"Aku meminta jiwamu sebagai bayaran untuk obat ini, tuan Jacob."
Sean membelalakkan matanya. Pria itu benar-benar tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Adora. Bahkan ia sampai bangkit dari tempat duduknya menatap wanita itu nyalang.
"Kau sudah gila!? Bayaran macam apa itu?!" Tanya Sean tidak terima.
Adora hanya menatap Sean santai. Wanita itu kembali meraih botol yang ia berikan kepada Sean tadi. "Harga yang sesuai untuk nyawa seseorang. Kau bisa membayarnya setelah mencoba obat ini. Jika tidak berhasil, aku tidak akan mengambil jiwamu."
"Kau memang sudah tidak waras!! Baik dirimu, tempat ini sama gilanya. Seharusnya aku tidak pernah mendatangi tempat ini." Sean sudah tidak tahan lagi. Setelah meluapkan kekesalannya, pria itu beranjak dari sana. Namun, langkahnya terhenti saat Adora mengucapkan sesuatu.
"3 hari lagi putramu akan mengalami masa kritis yang lebih parah daripada yang terjadi hari ini. Jika kau menyayanginya, maka lakukanlah apa yang kukatakan."
"Aku akan menyelamatkan putraku dengan caraku. Kau tidak perlu lagi ikut campur dalam urusanku." Balas Sean dingin lalu kembali melanjutkan langkahnya.
Adora menatap punggung Sean yang perlahan menghilang. Senyuman di wajahnya masih tidak pudar. Wanita itu menatap botol obat yang ada di tangannya.
"Dia pergi? Tanpa membawa apapun?" Tanya Blade yang muncul entah darimana.
"Tenang saja! dia pasti akan kembali. Kau pasti tahu bukan? Tidak ada satu orangpun yang keluar dari tokoku tanpa membeli apapun." Jawab Adora santai.
***
Sudah 3 hari berlalu sejak kepulangan Sean dari toko Adora. Akan tetapi, kekesalan di hati pria itu masih tetap sama. Rasanya sulit untuk menghilangkannya dari sana.
Sean benar-benar kesal dengan Adora dan semua omong kosong nya. Pria itu masih tidak mengerti di antara banyak orang di dunia ini, mengapa Adora harus mengganggunya. Mengapa?
Pria itu kini tengah bersiap untuk berangkat ke kantor. Dan sekarang, Sean tengah mematut dirinya di depan cermin yang menampakkan seluruh tubuhnya. Pria itu mengenakan stelan jas bewarna navy yang terlihat begitu mengagumkan di tubuhnya yang indah.
Setelah merasa penampilannya cukup baik, Sean melangkah keluar dari mansionnya. Di depan mansionnya, telah terparkir sebuah mobil sport mewah kesayangannya. Dengan cekatan, Sean melajukan barang mewah itu.
Jalanan kota London saat ini terpantau normal. Orang-orang tampak sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Semuanya tampak biasa saja. Tidak ada yang terlalu menarik dari pemandangan yang setiap hari Sean lihat di Ibukota negara Inggris ini.
Dering ponsel memecah keheningan di dalam mobil. Pria itu memang jarang atau nuaris tidak pernah menghidupkan musik ketika berkendara karena baginya, itu hanya mengganggu fokusnya saja. Karena itu, dering ponsel terdengar begitu nyaring di dalam kendaraan mewah ini.
Sean melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Nama Daniel tertulis dengan jelas di sana. "Hm ada apa?" Tanya Sean.
"..."
"Apa? Kau serius? Baiklah aku segera kesana." Sean langsung mematikan ponselnya begitu saja. Raut wajahnya tampak begitu cemas. Dengan segera pria itu memutar arah menuju rumah sakit.
***
Sepasang kaki jenjang itu melangkah degan tergesa-gesa di koridor Rumah Sakit. Raut wajah Sean tampak begitu cemas.
Langkah pria itu terhenti di depan ruang ICU. Di sana, sudah ada Daniel yang menunggunya. "Selamat pagi, Pak."
"Bagaimana keadaan Ken?" Tanya Sean yang bahkan tidak membalas ucapan selamat pagi dari Daniel.
"Tadi kondisi Ken kritis, Pak. Dan sekarang, dokter sedang menanganinya."jawab Daniel.
Sean tidak membalas lagi. Pria itu fokus memperhatikan Ken yang tengah ditangani oleh Dr. Richard dan beberapa orang perawatnya.
Berulang kali, Sean mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, hal itu tetap saja tidak menghentikan rasa cemas yang memenuhi pikirannya.
"Sudah kukatakan bukan? Putramu akan mengalami masa kritis."
Sean menoleh. Di sampingnya saat ini berdiri Adora yang entah sejak kapan ada di sana. Sama sepertinya, Adora juga fokus menatap ke dalam ruangan ICU. Namun, tentunya dengan ekspresi yang berbeda.
Sean tidak ingin meladeni Adora. Bagi pria itu, ada hal lebih penting yang harus ia perhatikan daripada mengurusi wanita aneh di sampingnya.
"Keadaannya akan semakin memburuk. Kupastikan ini bukan kali terakhir dia mengalami masa kritis. Bisa kau bayangkan betapa tersiksanya putramu itu. Kau harus menolongnya, jika tidak ingin dia menderita lebih lama lagi." Ucap Adora yang masih berusaha memprovokasi Sean. Namun, tetap saja pria itu terlihat tidak peduli.
Sean seolah-olah tidak menganggap keberadaan Adora. Ia sama sekali tidak berniat untuk menanggapi ucapan wanita itu.
Namun, hal itu sama sekali tidak membuat Adora merasa kesal. Wanita itu malah tersenyum menanggapi sikap acuh tak acuh Sean.
Pintu ruang ICU terbuka. Menampakkan sosok Dr. Richard yang keluar seorang diri. Mukanya tampak kusut. Semakin membuat dirinya kelihatan lebih tua.
Pria paruh baya itu menghampiri Sean. "Selamat pagi, tuan Jacob."
Sean menganggukkan kepalanya. "Bagaimana keadaan putraku?"
Dr. Richard menghela napasnya. Ia melihat sebentar ke arah ruangan ICU Lalu kembali menatap Sean. "Tadi dia sempat mengalami masa kritisnya. Namun, ia berhasil melewatinya. Hanya saja, keadaannya semakin memburuk."
Sean terdiam mendengar pernyataan dari dokter paruh baya itu. Pria itu melirik sekilas Adora yang ada di sampingnya. Tanpa mengatakan apapun, Sean meninggalkan mereka dan pergi menemui Ken.
Duda tampan itu menatap putranya dalam diam. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Kata-kata yang diucapkan Adora beberapa menit yang lalu ternyata sesuai dengan apa yang dikatakan Dr. Richard. Tidak bisa pria itu bayangkan betapa menderitanya putra semata wayangnya itu.
"Sudah kukatakan bukan? Kau akan mengalami kejadian yang lebih parah dari ini jika kau tidak menolongnya secepat mungkin. Kau ini ayahnya, bukan? Lalu mengapa kau berdiam diri seperti ini?"
Sean menatap Adora yang berada di sebelah Kanan ranjang Ken. Sehingga posisi mereka saat ini saling berhadapan dengan ranjang Ken yang menjadi pembatasnya.
Sean sempat terkejut dengan kehadiran Adora. Pria itu tidak menyadari kapan wanita aneh itu masuk ke ruangan Ken. Baru saja ia ingin berteriak memanggil Daniel. Namun, Sean tiba-tiba teringat dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Di mana Daniel tidak dapat melihat Adora.
"Dia sedang menderita. Sangat menyakitkan untuk putramu karena is sedang berada di antara hidup dan mati. Semua ada di tanganmu, tuan Jacob. Bebaskan dia dari penderitaan nya."
Ucapan Adora membuat Sean tertegun. Ia menatap wajah putranya itu. Apa benar putranya sedang sangat menderita? Apa rasanya sesakit itu?
Tangan pria itu terulur untuk mengelus wajah putra semata wayangnya. Adora benar. Sean adalah ayah Ken. Ia tidak bisa berdiam diri seperti ini. Namun, bagaimanapun ia mencoba membantunya hasilnya tetap saja sama. Semua orang mengatakan kalau tidak ada lagi harapan untuk bocah berusia 10 tahun itu.
"Aku tidak akan meminta bayaranku saat aku memberikan obat itu padamu. Kau bisa menghabiskan waktu bersama putramu sebanyak yang kau mau. Akan ku beri kau waktu 3 bulan sebelum aku mengambil bayaranku." Ucap Adora yang terus berusaha memprovokasi Sean.
"Semuanya ada di tanganmu, tuan Jacob. Selamatkan dia atau biarkan saja dia menderita."
Adora menepuk pelan bahu Sean. Wanita itu menyunggingkan senyum manisnya lalu melangkahkan kakinya keluar ruangan. Namun, suara Sean membuatnya terhenti saat ia baru sampai di ambang pintu.
"Baiklah. Aku akan melakukannya." Ucap pria itu. Suaranya terdengar putus asa. Matanya masih fokus menatap putranya yang tengah terlelap.
Adora menyeringai. Dengan langkah lebar ia menghampiri Sean. "Keputusan yang tepat, tuan Jacob. Sekarang mari kita tanda tangani Surat perjanjiannya."
Adora mengeluarkan secarik kertas bewarna putih yang ia dapatkan dari sebuah Laci di dalam ruangan Ken. Wanita itu juga mengambil sebuah bolpoin dari dalam sana. Setelah itu, Adora menuliskan beberapa kata di atas kertas putih itu.
Wanita itu mengambil salah satu jepit rambutnya yang berukuran kecil. Dia lalu meraih tangan Sean dan menusuk ujung jari telunjuk pria itu menggunakan jepot rambutnya.
Darah segar mengalir deras dari ujung jari Sean. Hal itu sontak membuatnya sedikit terkejut. "A...a-apa yang kau lakukan?"
"Perjanjian darah. Dengan ini kau tidak akan bisa lari dariku, tuan." Ucap Adora. Wanita itu menekan ujung telunjuk Sean ke permukaan kertas yang sudah tertulis namanya di sana.
"Lihat! Indah sekali! Semuanya sudah beres. Dan obat ini, sekarang milikmu."
Adora mengeluarkan botol obat yang pernah ia tunjukkan kepada Sean. "Ambillah. Dan berikan ini pada putramu. Terimakasih telah menjadi pelangganku."
Setelah memberikan botol itu pada Sean, Adora melenggang pergi. Wajahnya tampak berseri-seri. Apa yang wanita itu inginkan telah ia dapatkan.
Sementara Sean masih diam membeku. Pikirannya berkecamuk. Ditatapnya botol kaca yang ada di genggamannya. "Apa yang daddy lakukan sudah benar, Ken?"