal, kan, bukan dia yang melakukan kesalahan.

"Dia semalam nelpon gue dan nanya soal trauma lo. Tapi, tenang aja gue nggak kasih tahu dia, kok."

Mas Tirta pun menceritakan percakapan dirinya dengan Aksa semalam yang berhasil membuatnya tidak tenang karena mengkhawatirkan keadaan Naraya.

"Atas nama dia, gue minta maaf, ya, Nar," ulang Mas Tirta.

Naraya menggeleng. "Mas Tirta nggak perlu minta maaf untuk kesalahan orang lain. Mas Tirta nggak berhak nanggung kesalahan laki-laki brengsek itu."

"Gue janji setelah ini gue bakal buat dia nggak dekat-dekat lo lagi," ucap Mas Tirta lagi.

***

"Kok sekarang nomornya nggak aktif, sih?" gerutu Aksa setelah percobaannya menelpon Naraya untuk yang kesekian kalinya hari masih tidak membuahkan hasil. Bahkan, semua pesan-pesannya hanya centang satu.

Aksa kembali ke ruang latihan saat Lengkara memanggilnya untuk kembali berlatih. Mereka akan mengadak tur di beberapa kota dan luar negeri, jadi mereka harus berlatih keras sebelum mereka kembali naik panggung. Karena tur kali ini sangat spesial, jadi mereka tidak ingin ada kecacatan sekecil apapun itu.

"Lo kenapa, sih, Sa? Dari tadi nggak fokus mulu latihannya," tegur Lengkara setelah Aksa membuat kesalahan.

Bang Arnan yang juga ikut memantau jalannya latihan pun heran dengan tingkah Aksa daritadi. Sangat terlihat jelas kalau laki-laki itu sedang gusar makanya dia tidak bisa fokus dengan apa yang sedang dikerjakan saat ini.

Karena tidak ingin membuat suasana latihan jadi kacau gara-gara Aksa, Bang Arnan langsung melakukan tindakan untuk membawa Aksa sebentar ke ruang kerjanya.

"Lo kenapa, sih, Sa? Dari kemarin lo keliatan bengong dan gusar. Ada yang mengganggu pikiran lo saat ini?" tanya Bang Arnan saat keduanya sudah ada di ruang kerjanya.

Aksa menarik napas panjang lalu diembuskan perlahan. "Nggak ada. Gue ngantuk doang."

"Lo nggak bisa bohong ke gue, Sa. Lo jadi berubah setelah dari toilet kemarin. Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"

Bang Arnan memang tidak bisa dibohongi oleh anggota The Heal. Dia seperti cenayang yang bisa tahu apa saja yang terjadi pada anak asuhnya itu. Jadi, percuma saja kalau Aksa menyembunyikan kejadian kemarin.

"Kemarin gue ketemu Naraya di toilet," jawab Aksa akhirnya.

"Lo masih nagih soal toilet itu ke Naraya?"

"Gue nggak serius soal itu, Bang. Gue cuman mau main-main aja sama dia," sanggah Aksa cepat.

"Terus apa yang terjadi sampe buat lo jadi kayak gini?"

Aksa pun mulai menceritakan apa yang terjadi di toilet restoran kemarin. Bang Arnan terkejut bukan main saat tahu kalau apa yang terjadi pada Aksa kemarin bukanlah hal sepele. Apalagi hal itu sampai menimbulkan trauma orang lain.

"Sampe sekarang lo nggak bisa hubungi dia?" Aksa mengangguk. "Gue coba telpon, ya?"

Dua kali tidak ada jawaban juga pesannya tidak ada respon. Dari tampilan kontak Naraya saat ini Bang Arnan bisa menebak kalau ….

"Kayaknya dia blokir nomor kita, deh, Sa."