Lebih dari 2 tahun. Alfa, Erfly dan keluarganya menghilang tanpa kabar. Sekarang bahkan Gama tidak bisa lagi menghubungi nomor Erfly. Entah itu nomor Gama di blokir, atau memang dia ganti nomor.
Tidak ada petunjuk sedikitpun, baik dari wa, Fb, IG atau apapun itu. Gama dan Cakya sudah lulus dari SMA, dan memilih kuliah di STIA NUSA Sakti Sungai Penuh. Cakya dan Gama mengambil kelas Sabtu Minggu jurusan S1 Administrasi Negara.
Sehingga mereka punya banyak waktu untuk bekerja sambilan. Gama memilih honor di salah satu kantor pemerintahan, dibantu oleh Jendral Lukman. Sedangkan Cakya sedikit lebih ekstrim, dia lebih memilih menjadi anggota Pemadam Kebakaran.
Cakya kembali seperti pertama Erfly menemukannya, dia jarang ngomong. Bahkan lebih terkesan dingin terhadap semua orang. Tidak ada lagi senyum yang terukir menghiasi bibirnya.
"Cakya... Kampus minggu depan, mau melakukan Bakti Sosial. Sekalian studi banding. Kabarnya, anak-anak memilih ke Garut", Gama membuka suara, saat makan di kantin depan kampus.
Cakya tidak merespon ucapan Gama. Dia masih asik menikmati makanannya.
"Ternyata disini... Di cariin juga", seorang gadis dengan potongan rambut lurus sebahu menghampiri Cakya dan Gama, badannya yang kurus dan memiliki tinggi 175 cm, membuat dia mendapat julukan 'kutilang' alias kurus tinggi langsing.
Tanpa aba-aba, gadis itu merebut minuman Cakya. Menyeruput hingga tinggal setengah gelas. Cakya tidak protes, ataupun bereaksi sama sekali.
"Apaan sih ni anak. Datang-datang, main nyosor aja minuman orang", malah Gama yang sewot melihat kelakuan ajaib teman satu angkatannya.
"Capek tahu, habis keliling kampus nyariin kalian", gadis itu malah protes.
"Nyariin kita...? Emang kenapa...?", Gama bertanya bingung.
"Acara minggu depan. Kalian harus ikut", gadis itu memberi perintah.
"Lha...? Kok jadi kamu yang ngatur...?", Gama bertanya bingung.
"Bukan Rona. Tapi... Kampus. Acara besok, langsung di sponsor oleh yayasan kampus. Jadi... Satu angkatan wajib ikut. Ntar masuk syarat kelulusan, setiap mahasiswa yang ikut, akan dikasih sertifikat nantinya. Nah... Sertifikat itu yang nantinya harus dilampirkan pas pengajuan judul Skripsi", gadis turunan Batak ini menjelaskan panjang lebar.
"Iya gitu...?", Gama bertanya sanksi.
"Ye... Tanya sendiri ke yayasan sana. Malah udah ditempel di mading kampus. Makanya, lewat mading itu di baca. Jangan dilewatin aja", gadis itu malah jadi kesal.
Cakya merogoh kantong celananya, kemudian mengeluarkan selembar uang 20 ribu. Meletakkan uang itu diatas meja, kemudian beranjak dari kursinya dengan tas yang setia dipunggungnya.
"Cakya gimana...? Ikutan g'ak...?", gadis itu tidak mau buruannya lepas begitu saja.
Cakya tidak berbalik atau menjawab. Dia hanya menyatukan jari telunjuk dan jempol tangan kanannya, kemudian mengayunkan keudara sebagai isyarat Ok.
"Yes...!!!", gadis tomboy yang duduk di samping Cakya tadi berteriak girang. "Gama gimana...?", gadis itu beralih kearah Gama yang ada dihadapannya.
"Pake tanya. Tamarona yang cakep. Gama sama Cakya satu paket, kalau Cakya udah Ok. Gama bisa bilang apa...?", Gama menjawab pasrah, memasang muka memelas.
"Siap...!!!", Tamarona membuat posisi hormat bendera kepada Gama. "Kalau gitu, Rona ke BEM, melaporkan data mahasiswa yang OK", Tamarona berlalu pergi, meninggalkan Gama sendirian di kantin.
"Dasar cewek ajaib", Gama menggelengkan kepala melihat kelakuan teman sekelasnya.
***
Waktu terus berlalu. Hingga sampai pada hari keberangkatan Cakya dan Gama. Sengaja, Gama memilih berangkat dari rumah Cakya. Agar tidak membawa motor, karena diantar oleh ayah Cakya.
"Gam... Titip abang ya", ibu Cakya bicara pelan, sesaat sebelum Gama menuruni tangga rumah.
"Iya kak. Jangan khawatir", Gama menghibur sepupunya. "Kalau gitu, Gama berangkat. Takut yang lain udah nungguin", Gama menyalami sepupunya. Kemudian berlalu menyusul Cakya yang sudah lebih dulu masuk kedalam mobil.
Perjalanan Cakya dan teman-temannya berlangsung berhari-hari. Mereka sengaja menyewa bis, sehingga bisa mampir ke beberapa tempat sebelum tiba di Garut tempat tujuan mereka yang sebenarnya.
"Kenapa harus jauh-jauh ke Garut sih...?", Gama buka suara saat mereka berhenti disebuah rumah makan untuk makan siang.
"Garut itu punya pabrik dodol yang besar. Nah... Itu sama kayak Kerinci, kita punya dodol jagoan, dodol kentang. Ini... Yang harus kita pelajari. Bagaimana caranya, agar dodol kentang khas Kerinci, bisa dikenal seperti halnya dodol Garut cuy...", Tamarona menjelaskan panjang lebar.
"Terus... Disana kita tinggal dimana nantinya...?", Gama kembali bertanya.
"Diriin tenda tepi pantai, biar anyut lu sekalian dibawa ombak", Tamarona menjawab asal.
Teman-teman Gama malah tertawa mendengar jawaban Tamarona. Akan tetapi, Cakya masih saja memasang muka datarnya.
"Gam...", Tamarona berbisik di samping telinga Gama, akan tetapi masih bisa didengar oleh Cakya dan beberapa temannya.
"Hem... Kenapa...?", Gama bergumam malas.
"Ini anak, kaku amat kayak kanebo kering, g'ak lu setrika dulu mukanya biar rapi sebelum pergi gitu...?!", Tamarona bertanya asal.
Gama langsung mendorong Tamarona agar menjauh. "Parah ini anak...!", Gama tertawa kesal melihat kelakuan ajaib Tamarona.
Tamarona bukannya marah, malah tertawa puas melihat kekesalan Gama. Cakya malah asik makan, seolah tidak merasa terganggu dengan keadaan sekitar.
"Buruan makannya, perjalanan masih jauh ini", Tamarona memberi perintah kepada teman-temannya.
Semua teman-temannya tidak menjawab, melainkan mengacungkan jempol kanan mereka kelangit secara bersamaan.
"Bagoooeeessss...!!!", Tamarona balas mengacungkan dua jempolnya kelangit.
Spontan mereka tertawa bersamaan. Sudah jelas, kecuali Cakya pastinya, yang hanya memasang muka datarnya seperti biasanya.
***
Disebuah rumah yang cukup sederhana, seorang gadis duduk menatap kosong lepas ke pantai.
"Dek...!", seorang lelaki bicara lirih, duduk disamping gadis itu.
"Kenapa Ko...?", gadis itu merespon dengan suara pelan.
"Kata si mbak. Orang kantor dari kemarin nelpon nyariin kamu terus", lelaki itu bicara lagi.
"Hem... Biarin aja ko", gadis itu bicara malas.
"Kamu yakin...?", lelaki itu bertanya lirih.
Gadis yang ada dihadapannya hanya mengangguk pelan, tidak ada suara yang keluar dari bibirnya.
"Assalamu'alaikum...", seorang perempuan yang begitu akrab dengan gadis yang sedari tadi diam diteras menghampiri.
"Wa'alaikumsalam...", gadis itu menjawab malas. Dia sudah bosan selalu harus berurusan dengan perusahaan.
"Maaf Ilen... Ada proposal yang harus ditandatangani...", perempuan itu bicara ragu, sembari menyodorkan sebuah map kehadapan gadis yang sedari tadi mematung di teras rumahnya.
Gadis itu mau tidak mau mengambil map yang diserahkan, "Ilen baca dulu... Nanti dikabari", gadis itu bicara malas, akan tetapi hanya meletakkan map yang diterimanya diatas pahanya.
"Em... Len...", perempuan itu tidak melanjutkan omongannya, karena lelaki yang sedari tadi ada diantara mereka menggeleng pelan.
Perempuan itu cukup tahu, "Kalau begitu saya permisi, assalamu'alaikum...", perempuan itu langsung mohon diri.
"Wa'alaikumsalam", gadis yang sedari tadi diatas kursi menjawab pelan.
Gadis itu masih keberatan dengan tugas barunya. Mengurus perusahaan yang memiliki pegawai ratusan.
Akan tetapi gadis itu tidak memiliki pilihan lain lagi, setelah ayah dan ibunya meninggal saat kecelakaan. Tidak ada lagi yang bisa melanjutkan perusahaan.
Biar bagaimanapun, perusahaan tidak akan bisa berjalan sendiri. Walaupun ada begitu banyak pegawai. Tetap saja, mereka butuh perintah untuk mengambil keputusan nantinya.