"Daddy, kapan kita bisa pulang kerumah?"tanya Ken. Sean yang tadinya tengah fokus dengan sebuah map yang pria itu pegang kini beralih menatap putranya.
"Hmm ... Dr.Richard mengatakan kondisimu sudah semakin baik. Jadi, kemungkinan kita akan pulang ke rumah besok."jawab duda anak satu itu.
"Benarkah? Yeayyy!!!"sorak Ken bersemangat. Bocah laki-laki itu bahkan hampir melompat di atas ranjangnya jika saja Sean tidak memelototinya.
Tiba-tiba Ken terdiam. Bocah itu menatap bingung pada sesuatu di belakang Sean. "Bibi itu ... Siapa?"
Sean yang melihat tingkah Ken pun sontak menoleh ke arah yang ditatap putranya itu. Alangkah terkejutnya pria tampan itu ketika melihat sosok yang tengah tersenyum menatap ke arah mereka.
Di ambang pintu tampak Adora dengan pakaian khasnya yang serba bewarna hitam. Wanita itu membawa sebuket bunga mawar hitam dan sekeranjang buah yang masih tampak segar. Di sebelahnya terdapat Blake yang menatap tanpa ekspresi.
"Wah!!! Ternyata ramuan yang kuracik benar-benar ampuh. Bahkan bocah yang nyaris meninggal ini bisa sehat seperti sekarang. Aku benar-benar bangga. Seharusnya aku membuka sebuah toko obat. Bukan begitu, Blake?"oceh Adora. Wanita itu berjalan melewati Sean begitu saja. Seperti tidak memperdulikan tatapan tajam yang pria itu berikan.
"Kau?! Sedang apa kau di sini?"tanya Sean tak suka.
"Daddy mengenal bibi ini?"tanya Ken yang masih tampak kebingungan.
"Oh tentu saja, sayang. Daddymu adalah pelanggan termanis yang pernah aku jumpa." Adora menjawab pertanyaan Ken. Ia menyentuh dagu anak laki-laki itu lembut kemudian tersenyum manis.
Ken yang melihat senyuman Adora sontak membeku di tempatnya. Bocah itu mengerjapkan matanya kemudian tersenyum begitu lebar. "Wah!! Bibi sangat cantik."
"Kau bukan orang pertama yang mengatakannya."balas Adora percaya diri.
Sean memutar bola matanya malas. Sepertinya pria itu sudah muak dengan kehadiran Adora. "Sudahi omong kosong ini, dan pergilah!"
"Daddy tidak boleh seperti itu. Bibi ini adalah tamu kita. Kita harus menghormatinya."
Sean bungkam seketika saat mendengar teguran dari putranya. Sementara Adora, sibuk menahan tawanya. Dan Blake? Jangan tanya. Pria itu sejak tadi hanya berdiri diam seperti patung.
"Wah kau pintar sekali. Otakmu bahkan lebih berguna dibandingkan milik daddymu."ucap Adora seraya mencubit gemas pipi tirus Ken.
Ken tersipu malu. "Bibi, siapa namamu?"
"Adora. Kau bisa memanggilku Adora."jawab Adora sambil sedikit berpose.
Ken menganggukkan kepalanya mengerti. Bocah laki-laki itu lagi-lagi tersenyum dengan sangat manis hingga membuat Sean kebingungan sendiri dengan tingkahnya. Tidak biasanya Ken akrab dengan orang yang baru ia kenal. Walaupun putranya itu tergolong anak yang ramah, namun tetap saja Ken sedikit introvert dengan orang-orang di sekitarnya terutama yang baru ia kenal. Sean bertanya-tanya apa Adora memberikan semacam sihir kepada Ken agar menjadi akrab dengannya.
"Lihat! Aku membawakanmu sekeranjang buah segar. Kau suka buah peach bukan? Ada 3 buah peach yang manis di dalamnya. Aku yakin kau akan menyukainya." Adora memberikan sekeranjang buah yang ia bawa tadi. Sementara sebuket mawar hitam ia lemparkan sembarangan ke arah Sean. Untung saja pria itu dengan sigap menangkapnya walau mukanya masih tidak tersenyum.
"Bagaimana kau tahu aku menyukai buah peach? Apa Daddy yang memberitahumu, bibi?"tanya Ken. Mata bocah berusia 10 tahun itu berbinar menatap keranjang buah yang ada di pangkuannya.
Adora menggelengkan kepalanya. "Tidak. Daddymu tidak sepintar itu. Aku sendirilah yang mengetahui hal ini."
"Bagaimana bisa?"
Adora mengedipkan sebelah matanya lalu mendekat ke arah Ken. Wanita itu kemudian membisikkan sesuatu. "Sssttt ... Karena aku adalah Adora."
***
Setelah selesai menjenguk Ken -tentunya dengan beberapa pertengkaran kecil dengan Sean- saat ini Adora tengah berjalan keluar dari rumah sakit. Di belakangnya ada Blake yang setia mengikuti.
"Kunjungan yang menyenangkan. Jujur! Menurutku diantara banyak tempat, rumah sakit merupakan salah satu tempat yang favorite untuk dikunjungi."aku Adora saat mereka tiba di halaman depan rumah sakit.
"Kenapa?"tanya Blake yang sebenarnya tidak terlalu penasaran. Tetapi, karena tidak ingin membuat Adora tampak seperti orang gila yang berbicara sendiri maka pria itu melakukannya .
"Bau kematian sangat terasa di sini. Aku bahkan melihat beberapa orang yang akan segera dijemput."
Blake menaikkan sebelah alisnya. "Jadi ... Kau senang karena hal seperti itu?"
Adora menatap Blake sejenak kemudian wanita itu menjawab, "Bukankah itu hal yang bagus bagi mereka? Kematian akan mengakhiri penderitaan panjang dan menyakitkan yang telah mereka alami. Sama seperti anak itu."
Blake tidak membalas lagi. Pria itu bungkam dan memilih meneruskan langkahnya bersama Adora. Namun, langkah mereka berdua terhenti saat mendengar seseorang memanggil Adora dengan sedikit berteriak.
"Adora! Hey kau!"
Adora yang mendengar namanya dipanggil sontak menyeringai. Wanita itu membalikkan badannya dan melihat seorang pria berjalan mendekat ke arahnya. Pria tampan yang ia kenal dengan nama Sean Marvin Jacob.
Wanita itu melipat tangannya di depan dada. Ia menatap santai sembari menunggu Sean hingga benar-benar sampai di dekatnya.
"Ada apa?"tanya Adora.
"Berhentilah mengganggu aku dan putraku. Aku mengerti aku harus membayar hutangku kepadamu. Tapi, bukankah kau mengatakan akan memberiku waktu selama 3 bulan?"
"Ya, lalu?"
"Setidaknya biarkan aku hidup tenang. Jangan mengganggu kehidupanku selama 3 bulan kedepan."
Adora tampak berpikir sejenak. Wanita itu kemudian menatap penuh arti pada Sean. "Aku rasa itu tidak mungkin, mr. Jacob."
"Apa?kenapa? Aku pasti akan menepati janjiku."
Adora tersenyum. Wanita itu melangkahkan kakinya agar semakin dekat dengan Sean. "Hidupmu bukan lagi milikmu saat kau menandatangani perjanjian itu, tuan. Jiwamu ada di genggamanku. Aku harus menjagamu dengan baik sampai saatnya tiba. Saat aku akan mendapatkan bayaranku."