Erfly melangkah perlahan dengan menggunakan kruknya, saat masuk kedalam rumah panti jompo, Erfly langsung disambut oleh perempuan manis berumur 20 tahun.
Erfly diarahkan menuju belakang rumah, terlihat seorang lelaki sedang duduk di depan kolam ikan.
"Teteh tunggu disini", Erfly bicara lirih.
Nadhira spontan menghentikan langkahnya, menatap Erfly dari kejauhan. Sedangkan perempuan berumur 20 tahun yang mengantarkan mereka langsung kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Assalamu'alaikum....", Erfly bicara pelan, saat telah berada dibelakang lelaki yang sedang duduk di kursi.
"Wa'alaikumsalam...", lelaki itu membalikkan tubuhnya menatap orang yang mengucapkan salam.
Begitu melihat Erfly, lelaki itu langsung sujud berusaha mencium kaki Erfly. Sigap Erfly langsung berpindah posisi, sehingga lelaki itu tidak bisa meraih kaki Erfly.
"Saya kesini untuk bicara sama Om", Erfly bicara dingin.
Lelaki itu langsung beranjak dari posisinya, memilih duduk di bangku yang sebelumnya. Erfly ikut duduk dibangku yang sama, tatapannya menatap lurus kedepan, sehingga lelaki itu hanya bisa melihat wajah Erfly dari samping kanan saja.
"Saya kecolongan lagi. Perusahaan yang mengajukan kerjasama pengadaan furnitur, untuk perumahan yang di Palembang. Mereka minta dibayar 70% dimuka. Setelah uang dikirim, orangnya langsung menghilang dan tidak bisa dihubungi. Perusahaan nyaris rugi miliaran rupiah", Erfly menjelaskan panjang lebar. Nada bicara Erfly terdengar demikian dingin, sehingga bahkan lelaki yang ada dihadapannya tidak berani berkutik sedikitpun.
"Kemarin, saya bayar orang untuk mencari pemilik perusahaan. Pimpinan Direksi atas nama Bima Samudra", Erfly kembali melanjutkan ucapannya.
"Astagfirullah...", lelaki yang ada disamping Erfly bicara dengan nada bersalahnya.
"Anda kenal dengan nama itu...?", Erfly langsung mengalihkan tatapannya menatap wajah lelaki yang ada disampingnya.
Tidak ada tatapan persahabatan dari sorot mata Erfly. Tatapan penuh kemarahan yang berapi-api. Seolah ada gunung api yang akan segera meledak di dadanya, siap memuntahkan lahar panas kesiapa saja yang ada di hadapannya saat ini.
"Itu semua kesalahan saya", lelaki itu bicara dengan rasa penyesalan yang teramat sangat. Tangisnya pecah, tidak mampu dia bendung lagi.
"Saya g'ak butuh air mata anda. Saya juga g'ak butuh rasa penyesalan anda. Yang saya butuh, anda bayar hutang anda kepada keluarga saya", Erfly bicara dingin, tatapan tajamnya langsung menusuk ketulang belulang lelaki yang ada di hadapannya.
Entah kenapa, lelaki yang ada dihadapan Erfly spontan mundur beberapa cm dari posisi duduk semula. Tatapan Erfly yang seolah siap membunuhnya membuat dirinya gemetar ketakutan.
"Ba... Bagaimana saya bisa membayar hutang saya kepada keluarga Erfly...?", lelaki itu berusaha berkompromi.
"Saya minta semua nama bawahan Om Bambang, yang telah membantu untuk menggelapkan uang perusahaan. Saya tidak mau ada yang terlewatkan satu orangpun", Erfly memberi perintah.
Lelaki yang ada di hadapannya Erfly diam sejenak sebelum menjawab, kemudian menarik nafas panjang.
"Baik, Om akan bantu kamu. Tapi... Jujur saja Om tidak hafal nama mereka satu persatu, karena itu sudah cukup lama berlalu...", Bambang setuju dengan persyaratan Erfly, akan tetapi masih ragu apa dia bisa memenuhi permintaan Erfly sepenuhnya.
"Teh...", Erfly memanggil nama Nadhira setengah berteriak.
Nadhira segera melangkah menghampiri Erfly.
"Mana berkasnya...?", Erfly bertanya pelan, wajahnya masih dalam mode flat tanpa ekspresi sedikitpun.
Nadhira segera merogoh tasnya, kemudian menyerahkan map yang telah dititipkan oleh Erfly sebelumnya.
Erfly menerima map yang diberikan oleh Nadhira.
"Ini daftar semua pimpinan cabang perusahaan. Kalau butuh data lagi lebih lengkap, anda bisa buka situs kepegawaian. Saya udah catat dihalaman paling belakang", Erfly bicara dingin, sembari menyerahkan map yang ada ditangannya.
Bambang menerima map yang diberikan oleh Erfly. "Saya butuh waktu", Bambang mengajukan syarat.
"Berapa lama...?!", Erfly berusaha bernegosiasi.
"Beri saya waktu satu minggu", Bambang bicara pelan.
"Terlalu lama, 3 hari", Erfly bicara tegas.
Bambang diam sejenak, sebelum melanjutkan ucapannya. "Baik, saya akan usahakan", Bambang bicara lirih.
"Kalau begitu terima kasih, 3 hari dari sekarang saya akan kembali lagi. Assalamu'alaikum", Erfly bicara dingin.
Kemudian berlalu dengan menggunakan kruknya.
Didalam mobil Erfly tidak banyak bicara, dia hanya diam menatap keluar kaca jendela.
"Maaf Len, kita mau kemana lagi...?", Nadhira bertanya lembut.
"Pulang", Erfly menjawab singkat.
"Iya", Nadhira menjawab pelan. Kemudian mengalihkan tatapannya kepada supir yang ada disebelahnya, "Kita langsung pulang pak", Nadhira memberi perintah.
Kemudian mobil mulai merayap pelan menyusuri jalan.
Sesampainya dirumah, "Terima kasih pak", Erfly bicara lirih, sebelum meninggalkan mobil. Berlalu memasuki kamarnya, kemudian merebahkan diri keatas kasur.
Nadhira menuju arah dapur, mengambil gelas, kemudian mengisinya dengan air. Nadhira menarik kursi yang lebih dekat, kemudian duduk sambil menyeruput minumannya.
"Mau saya buatkan makanan...?", Salwa menghampiri Nadhira.
"G'ak usah mbak, terima kasih", Nadhira menjawab disela senyumnya.
"Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja", Salwa bicara dengan sopan kemudian berlalu dari hadapan Nadhira, setelah menerima anggukan kepala dari Nadhira.
HP Nadhira berteriak dengan nyaring, Nadhira langsung mengangkat telfon yang masuk.
"Assalamu'alaikum...", Nadhira bicara pelan.
"Wa'alaikumsalam teh, Erfly kenapa g'ak bisa Cakya hubungi...?", Cakya langsung menyerbu Nadhira dengan pertanyaan.
"Erfly udah dari tadi masuk kamar, katanya mau istirahat capek", Nadhira menjelaskan, sembari menatap pintu kamar Erfly yang telah tertutup rapat.
"Alhamdulillah kalau dia udah istirahat, maaf teh, Cakya jadi menganggu", Cakya bicara sungkan.
"G'ak apa-apa Cakya", Nadhira menjawab lembut.
"Terima kasih teh, Assalamu'alaikum", Cakya mengakhiri hubungan telfon.
"Wa'alaikumsalam", Nadhira menjawab pelan.
Nadhira memutuskan untuk menginap dirumah Erfly. Karena merasa khawatir dengan keadaan Erfly, setidaknya kalau dia tinggal dirumah Erfly, Nadhira bisa langsung mengecek keadaan Erfly secara langsung.
***
Candra memutuskan untuk berangkat setelah sholat subuh, Candra duduk di kursi penumpang disamping Cakya yang duduk dibelakang setir mobil.
"Maaf Cakya, Candra minta berangkat pagi-pagi buta begini", Candra merasa tidak enak, karena harus mengganggu waktu istirahat Cakya.
"Santai saja, Cakyakan memang dibayar untuk mengantar Candra", Cakya menjawab santai, kemudian menghisap dalam rokoknya.
"Jangan ngomong gitu, Cakya kesini Candra minta untuk menemani Candra", Candra bicara pelan.
Hampir 1 jam Cakya membawa mobil, sampai akhirnya Cakya berhenti tepat didepan kantor yang dituju.
"Cakya kalau mau cari sarapan duluan saja, di laci ada uang, pakai saja untuk beli sarapan atau rokok", Candra memberikan informasi sebelum meninggalkan Cakya.
Cakya menahan tangan Candra, "Candra g'ak apa-apa...? Mukanya pucat banget", Cakya bicara cemas, karena baru memperhatikan wajah Candra yang tidak seperti biasanya.
"Candra baik-baik saja, Candra tinggal dulu", Candra bicara pelan.
"Kalau ada apa-apa, Candra langsung telfon Cakya", Cakya memberi peringatan sebelum Candra menghilang dari balik pintu.
Candra mengacungkan jempol kanannya, sebelum berlalu setelah menutup pintu mobil.
Cakya memutuskan untuk mencari sarapan setelah memastikan Candra masuk kedalam perusahaan dengan baik-baik saja.
Hanya selang 30 menit, Cakya kembali memutuskan untuk kembali ke parkiran kantor. Cakya sengaja turun dari mobil, dan memilih duduk di pos satpam.
"Boleh duduk pak...?", Cakya meminta izin dengan sopan.
"Silakan jang", seorang lelaki setengah baya bicara dengan senyumnya. "Lagi menunggu orang jang...?!", lelaki setengah baya kembali bertanya.
"Iya pak", Cakya bicara pelan, kemudian mengeluarkan rokoknya, menawarkan rokok kepada lelaki setengah baya.
Cakya menghisap dalam rokoknya, "Sudah lama pak kerja disini...?", Cakya membuka topik pembicaraan.
"Saya udah hampir 10 tahun jang", lelaki setengah baya itu bicara pelan.
"Lama juga ya pak, udah veteran disini...", Cakya tertawa renyah. "Betah pak berarti disini...? Enak dong kerjaannya sampai betah 10 tahun", Cakya kembali menimpali.
"Dulu iya jang, sekarang... Rencananya saya mau keluar aja jang", lelaki setengah baya itu bicara dengan nada paling pelan.
"Bos yang sekarang kita diminta kerja rodi, gaji saya juga di potong jang", lelaki setengah baya itu bicara lirih, wajahnya langsung berubah mendung.