Erfly masih sibuk dengan sarapannya. Menatap kalaut lepas, duduk diteras memang kesukaan Erfly, hiburan tersendiri untuknya, setelah sibuk dengan tumpukan laporan diruang kerja.
Erfly memang lebih memilih untuk bekerja dari rumah, sedangkan urusan dengan perusahaan menjadi tanggung jawab Nadhira dan pak Edy. Makanya karyawan tidak banyak yang mengenal Erfly. Sama halnya dengan kafe, Erfly hanya menunggu laporan dirumah. Semua sudah diserahkan kepada manajer kafe masing-masing.
Di usianya yang cukup muda, Erfly sudah menjadi milyader. Dia hanya berdiri dibelakang keputusan-keputusan penting perusahaan dan kafe. Belum lagi usaha kos-kosan dan vila sewaan, bahkan usaha ketringan yang dibangun secara tidak sengaja dengan Mayang selalu menambah pundi-pundi tabungannya.
HP Erfly berbunyi, dilayar tertera nama Nadhira.
"Assalamu'alaikum, kenapa teh...?", Erfly bertanya dengan nada paling rendah.
"Wa'alaikumsalam, orang yang kemarin konfirmasi. Mereka telah mengisi rumah percontohan dengan furnitur seperti kesepakatan awal", Nadhira bicara langsung keintinya.
"Orang gila, atau malah otak udang", Erfly bergumam geram.
"Kita harus bagaimana sekarang...?", Nadhira bertanya bingung.
"Teteh foto semua furnitur, jangan ada detail yang ketinggalan, kirim ke Ilen secepatnya. Hubungi truk jasa pengiriman barang. Minta mereka mengosongkan rumah percontohan. Kirim kembali kealamat semula. Ilen akan kirim surat penolakan kerjasama langsung dari e-mail kantor", Erfly memberikan instruksi panjang lebar.
"Apa kita tidak perlu bertemu langsung dengan mereka...?", Nadhira menawarkan solusi lain.
"G'ak perlu", Erfly menjawab dingin.
"Baik, assalamu'alaikum", Nadhira tidak berani membantah lagi.
"Wa'alaikumsalam", Erfly segera beranjak dari tempat duduknya, meletakkan piring kotor ketempat pencucian piring, kemudian masuk keruang kerjanya
Sesuai rencananya, Erfly mengirimkan e-mail penolakan kerjasama kepada lelaki yang ditemuinya kemarin. Isinya singkat, tanpa kata basa-basi sebagai kalimat pembuka.
'Ini saya Ilen. Sayang sekali, furnitur yang anda kirim ke rumah percontohan tidak sesuai dengan ekapektasi kami. Oleh karena itu, saya sangat menyesal, tidak bisa melanjutkan kerjasama kita. Terima kasih'
Erfly bahkan mengirimkan beberapa lampiran foto, kecacatan furnitur yang dikirim kerumah percontohan. Agar lebih memperkuat argumennya. Erfly tidak mau berurusan dengan makhluk yang satu itu, ditambah lagi kelakuan putranya yang sombong dan otak kotor.
Terdengar suara ketukan pintu, sesaat kemudian, Alfa muncul dari balik daun pintu.
"Dek...", Alfa bicara pelan.
"Kenapa Ko...? Tumben kesini pagi-pagi...?", Erfly bertanya ringan, melemparkan senyuman terbaiknya.
"Kamu sudah sarapan...?", Alfa bertanya pelan.
"Udah", Erfly menjawab singkat.
"Koko kira kamu belum sarapan. Kan kata kamu mbak Salwa mulai kuliah hari ini", Alfa bicara bingung.
"Iya, sebelum berangkat mbak Salwa sudah buatin sarapan. Dia cukup bisa diandalkan, Koko g'ak perlu khawatir", Erfly bicara pelan.
"Koko kesini hanya buat mastiin Erfly udah sarapan atau belum aja...?", Erfly bertanya asal.
Alfa duduk tepat dihadapan Erfly.
"Ada apa Ko...?", Erfly bertanya bingung, melihat ekspresi Alfa yang rumit.
"Baba barusan telfon...", Alfa bicara lirih.
"Terus...?", Erfly mengejar jawaban.
"Seminggu yang lalu Baba dapat pasien, dia dirawat karena serangan jantung. Kemarin Baba cerita pasien itu struk", Alfa kembali menggantung penjelasannya.
"Hubungannya sama Ilen...?", Erfly bertanya bingung.
"Baba tidak sengaja ngajakin dia cerita, saat melakukan terapi. Dan...", Alfa ragu apakah harus melanjutkan ceritanya atau tidak.
"Dan...?", Erfly kembali mengejar jawaban.
"Pasien itu sempat bercerita soal masalalunya yang kelam. Dia... Kenal kamu, ayah dan bunda. Katanya dia mau ketemu kamu, dia banyak dosa katanya", Alfa memutuskan untuk menyampaikan pesan pasien malang itu.
"Siapa...?", Erfly mengerutkan kening karena tidak mengerti, siapa yang dimaksud oleh Alfa.
"Bambang", Alfa bicara dengan suara paling pelan.
Seolah petir yang menyambar disiang bolong. Tubuh Erfly serasa kaku, tidak mampu merespon ucapan Alfa. Sudah hampir 3 tahun Bambang menghilang tanpa jejak, bahkan Erfly harus kehilangan vila kesayangannya di Bali, untuk menutupi gaji karyawan. Sekarang dia malah muncul dengan cara yang tidak terduga.
"Keadaan Om Bambang menyedihkan. Dia sebatang kara sekarang, bekerja jadi juru parkir di rumah sakit. Dia sudah bercerai dengan istrinya, istrinya kabur sama pacarnya yang seumuran dengan putri tertuanya, dia kabur, setelah berhasil menjual semua aset Om Bambang. Bahkan anak-anaknya juga terlibat dalam menipu Om Bambang", Alfa menjelaskan panjang lebar, betapa menyedihkannya keadaan Bambang. Biar bagaimanapun, tetap saja Bambang masih saudara Erfly.
Erfly tidak bergeming sedikitpun. Dia bahkan tidak berminat untuk menanggapi ucapan Alfa sama sekali.
***
Entah angin apa yang meniup Cakya. Kakinya melangkah hingga sejauh ini. Hamparan hutan menjadi pemandangan yang menyejukkan matanya.
Sesekali bayangan seorang gadis berlari dipikannya, tumpang tindih dengan kenangannya bersama almarhumah Asri. Cakya berkali-kali mengerutkan keningnya, berusaha mengingat kembali siapa gadis itu. Akan tetapi sama sekali tidak ada petunjuk yang bisa dia gunakan.
Cakya tiba ditempat yang dia tuju. Pemandangan yang sama, danau nan Asri, dikelilingi oleh gunung yang memeluk dengan kokoh. Ternyata Cakya tidak sendiri, seorang lelaki sedang duduk diatas batu menikmati istirahatnya.
Cakya duduk disamping lelaki itu, meminum air danau, sekedar menghilangkan haus. Kemudian merendam kakinya, agar tidak keram. Cakya berjabat tangan dengan lelaki yang ada dihadapannya saat ini.
"Lama g'ak muncul, kemana aja...?", lelaki itu bertanya pelan.
"Lumayan sibuk sama sekolah, dan ngurusin kelulusan, plus nyari kampus", Cakya menjawab dalam satu nafas.
"Ada kemajuan, udah mau ngomong sekarang", lelaki itu berceletuk asal, dibalas dengan tawa dari Cakya. "Kirain udah trauma sejak kecelakaan itu", lelaki itu kembali mengungkapkan apa yang ada dipikirinnya.
"Masalalu itu bagaikan lapisan bawang", Cakya bicara lirih.
"Maksudnya...?", Satia bertanya bingung. Sama sekali tidak mengerti dengan ucapan Cakya kali ini.
"Setelah kecelakaan lebih dari 2 tahun silam, ingatan Cakya kehapus, Cakya malah ingatnya kejadian kecelakaan yang bersama Asri", Cakya menjelaskan rentetan kejadian.
"Kecelakaan kamu bersama Asri, itu sudah hampir setahun, saat kejadian kecelakaan kamu bersama Erfly", Satia menjelaskan.
"Erfly...?", Cakya bertanya bingung.
"Iya, Erfly...!", Satia yang kali ini malah bingung dengan reaksi Cakya.
"Mas bisa ceritakan kejadiannya...?", Cakya kembali mengejar jawaban.
"Waktu itu hujan deras, entah karena apa, kamu bertengkar hebat dengan Gama. Dan pulang bersama Erfly. Saat kecelakaan itu, kamu bersama Erfly, disusul Gama menggunakan motor Erfly", Satia menjelaskan panjang lebar.
Cakya mulai merasakan kepalanya sakit lagi.
"Mas tahu seberapa dekat saya dengan Erfly...?", Cakya kembali bertanya. Cakya berusaha keras menahan rasa sakit yang menyerang tiba-tiba.
"Saya tidak tahu jelasnya seperti apa. Tapi... Kalian sering ketemu mendaki bareng ke danau", Satia menjawab dengan keraguan.
"Oh ya...?", Cakya bertanya heran.
"Lho... Memangnya tidak ada yang pernah cerita soal Erfly ke kamu...? Saya rasa, Gama yang jauh lebih banyak tahu soal kamu dan Erfly", Satia bicara pelan.
"Mereka tutup mulut mas, makanya saya bilang, masalalu itu bagaikan lapisan bawang buat saya. Dan... Sepertinya, harus saya yang mengupas perlembar lapisannya sendirian", Cakya bicara lirih. Wajahnya menggambarkan putus asa.
"Jadi... Setelah kecelakaan kamu sama sekali belum pernah ketemu Erfly lagi...?", Satia kembali bertanya bingung.
Cakya hanya menggeleng pelan. Kemudian melemparkan senyum pahit. Entah apa yang ada di pikiran orang yang bernama Erfly itu nantinya, kalau tahu dia lupa semua tentang Erfly. Dan... Cakya malah semakin penasaran, siapa Erfly sebenarnya, atau apa hubungannya dengan Erfly di masalalu...?
Menjelang siang, Cakya memutuskan untuk pamit pulang. Belum juga setengah dia menyusuri kebun teh, hujan turun dengan deras. Cakya memilih untuk berteduh disebuah masjid yang dia temukan dipanggir jalan.
Cakya langsung berwudhu setelah memarkirkan motornya dengan aman. Kemudian Cakya masuk kedalam masjid, karena sudah masuk waktu Zuhur, Cakya menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim.
"Ternyata benar, Cakya. Assalamu'alaikum, apa kabarnya...?", seorang lelaki menghampiri Cakya, suaranya yang lembut mendamaikan siapapun yang mendengarnya.
"Wa'alaikumsalam, alhamdulillah baik", Cakya menjawab ragu, dia masih bingung siapa lelaki yang ada dihadapannya saat ini.
"Kamu lupa sama saya...?", lelaki itu menebak, karena Cakya mengerutkan keningnya dihadapannya.
Cakya tertawa renyah, "Maaf...", Cakya bicara pelan.
"G'ak apa-apa. Saya Hendra. Kamu pernah mampir kesini, berteduh pas kehujanan dari gunung. Bersama Erfly, terus... Kita mengaji bersama disini sambil menunggu waktu isya", lelaki yang mengaku Hendra menjelaskan panjang lebar.
Lagi-lagi gadis itu. Gumam Cakya heran.
"Ah... Sepertinya saya masih punya fotonya", Hendra mengeluarkan HPnya dari kantong celananya, kemudian memperlihatkan fotonya bersama Cakya dan Erfly.
"Astagfirullah...", Cakya langsung meremas kepalanya yang sakit, saat melihat foto yang ada dihadapannya.
"Cakya, kamu kenapa...?", Hendra bicara panik, saat melihat wajah Cakya yang putih menjadi merah dan menjambak rambutnya sendiri. Sepertinya Cakya sangat kesakitan.