webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
251 Chs

Dek...

Erfly kembali meletakkan HPnya keatas meja dengan lembut. Sebelum Gama bisa angkat bicara, Erfly sudah mempersilakan Gama untuk makan terlebih dahulu.

Erfly konsentrasi dengan makanan yang ada dihadapannya, menit berikutnya Nadhira muncul entah dari mana.

"Assalamu'alaikum...", Nadhira bicara dengan nafas yang terengah-engah.

"Wa'alaikumsalam...", Gama dan Erfly menjawab hampir bersamaan.

"Duduk, langsung makan saja teh", Erfly memberikan perintah.

Nadhira tidak menjawab hanya mengangguk pelan, detik berikutnya Nadhira sudah duduk disamping Erfly dan ikut menghabiskan pesanan makanan yang memenuhi meja.

Setelah makan, HP Erfly kembali berdering. Erfly dengan lembut menerima telfon yang masuk, menempelkan HPnya kedaun telinganya yang tertutup jelbab.

Erfly tidak bicara sepatah katapun, menit berikutnya Erfly menutup hubungan telfon. Kemudian memasukkan HP kedalam saku roknya.

"Dek...", Gama tidak bisa menyelesaikan ucapannya, karena Erfly kembali menyela.

"Maaf bang, Erfly harus pergi sekarang", Erfly meraih kruknya.

"Teteh tolong antarkan bang Gama ke Hotelnya. Makanannya Erfly yang bayar, sekalian keluar...", Erfly memberikan perintah sebelum meninggalkan posisinya semula.

"Baik...", Nadhira mengangguk patuh.

Detik berikutnya Erfly sudah menghilang dari kafe.

***

Wulan masih saja mondar-mandir seperti setrikaan didalam kamarnya. Sudah dari pagi Wulan uring-uringan karna tidak bisa menghubungi Candra.

Terdengar suara ketukan pintu, sesaat sebelum ibunya muncul dari balik daun pintu.

"Kamu belum tidur nak...?", ibunya bertanya lembut, kemudian duduk disamping Wulan yang telah terlebih dahulu duduk sesaat setelah melihat ibunya memasuki kamar.

"Candra ma...", Wulan merengek seperti anak kecil yang diambil mainannya.

"Kenapa sama Candra...?", ibunya bertanya lembut.

"Dari pagi tidak ada kabar", Wulan kembali melanjutkan ucapannya.

"Mungkin dia lagi sibuk, banyak kerjaan dikantornya", ibunya berusaha menenangkan putri semata wayangnya.

"G'ak biasanya dia seperti ini. Biasanya sesibuk apapun, Candra pasti menyempatkan untuk memberi kabar", Wulan kembali protes.

Ibunya mengusap pelan pucuk kepala Wulan, "Kamu harus ngertiin Candra. Beri dia ruang untuk menikmati dirinya sendiri. Jangan terlalu mengekang kebebasan Candra. Sebagai seorang calon istri yang baik, kamu harus kasih kepercayaan penuh sama Candra.

Kalau kamu masih curiga sama Candra, itu tandanya kamu g'ak sesayang itu sama Candra", ibunya memberikan nasehat kepada putri satu-satunya ini.

Wulan tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sebagai tanda kalau dia mengerti.

"Sudah larut, sebaiknya kamu tidur", ibunya memberikan kecupan dikening Wulan, sebelum pergi meninggalkan Wulan setelah mematikan lampu kamar Wulan.

Ibu Cakya melangkah menuju kamarnya sendiri untuk beristirahat.

"Ada apa...?", suaminya menyambut dengan pertanyaan lembut.

"Wulan... Lagi uring-uringan, seharian Candra tidak bisa dihubungi katanya", ibu Cakya bicara lembut, saat menaiki kasur.

"Virus merah jambu...", ayah Cakya tertawa renyah, yang diikuti tawa dari istrinya.

"Abang apa kabarnya ya...?", ibu Cakya bicara pelan, kemudian meraih HPnya untuk melihat kalau-kalau ada panggilan dari Cakya yang masuk.

Akan tetapi wajahnya langsung sedih, saat tidak ada satupun wa ataupun panggilan telepon yang masuk dari Cakya.

Ayah Cakya meraih HP istrinya, kemudian kembali meletakkannya keatas meja kecil disamping tempat tidur.

"Sudah malam, Abang sudah besar, jangan terlalu dipikirkan. Dia sudah bisa jaga dirinya sendiri", ayah Cakya melapangkan hati istrinya.

"Biar bagaimanapun, tetap saja abang putra sulung mama yang kecil pa...", ibu Cakya bicara dengan suara tercekat.

Bagi seorang ibu, tetap saja seberapa dewasa anaknya, dia tetap saja anak-anak dimatanya. Anak yang selalu akan dia jaga seumur hidupnya.

***

Cakya duduk diteras rumah, masih menikmati rokoknya yang terselip disela jemari tangan kirinya. Beberapa kali Cakya menghela nafas berat.

Tatapannya kosong menatap jauh kedepan. Entah sudah berapa jam Cakya berada di posisi seperti itu.

Suara azan subuh berkumandang saat Cakya berhasil menghabiskan tegukan kopinya yang terakhir. Cakya menghentikan seorang lelaki setengah baya yang berniat ingin keluar dari pagar rumah.

"Pak, mau kemana...?", Cakya bicara setengah berteriak.

"Masjid nak...", lelaki setengah baya itu menjawab sopan.

"Saya ikut pak", Cakya bicara pelan, kemudian melangkah bersama lelaki setengah baya itu menuju masjid terdekat.

Setelah sholat subuh berjamaah, Cakya tidak berniat untuk beranjak dari posisinya semula. Lelaki setengah baya yang tadi berjalan bersama Cakya duduk disamping Cakya.

"Sebenarnya ada apa nak...?", lelaki setengah baya itu bertanya pelan.

Cakya hanya menggeleng pelan, "G'ak ada apa-apa pak", Cakya memaksakan senyumnya.

"Tidak biasa-biasanya kamu menginap disini, biasanya kamu hanya ziarah sebentar, terus pulang lagi ke Sungai Penuh", lelaki setengah baya itu bicara pelan.

"Cakya lagi capek saja pak, g'ak kuat kalau harus langsung pulang", Cakya menjawab sekenanya.

"Sudah siang sepertinya, sebaiknya kita pulang. Istri saya katanya tadi mau bikin sarapan", lelaki setengah baya itu menawarkan Cakya agar kembali kerumah.

Cakya hanya mengangguk pelan sebagai tanda setuju.

Benar saja, sesampainya dirumah makanan sudah tersedia diatas meja makan.

"Ayo dimakan nak, seadanya", lelaki setengah baya itu menawarkan.

"Ini bukan seadanya pak, ini ada semua namanya", Cakya kembali memaksakan senyumnya.

Setelah menyelesaikan makannya, Cakya kembali memilih untuk duduk diteras rumah ditemani rokoknya. Lelaki setengah baya itu datang menghampiri Cakya dengan tergesa-gesa.

"Nak... Maaf, istri saya baru cerita...", lelaki setengah baya itu bicara dengan nafas yang terengah-engah.

"Ada apa pak...?", Cakya duduk dengan posisi siaga.

Lelaki setengah baya itu duduk di bangku disamping Cakya yang masih kosong.

"Seminggu yang lalu, ada perempuan yang datang ziarah ke makamnya Asri. Dan... Dia menitipkan surat untuk nak Cakya", lelaki setengah baya itu bicara dengan muka yang antusias.

"Siapa pak...?", Cakya bertanya penuh tanya, berharap kalau itu Erfly.

"Aduh... Bapak lupa namanya. Tapi... Dia pernah kesini waktu itu yang ketemu nak Gama dan nak Cakya...", lelaki setengah baya itu kembali memutar ingatannya.

"Erfly...? Butterfly...?", Cakya kembali berusaha memanggil ingatan lelaki setengah baya yang ada dihadapannya.

"Apa iya-ya...?", lelaki setengah baya itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Cakya segera meraih HPnya, kemudian membuka layar HPnya yang terkunci. Terlihat foto Cakya dan Erfly begitu kunci layar HP dibuka.

"Ini bukan pak...?", Cakya menyodorkan HPnya kehadapan lelaki setengah baya itu.

Lelaki setengah baya itu menatap dengan teliti layar HP Cakya, "Iya, ini dia orangnya", lelaki setengah baya itu bicara dengan keyakinan penuh. Kemudian kembali menyerahkan HP Cakya kembali ke yang punya.

"Astagfirullah halazim....", Cakya mengusap mukanya dengan kasar, karena frustrasi menahan amarah.

Cakya kehabisan kata-kata untuk diucapkan. Pontang-panting mencari jejak keberadaan Erfly, malah dia menemukan titik terang kabar tentang Erfly saat dia memutuskan untuk ziarah ke makamnya Asri. Tahu begitu, kenapa tidak dari kemarin-kemarin saja dia kesini. Mana tahu Cakya bisa langsung bertemu dengan Erfly.

"Maaf, bapak bilang tadi dia menitipkan surat buat saya...?", Cakya kembali mengejar petunjuk yang baru saja dia peroleh dari lelaki setengah baya itu.

"Oh... Iya, itu... Lagi dicari sama istri saya nak...", lelaki setengah baya itu bicara pelan.