"Ambil darah saya saja", terdengar suara lelaki dari arah belakang Satia.
Satia segera menoleh kebelakang, mencari sumber suara.
"Gama...?", Satia bertanya bingung, tidak yakin dengan pemandangan yang ada dihadapannya saat ini.
Gama segera menyalami Satia, kemudian merangkul Satia pelan.
"Kok bisa disini...?", Satia bertanya bingung.
"Itu g'ak penting, prioritas utama saat ini nyelamatin Erfly", Gama memotong ucapan Satia.
"Dokter... Ambil darah saya dan ibunya Cakya", Gama segera memberikan perintah kepada Alfa.
"Suster, tolong di cek dulu golongan darahnya. Kalau cocok langsung lakukan transfusi segera", Alfa memberi perintah kepada suster yang berada di sampingnya.
"Baik dok. Mari ikut saya", suster muda itu melangkah terlebih dahulu menunjukkan jalan.
"Kita masih butuh 3 kantong lagi", Alfa kembali mengingatkan Satia.
"Tim khusus sedang bergerak", Satia menjawab penuh keraguan.
***
Erfly masih menatap kosong layar HPnya yang hitam. Sudah hampir 3 jam Erfly hanya diam mematung seperti itu.
Hasan dan Husen lebih memilih bermain dengan tangan kanan ayahnya, bawahan kepercayaan Satia, Hasan masih setia belajar gitar yang ada di pelukannya. Sedangkan Husen lebih memilih belajar drum dari aplikasi di HPnya.
Berbeda dengan sang sulung Hasan yang ingin meneruskan jejak ayahnya menjadi tentara, sehingga memilih belajar gitar untuk mengisi waktu kosong. Husen malah mempunyai keinginan, kalau besar ingin menjadi Drummer profesional suatu hari nanti.
"Dek... Sini gabung", Hasan melirik adiknya yang masih mematung diatas tempat tidur sedari tadi.
Erfly hanya menggeleng pelan, "Kok ayah sama bunda belum pulang atau telfon ya...?", Erfly bicara pelan.
Hasan menyerahkan gitarnya kepada lelaki yang ada di sampingnya, kemudian duduk tepat dihadapan Erfly. Hasan mengambil HP yang ada di tangan Erfly, kemudian meletakkan dengan lembut HP Erfly ke atas meja kecil disamping tempat tidur.
Hasan menggenggam lembut jemari tangan kanan Erfly, "Dek... Ayah itu ayah terbaik sedunia. Ayah selalu tahu apa yang beliau lakukan, semua yang beliau kerjakan sudah terkafer dengan baik di otak ayah. Kalau... Sampai sekarang ayah belum pulang atau menelfon, berarti ayah masih ada pekerjaan atau tugas yang tidak bisa di tinggalkan. Tugas kita sebagai anak hanya perlu mendo'akan saja, semoga semua urusan ayah dan bunda cepat selesai, jadi bisa cepat pulang dengan selamat", Hasan menjelaskan panjang lebar.
Suara azan segera berkumandang.
"Sudah ashar, sebaiknya kita wudhu dan sholat berjamaah. Kita do'ain ayah sama bunda", Husen menimpali.
Erfly tidak buka suara, hanya mengangguk pelan sebagai tanda setuju.
Lelaki yang sedari tadi hanya duduk diam, tersenyum melihat kesabaran Hasan dan Husen menghibur si bungsu.
Erfly mengambil langkah terlebih dahulu masuk ke kamar mandi untuk wudhu. Hasan segera menghampiri tangan kanan ayahnya, lelaki yang dari tadi hanya diam membisu saja.
"Tante Nadhira kemana Om...?", Hasan bertanya sangat pelan, nyaris seperti orang berbisik.
"Keluar sebentar, bertemu seseorang, urusan kantor katanya", lelaki itu menjawab sesantai mungkin.
"Om mau ikut kita jemaah sekalian, Om yang jadi imam ya...?", Hasan tiba-tiba bicara diluar dugaan.
"InsyAllah", lelaki itu menjawab di sela senyumnya.
***
Satia masih mondar-mandir di lorong ruang operasi. Sudah hampir 8 jam Erfly berada di ruang operasi.
Tepat pukul 17.00 Wib lampu ruang operasi dimatikan, sebagai tanda operasi telah selesai.
Detik berikutnya, Erfly di dorong keluar dari ruang operasi. Sangat terlihat Alfa, Nazwa dan team lain kelelahan.
"Kita masih perlu mengawasi perkembangan Erfly. Suster langsung bawa ke ICU", Alfa memberi perintah.
Erfly segera di pindahkan ke ruang ICU.
Satia hanya bisa menatap Erfly dari luar kaca ICU.
"Mas...", Cakya memanggil Satia lirih.
Satia segera berbalik menatap Cakya.
"Cakya... Pamit pulang malam ini mas", Cakya bicara pelan.
"Astagfirullah, iya...", Satia mengusap mukanya kasar.
Satia meraih HPnya, kemudian menelfon salah satu nomor yang ada di HPnya.
"Permintaan saya sudah di siapkan...?", Satia bicara dengan tegas seperti biasanya.
Satia diam sejenak, "Baik, saya titip Cakya dan keluarganya. Terima kasih", Satia mengakhiri hubungan telfon, kemudian kembali memasukkan HP kedalam kantong celananya sebelum berbalik menatap kearah Cakya dan keluarganya.
"Helikopter akan siap ba'da magrib", Satia memberi informasi.
"Terima kasih mas", Satia bicara lirih.
"Saya yang seharusnya mengucapkan banyak terima kasih. Keluarga saya berhutang banyak terhadap keluarga Cakya", Satia menjabat tangan Cakya, kemudian menarik Cakya kedalam pelukannya.
Cakya melepaskan diri dari pelukan Satia setelah beberapa detik, kemudian menyerahkan sebuah amplop putih ketangan Satia sebelum berlalu pergi dari hadapan Satia.
Satia duduk di bangku yang bisa dia raih, setelah kepergian Cakya. Satia membuka amplop putih pemberian Cakya, kemudian membuka dengan hati-hati kertas yang terlipat dengan rapi di dalam amplop. Satia membaca kata perkata yang tertulis di atas kertas.
'Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Maaf...
Tidak ada kata yang lebih pantas untuk Cakya ucapkan saat ini. Bahkan seribu kalipun Cakya ucapkan kata itu, tidak akan pernah bisa membalikkan waktu, ataupun hanya sekedar memperbaiki keadaan seperti semula.
Awalnya Cakya pikir, Cakya tidak bisa hidup tanpa Asri, dan akhirnya Asri diambil yang diatas.
Selang beberapa bulan, Cakya bertemu Erfly. Butterfly... Gadis luar biasa yang mampu menjungkir-balikkan dunia Cakya yang sangat damai.
Saat semua terasa nyaman, Erfly menghilang tanpa kabar. Saat itu Cakya merasa langit Cakya runtuh. Dunia Cakya hilang tak bersisa sedikitpun.
Cakya tidak bisa terima saat Cakya tahu Erfly dimiliki oleh orang lain, dan orang itu bukan Cakya.
Sampai akhirnya Cakya melihat semuanya dengan mata Cakya sendiri. Betapa besar mas mencintai Erfly, betapa mas takut akan kehilangan Erfly.
Terima kasih mas atas waktu yang telah kita habiskan bersama.
Cakya ikhlas melepaskan Kupu-kupu tak bersayap Cakya terbang bersama mas.
Erfly wanita yang luar biasa mas, Cakya selalu berdo'a yang terbaik untuk mas dan keluarga. Mohon do'anya juga agar Cakya menemukan kebahagiaan Cakya sendiri.
Wa'alaikumsalam
Cakya'
Satia melipat kembali surat pemberian Cakya, kemudian kembali memasukkan surat tersebut kedalam amplop dengan rapi seperti semula.
"Mas... Ilen sudah sadar", Nazwa entah muncul dari mana, membuyarkan lamunan Satia.
Satia segera menghampiri tempat tidur Erfly dengan setengah berlari.
"Alhamdulillah kamu sudah sadar dek...", Satia bicara lega.
Erfly memaksakan senyumnya. Wajahnya masih pucat pasi seperti mayat hidup. Erfly menarik penutup di mulutnya yang tersambung langsung dengan oksigen agar mempermudah Erfly untuk bicara.
"Anak-anak...?", Erfly bertanya tanpa suara.
Beruntung Satia bisa membaca gerak bibir, selama berada di satuan khusus. Satia telah belajar banyak hal, mulai dari membaca gerak bibir, bahasa isyarat, bahkan Satia bisa dengan fasih berkomunikasi dengan beberapa bahasa asing. Karena pekerjaannya menuntut Satia untuk melakukan semua itu demi menunjang pekerjaannya.
"Anak-anak aman bersama teh Nadhira di hotel, sudah ada yang menjamin keselamatan mereka", Satia menjawab lembut, mengusap pelan pucuk kepala Erfly.
Erfly sudah mengerti setiap kali Satia mengatakan sudah ada yang menjamin keselamatan mereka, itu artinya sudah ada team satuan khusus yang ditugaskan untuk menjaga mereka.
"Alhamdulillah...", Erfly mengucapkan syukur karena buah hatinya baik-baik saja.
"Papa...? Cakya...?", Erfly bertanya terbata-bata, Erfly tidak ingin salah bicara dan menyakiti hati suaminya.
Satia tidak merespon, suasana hening seketika.