webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
251 Chs

Stop...! Jangan menangis lagi

Tasya duduk di lorong ruang ICU, tubuhnya terasa lemah tidak berdaya. Tasya sendiri tidak tahu apa sebenarnya yang dia rasakan, padahal tidak ada cinta atau bahkan sayang untuk Dirga. Tetap saja, hatinya terasa kosong saat mengetahui Dirga telah tiada.

Sinta menghampiri Tasya dengan langkah perlahan. Tepat saat berada di hadapan Tasya, Sinta langsung menarik Tasya kedalam pelukannya. Tangisan Tasya tiba-tiba pecah begitu saja dalam pelukan Sinta.

"Jangan pikir yang macam-macam dek. Ingat, masih ada malaikat kecil yang harus kamu jaga", Sinta memberikan semangat kepada Tasya.

Tasya perlahan melepaskan pelukannya, kemudian menghapus jejak air matanya.

"Dimana Candra...?", Sinta bertanya pelan. Setelah melihat kiri kanan tidak terlihat keberadaan Candra.

"Mengurus administrasi kepulangan Dirga", Tasya menjawab dengan suara lemah. "Em... Malika...", Tasya bicara bingung mencari keberadaan malaikat kecil.

"Udah pulang kak sama Salwa, tadi Candra yang nyariin ojek", Candra bicara lirih, entah Candra muncul dari mana.

Sinta langsung memeluk Candra, memberi kekuatan kepada Candra.

"Beban Candra makin besar mbak...", Candra mengeluh sedih.

"Kamu g'ak sendiri dek. Ada mbak disini, malaikat kecil, kita lewati semuanya sama-sama", Sinta mengingatkan Candra.

Candra mengangguk lemah, "Terima kasih mbak...", Candra bicara lirih.

"Kamu jangan cemas dengan pemakaman Dirga, mbak sudah atur semuanya. InsyaAllah besok pagi Dirga akan dimakamkan disamping makam pak Wiratama", Sinta memberikan informasi.

"Terima kasih mbak", Candra bicara pelan, sangat terlihat wajah kehilangan dimatanya.

"Kamu... Sudah kabari ibuk...?", Sinta kembali mengingatkan.

"Mbak aja", Candra menjawab malas.

Seorang suster menghampiri Candra, Tasya dan Sinta. "Maaf, ambulance sudah siap", suster cantik itu bicara pelan.

"Yah... Terima kasih suster", Candra bicara lemah.

Kemudian melangkah gontai menuju lapangan parkir rumah sakit, dibelakang Candra, Tasya dan Sinta menyusul dengan langkah perlahan.

***

Erfly memilih untuk mengurung diri di kamar setelah pertemuannya dengan Cakya dan keluarganya. Hatinya terasa sakit, bagai dihiris-hiris.

Cemburu mungkin iya, akan tetapi... Erfly punya hak apa untuk cemburu. Cakya bukan siapa-siapanya lagi. Bahkan Cakya sekarang tidak ingat dengan Erfly.

Kepala Erfly mulai pening karena hampir 1 jam dia menangis non stop tanpa henti.

"Stop...! Jangan menangis lagi", Erfly berkali-kali merutuki dirinya sendiri.

Terdengar suara ketukan pintu. Erfly meraih kruknya yang ada di samping tempat tidur, kemudian melangkah perlahan mendekati pintu. Saat pintu telah dibuka, Mayang langsung menyerbu kepelukan Erfly.

"Mayang...? Bang Gama...?", Erfly bertanya bingung, mengapa Mayang dan Gama bisa berada didepan pintu kamar Villa sewaannya.

"Kamu jahat banget, ngilang g'ak bilang-bilang", Mayang bicara pelan setelah melepaskan pelukannya, memukul pelan lengan Erfly.

"Maaf...", Erfly tersenyum lembut. "Ngobrol di dalam aja, Erfly g'ak kuat berdiri lama", Erfly nyengir kuda.

Mayang menuntun Erfly duduk di atas tempat tidur. Gama menyusul dibelakang, setelah menutup pintu.

"Ibu apa kabar...?", Erfly bertanya pelan, setelah duduk, dan kruk Erfly diambil alih oleh Gama untuk diletakkan bersandar diujung kepala tempat tidur.

Mayang menggenggam jemari tangan kanan Erfly, "Alhamdulillah... Semua baik-baik aja", Mayang menangis tanpa dia sadari.

Erfly menghapus lembut air mata Mayang.

"Kamu apa kabar...?", Mayang bertanya pelan.

"Seperti yang dilihat", Erfly tersenyum kecut.

"Abang sama Mayang kok bisa disini...?", Erfly kembali bertanya bingung.

"Tadi ada yang nyari bang Utama. Pas di telfon, katanya mereka lagi disini ketemu kamu", Gama menjelaskan.

Erfly tersenyum kecut, "Abang apa kabar sama Mayang...?", Erfly bertanya lembut.

"Alhamdulillah...", Gama dan Mayang menjawab bersamaan.

"Seperti yang kamu lihat dek", Gama menambahkan. "Kamu yang sabar dek...", Gama kembali bicara lirih.

Mayang langsung menarik Erfly kedalam pelukannya.

"Erfly baik-baik saja", Erfly bicara pelan, berusaha keras menahan tangisnya.

Mayang kembali melepaskan pelukannya, tangisnya mengalir deras. "Mayang udah dengar ceritanya dari mama Cakya, kamu...", Mayang tidak sanggup melanjutkan ucapannya.

"Erfly baik-baik saja", Erfly tertunduk, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.

"Kok bisa sama sekretarisnya kamu dek...?", Gama bertanya bingung, Gama sudah beberapa kali bertemu Nadhira, dan Erfly juga sudah mengenalkan kalau Nadhira adalah sekretaris kepercayaan ayahnya semasa hidup.

"Lha... Kok nanya Erfly. Tanya langsung orangnya bang", Erfly berusaha untuk tertawa.

"Cakya g'ak pernah cerita soal ini dek", Gama menjelaskan, sekaligus menagih penjelasan dari Erfly.

"Erfly juga g'ak tahu bang. Yang jelas, teh Nadhira minta di temenin. Katanya mau kenalan sama keluarga cowok yang dia kenal di Fb. Katanya... Cakya juga udah ketemu sama keluarganya teh Nadhira di kampung", Erfly menjelaskan panjang lebar.

***

Dirga akhirnya dimakamkan di samping makam ayahnya. Candra masih terpaku duduk di samping makam Dirga. Sinta duduk perlahan disamping Candra, kemudian merebahkan kepalanya di pundak Candra.

"Malaikat kecil nyariin kamu dek", Sinta bicara lembut.

Candra menghapus kasar air matanya. "Ehem...", Candra berdehem pelan, mengembalikan konsentrasinya. "Iya mbak, Candra janji beliin dia coklat", Candra bicara pelan.

"Tadi... Ibuk nelpon, dia minta maaf, karena g'ak bisa datang kesini. Katanya lagi ada urusan yang g'ak bisa ditinggalkan", Sinta memberikan informasi.

Candra tidak berminat menanggapi ucapan Sinta. Candra mulai berdiri dari posisi semula, melangkah perlahan menuju mobilnya.

***

Cakya duduk merokok diteras rumah. Ibu Cakya perlahan menghampiri Cakya, kemudian duduk tepat disamping Cakya.

"Abang... Kenal Nadhira dimana...?", ibu Cakya bertanya pelan, sembari menyeruput teh hangatnya.

"Kenal di Facebook", Cakya menjawab pelan, tanpa menoleh kearah ibunya, Cakya kembali menghisap rokoknya dalam.

"Abang... Serius sama Nadhira...?", ibu Cakya bertanya lagi.

"Kalau g'ak serius, ngapain abang kenalin", Cakya menjawab santai.

"Nadhira... Itu... Lebih tua dari abang bukan...?", ibu Cakya berusaha memastikan.

Cakya hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Abang g'ak masalah sama itu...?", ibu Cakya bertanya bingung.

Cakya tersenyum sebelum menjawab pertanyaan ibunya, "Kalau udah suka, mau bilang apa...", Cakya menjawab santai.

"Abang...", ibu Cakya tidak melanjutkan ucapannya, karena Cakya sudah menyela.

"Sebenarnya mama mau ngomong apa...?", Cakya bertanya tajam, Cakya menatap lekat wajah ibu Cakya.

"G'ak... Mama hanya bingung, abang tiba-tiba saja mengenalkan Nadhira. Mama hanya memastikan bagaimana perasaan abang saja. Nikah itu bukan urusan sehari dua hari saja, itu perjalanan seumur hidup. Jadi... Mama g'ak mau abang nantinya menyesal", ibu Cakya bicara dengan tulus.

"Abang tahu apa yang abang lakukan ma", Cakya bicara santai, kembali merubah posisinya agar lebih nyaman.

"Kepala abang... Masih sering sakit...?", ibu Cakya mengalihkan topik pembicaraan.

Cakya menggeleng pelan, "Udah g'ak lagi", Cakya menjawab pelan.

"Alhamdulillah...", ibu Cakya merasa lega. "Em... Abang kenal sama cewek yang bareng Nadhira...?", ibu Cakya berusaha memancing ingatan Cakya kembali.

"Kan kemarin ketemu", Cakya berusaha menghindar.

"Bukan... Maksud mama... Abang udah kenal sebelumnya sama...", ibu Cakya tidak melanjutkan ucapannya.

"Ilen...?", Cakya bertanya santai.

"Iya...", ibu Cakya mengejar jawaban.

"Pernah ketemu pas acara kampus ke Garut. Kita nginap di Vilanya Ilen", Cakya menjawab apa adanya. "Kok mama tiba-tiba nanya Ilen...? Mama kenal...?", Cakya malah balik bertanya.