webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
251 Chs

Erfly harus ke Sungai Penuh

Sinta duduk di samping tempat tidur Candra.

"Maaf Cakya, saya bisa ngobrol sebentar sama Candra...?", Sinta bertanya ragu, takut Cakya akan tersinggung dengan ucapannya.

"Kalau begitu Cakya tunggu di kafe sebelah saja", Cakya langsung beranjak dari posisi duduk semula.

"Terima kasih Cakya", Candra bicara pelan.

Cakya tidak menjawab, hanya membentuk isyarat Oke dengan jemari tangannya.

Cakya memilih duduk di sudut ruangan kafe, Cakya sibuk berselancar dengan HPnya.

***

Erfly masih diam di meja kerjanya, menatap layar laptop yang ada dihadapannya.

Terdengar suara ketukan pintu, sesaat setelahnya Nadhira muncul dari balik daun pintu.

Erfly membuka kaca mata bacanya, kemudian membuang asal keatas meja. Erfly menyadarkan punggungnya ke punggung kursi.

Nadhira duduk tepat dihadapan Erfly, kemudian menyerahkan map ke hadapan Erfly.

Erfly tidak bertanya apa-apa, langsung membuka map yang diserahkan oleh Nadhira.

Erfly kembali konsentrasi dengan laptop yang ada dihadapannya, jemari lentiknya sibuk berselancar diatas huruf-huruf.

30 menit kemudian, Erfly meraih HPnya. Menekan salah satu nomor yang ada di HPnya.

"Erfly sudah kirim data barusan, semoga bisa membantu", Erfly bicara dingin.

Kemudian Erfly menutup hubungan telfon, Erfly mengetuk jemari tangannya keatas meja kerjanya yang dilapisi kaca.

15 menit kemudian, telfon kembali masuk ke HP Erfly. Tanpa pikir panjang Erfly langsung mengangkat telfon yang masuk.

"Iya, terima kasih", Erfly bicara dingin. Kemudian menutup hubungan telfon.

Erfly mengalihkan tatapannya kembali konsentrasi dengan laptopnya.

"Kenapa Len...?", Nadhira bertanya bingung saat melihat perubahan raut muka Erfly.

"Erfly harus ke Sungai Penuh", Erfly bicara lirih.

"Sungai Penuh...? Kenapa...?", Nadhira bertanya semakin bingung.

"Otak pelaku semua kekacauan di perusahaan tinggal di Sungai Penuh", Erfly bicara dingin, mukanya datar tanpa ekspresi sedikitpun.

"Ilen mencurigai seseorang...?", Nadhira bertanya penasaran.

"Dia menggunakan nama samaran, setiap kali melakukan aksi. Hanya saja... Kalau info yang Ilen terima, Ilen punya satu tersangka utama", Erfly bicara pelan.

"Siapa...?", Nadhira kembali mengejar jawaban.

"Wiratama. Konglomerat disana, dia terkenal tanpa ampun, dan bersedia main sikut kanan kiri demi mencapai tujuannya. Yang menjadi pertanyaan Ilen, setahu Ilen dia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu", Erfly mengerutkan keningnya karena merasa bingung.

"Apa mungkin generasi penerusnya...?", Nadhira berusaha menebak.

Erfly mengangguk tidak yakin, "Bisa jadi, dia punya 3 orang anak. Anak paling tua Dirga, setahu Ilen sudah meninggal. Anak kedua Wika, kabar terakhir yang Ilen tahu dia menghilang tanpa kabar. Hanya tinggal anak bungsunya Wiratama, Candra...", Erfly menjelaskan panjang lebar.

"Lalu apa masalahnya...? Kenapa Ilen terlihat begitu tidak yakin...?", Nadhira kembali bertanya.

"Saat Ilen masih di Sungai Penuh, Candra pernah punya masalah dengan Cakya. Dan... Dia di penjara karena kasus pelecehan terhadap anak bungsu pak Jendral", Erfly kembali memberikan hipotesis yang membuat Nadhira kembali menjadi bingung.

"Terus... Kita harus bagaimana...?", Nadhira bertanya frustasi.

"Pesan tiket, kita berangkat malam ini juga ke Sungai Penuh. Ilen harus mencari tahu sendiri kebenarannya", Erfly bicara dingin, raut mukanya terlihat datar seperti biasanya.

Nadhira tidak berani berkutik lagi, selain melakukan tugas yang diperintahkan oleh Erfly. Nadhira segera meninggalkan ruangan kerja Erfly.

***

Erfly tidak banyak bicara selama perjalanan. Otaknya sibuk membuat kemungkinan yang akan terjadi.

Karena memesan tiket pesawat langsung, Erfly dan Nadhira bisa menghemat banyak waktu. Mereka mendarat di Bandara Hiang pada pukul 16.13 Wib.

Nadhira sengaja menghubungi kantor cabang di Sungai Penuh untuk menyiapkan mobil selama mereka berada di Sungai Penuh.

Erfly duduk dibangku penumpang belakang supir dengan ketenangan yang seperti biasa. Seperti seekor singa yang duduk dengan santai, akan tetapi siap bertempur kapan saja.

Erfly sudah menyerahkan sebuah alamat sebelum menaiki mobil, sehingga supir tidak banyak bertanya lagi, melainkan langsung menuju ke alamat yang dituju.

Butuh waktu hampir satu jam, sampai akhirnya mobil berhenti didepan sebuah rumah bergaya Belanda. Erfly segera bersiap untuk turun dari mobil.

Rumah ini memiliki halaman yang luas, dengan penuh pohon rindang. Hanya ada tanah kosong disekeliling rumah, membuat rumah itu dibuat begitu eksklusif.

Dari informan yang Erfly dapat terakhir kali, hanya ada penjaga rumah yang ada di rumah ini. Pemilik rumah sendiri sangat jarang pulang, entah karena alasan apa.

"Ilen yakin mau masuk kedalam...?", Nadhira bertanya pelan, sangat terlihat wajah khawatir kepada Erfly.

"Ilen harus masuk teh, g'ak ada pilihan lain", Erfly tetap pada pendiriannya semula.

Erfly meraih kruknya, kemudian melangkah keluar dari mobil. Langkahnya perlahan tapi pasti, menuju daun pintu yang mempunyai tinggi hampir 2 meter. Erfly mengetuk besi yang ada didaun pintu, agar memberi tanda orang di dalam rumah ada tamu yang sedang menunggu.

Sesaat setelah pintu diketuk oleh Erfly, seorang perempuan dengan menggunakan gaun hitam muncul dari balik daun pintu. Penampilannya terlihat sangat elegan, Erfly bisa menebak wanita ini menginjak umur 45 tahun. Akan tetapi wajahnya masih segar, walaupun terlihat beberapa helai rambut putih telah mulai muncul.

"Maaf, anda mencari siapa...?", perempuan itu bicara dengan anggunnya.

Erfly mengulurkan tangan kanannya, setelah perempuan itu menerima jabatan tangan Erfly. Dengan tegas Erfly menyebutkan namanya, "Saya Erfly, bisa bicara sebentar...?!", Erfly langsung ke intinya.

Perempuan yang ada dihadapan Erfly diam sejenak setelah melepaskan jabatan tangannya, "Silakan masuk", perempuan itu bicara pelan, kemudian mendahului Erfly masuk kedalam rumah.

"Silakan duduk", perempuan itu menawarkan, kemudian duduk dengan anggunnya disalah satu kursi yang ada tepat dihadapan Erfly.

"Terima kasih", Erfly menjawab sopan, kemudian duduk dengan setenang mungkin.

"Rumah anda bagus nyonya, jarang sekali saya menemukan rumah dengan gaya Belanda seperti ini", Erfly mulai dengan basa-basinya.

"Terima kasih", perempuan itu tersenyum mendengar pujian yang diberikan oleh Erfly.

"Ngomong-ngomong, di rumah sebesar ini... Anda tinggal sendiri nyonya...?", Erfly kembali melemparkan umpan pertanyaan, untuk mengorek informasi dari perempuan yang ada dihadapannya saat ini.

"Suami saya jarang pulang, dia bekerja diluar kota. Mengurus bisnis keluarga. Jadi... Saya tinggal bersama pembantu dan tukang kebun", perempuan itu bicara dengan wibawanya.

"Oh...", Erfly manggut-manggut pelan.

"Tadi... Katanya ada yang ingin di bicarakan dengan saya, kalau boleh tahu ada apa...?", perempuan itu balik melemparkan pertanyaan.

Erfly menyerahkan sebuah map kehadapan perempuan yang ada dihadapannya. Perempuan itu menerima dengan kening berkerut, kemudian perlahan membuka map yang diberikan oleh Erfly.

"Apa ini...?", perempuan itu bertanya bingung.

"Saya pernah melakukan kerjasama dengan perusahaan ini dalam proyek pengadaan furnitur. Akan tetapi setelah kerjasama 3 bulan yang lalu saya tidak bisa menghubungi pimpinan perusahaannya lagi. Dari seorang teman, saya mendapat kabar kalau pemilik perusahaan tersebut pindah ke alamat ini", Erfly menjelaskan panjang lebar dengan sangat hati-hati menjaga setiap kata yang keluar dari mulutnya.

"Saya belum pernah dengar nama perusahaan ini sebelumnya...", perempuan itu bicara bingung, kemudian menutup kembali map yang ada di hadapannya, kembali menyerahkan ketangan Erfly.

"Kalau boleh saya tahu, suami nyonya kerjanya apa...?", Erfly memberanikan diri untuk bertanya.

"Eksportir kopi dan teh, makanya jarang pulang kerumah. Karena harus mengecek sendiri pengiriman barang, bahkan harus turun langsung kelapangan untuk menjamin kualitas bahan baku", perempuan itu menjelaskan panjang lebar.

"Kalau begitu, mungkin informan saya yang salah. Saya minta maaf sudah mengganggu waktu anda nyonya", Erfly segera menyudahi pertemuannya dengan perempuan yang ada dihadapannya saat ini.

"Iya tidak apa-apa", perempuan itu bicara disela senyumnya.

"Kalau begitu saya permisi nyonya", Erfly mohon diri.

"Saya belum menyuguhkan apa-apa ini...", perempuan itu tiba-tiba enggan melepaskan Erfly pergi.

"Tidak perlu repot-repot nyonya. Saya harus mencari kemana alamat teman saya pindah. Permisi nyonya, selamat sore", Erfly langsung berlalu meninggalkan rumah bergaya Belanda itu.

Erfly melangkah perlahan dengan dibantu kruknya menuju mobil, kemudian duduk dengan tenang dibangku belakang supir. Muka Erfly terlihat rumit, sekaligus menakutkan. Nadhira tetap duduk manis, tidak berani mengeluarkan suara sedikitpun.