Sesuai rencana, keesokan paginya Cakya berangkat ke Garut sendirian mencari Erfly. Cakya hanya diantar oleh Gama menuju bandara.
Setelah pesawat Cakya lepas landas, Gama memutuskan untuk kembali kerumah Cakya. Setelah mengucap salam, dan tidak ada jawaban dari dalam rumah, Gama menyisir tatapannya kesegala penjuru rumah.
"Om... Kapan nyampe...?", Wulan bertanya begitu muncul dari arah dapur.
"Baru aja, pada kemana...? Sepi amat...?", Gama malah balik bertanya.
"Mama ke toko, Tio g'ak tahu kemana, paling juga main", Wulan menjawab pelan, kemudian meletakkan masakan yang dia bawa dari arah dapur.
"Papa mana...?", Gama kembali bertanya.
"Tadi udah pulang sih. Diteras kali Om", Wulan menjawab santai, kemudian mengaduk nasi yang ada di dalam magicom.
Gama melangkah perlahan menuju teras rumah, yang berada di pintu samping. Benar saja, ayah Cakya sedang menghisap rokok dalam.
"Bang...", Gama bicara pelan, membuyarkan lamunan ayahnya Cakya.
"Eh... Kamu Gam. Udah berangkat Cakya...?", ayah Cakya bertanya pelan, kembali menghisap rokoknya yang terselip disela jemari tangan kirinya.
"Udah bang", Gama menjawab pelan, kemudian duduk di salah satu bangku yang bisa dia raih.
Ayah Cakya hanya mengangguk pelan.
"Kenapa bang...?", Gama memberikan diri untuk bertanya.
"Hem... Apanya...?", ayah Cakya mengerutkan keningnya karena tidak mengerti kemana arah tujuan omongan Gama.
"Abang kenapa...? Sepertinya lagi ada masalah, g'ak mungkin semata-mata hanya karena Cakya sajakan...?", Gama kembali berusaha menebak.
"Usaha abang ada sedikit masalah", ayah Cakya angkat bicara.
"Masalah...?", Gama bertanya bingung.
Ayah Cakya mengangguk pelan, "Namanya juga usaha Gam. Ada-ada saja kendalanya disana-sini", ayah Cakya tertawa renyah, menghibur diri sendiri.
"Kalau mau cerita boleh bang, barangkali Gama bisa bantu", Gama menawarkan diri untuk membantu ayah Cakya.
"Kamu tahulah bisnis furnitur abang butuh dana yang tidak sedikit. Dan... Investor abang menarik dananya, tidak mau melanjutkan kerjasamanya", ayah Cakya memijit pelan keningnya yang terasa pening.
"Kok bisa mereka membatalkan kerjasama begitu saja...?", Gama kembali bertanya untuk melepaskan rasa penasarannya.
"Bisalah Gam. Mereka punya duit. Katanya kerjasama ini g'ak terlalu memberikan keuntungan yang signifikan.
Abang minta waktu selama 3 bulan kedepan, untuk membuktikan kalau bisnis ini sangat menjanjikan. Tapi... Mereka g'ak mau sabar.
G'ak tahulah Gam. Padahal, usahanya abang lagi butuh kucuran dana segar.
Kerjasama abang dengan pihak Korea sudah di Acc. Kamu tahu saja mereka cara kerjanya bagaimana, mereka tidak akan kirim uang sebelum barang masuk. Mereka g'ak mau ambil resiko Gam", ayah Cakya bicara dengan nada putus asa.
"Abang g'ak coba mengajukan pinjaman ke Bank...?!", Gama kembali bertanya pelan.
"Udah Gam. Tapi... Ditolak, katanya belum ada bantuan dana hibah untuk mikro usaha", ayah Cakya kembali mengeluh.
"Abang butuh dana berapa...?!", Gama memberanikan diri untuk bertanya.
"Lumayan Gam. 150 juta, untuk sampai produksi. Paling g'ak abang harus punya 30 juta besok pagi, abang harus bayar uang beli bahan baku, akar teh. Kalau besok abang g'ak bayar, mereka akan lepas ke orang lain. Abang g'ak tahu lagi harus nyari bahan baku dimana lagi.
Kalau mau ngambil dari luar kota, kamu tahu sendiri modalnya makin gede. Abang bakal susah jualnya", ayah Cakya bicara dengan nada suara paling pelan.
"Hem.... Gama ada simpanan 80 juta di Bank. Rencananya Gama mau bangun yang dekat kampus untuk nambah kos-kosan.
Tapi... Kalau abang memang butuh, abang bisa pakai dulu saja", Gama menawarkan pertolongan.
Ayah Cakya langsung menatap Gama dengan mata berbinar, "Kamu beneran Gam...?", ayah Cakya kembali meyakinkan kalau dia tidak salah dengar.
"Benar bang, kalau mau, besok pagi Gama ke Bank ambil uang tunai", Gama kembali meyakinkan ayah Cakya.
"Tapi... Abang g'ak bisa janji, bakal balikin dalam waktu dekat Gam", ayah Cakya bicara sanksi.
"Pakai aja dulu bang, masa sama keluarga sendiri hitung-hitungan", Gama melemparkan senyum terbaiknya kepada ayah Cakya.
***
Cakya baru saja mendarat saat azan Zuhur berkumandang. Cakya melangkah perlahan menuju parkiran bandara, untuk mempersingkat waktu, Cakya sengaja mencarter taxi.
Tujuan pertama Cakya menuju rumah Erfly. Setelah mengucap salam beberapa kali, tidak ada jawaban Cakya memutuskan untuk bertanya kerumah tetangga.
"Bang Cakya...?", Salwa yang baru pulang kuliah berpapasan saat Cakya mau keluar pagar rumah.
"Erfly...", Cakya tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena Salwa sudah menyela terlebih dahulu.
"Masuk bang, saya buatkan minum", Salwa menawarkan.
Cakya menerima tawaran Salwa tanpa protes. Cakya mengikuti Salwa tepat dibelakang Salwa, begitu sampai diteras rumah, Cakya duduk disalah satu kursi yang ada.
Salwa masuk kedalam rumah, sesaat kemudian keluar dengan membawa jeruk panas kesukaan Cakya.
"Minum dulu bang", Salwa bicara pelan, setelah duduk dihadapan Cakya.
Cakya mengikuti ucapan Salwa, meneguk minuman buatan Salwa. Setelah minum, Cakya kembali meletakkan gelas keatas meja.
Salwa menarik nafas panjang sebelum memulai ucapannya.
"Awalnya Ilen pamit ke Sungai Penuh, katanya ada masalah sama perusahaan cabang disana.
Sehari setelahnya, Ilen dan bu Nadhira tidak bisa dihubungi.
Bahkan... Salwa sudah beberapa kali ke klinik dokter Alfa, awalnya Salwa pikir dokter Alfa pasti tahu sesuatu.
Akan tetapi... Dari stafnya dokter Alfa, Salwa tahu kalau klinik dokter Alfa sudah diserahkan kepada teman semasa kuliahnya.
Kata stafnya dokter Alfa, dokter Alfa ke luar negri, dia dapat tawaran jadi pengajar di kampus kedokteran ternama", Salwa menjelaskan panjang lebar.
Cakya tidak merespon ucapan Salwa.
"Salwa tidak tahu kenapa, akan tetapi... Salwa yakin akan satu hal, pasti terjadi apa-apa saat Ilen di Sungai Penuh. Tapi... Salwa tidak tahu apa", Salwa menggantung ucapannya.
Cakya mengeluarkan rokok dari saku celananya, kemudian segera menghisapnya dalam.
"Ilen bukan orang yang suka pergi tanpa memberitahu. Kalau sekarang dia tiba-tiba menghilang, kalau Salwa boleh saran... Bang Cakya lebih baik melanjutkan hidup. Ikhlaskan Ilen bang", Salwa tiba-tiba bicara diluar dugaan Cakya.
Cakya spontan mengalihkan tatapannya menatap lekat wajah Salwa penuh tanya.
"Abang berhak untuk bahagia, dan melanjutkan hidup. Ada ataupun tanpa Ilen", Salwa bicara lirih.
Cakya tidak berlama-lama dirumah Erfly, kemudian Cakya memutuskan untuk pergi menuju kafe Erfly. Mencari petunjuk jejak keberadaan Erfly disana.
"Bang Cakya...?!", manajer kafe yang baru saja datang menghampiri Cakya.
Cakya hanya membalas tersenyum kearah lelaki muda yang ada dihadapannya saat ini.
"Abang cari Ilen...?", lelaki muda itu langsung menebak tujuan kedatangan Cakya ke Kafe.
"Kamu tahu keberadaan Erfly...?!", Cakya langsung mengejar jawaban.
Lelaki itu memilih duduk disalah satu kursi yang paling dekat dari posisinya berada saat ini. Cakya segera mengekor duduk dihadapan lelaki muda itu.
Lelaki itu menggeleng pelan, "Tidak ada satupun yang bisa menghubungi Ilen. Bahkan saya pernah meminta bantuan dari hacker teman satu kampus saya, untuk mencari info keberadaan Ilen. Dari nomor HP, ATM, kartu kredit. Hasilnya nihil bang.
Saya bahkan mengecek dokter Alfa dan bu Nadhira. Semua sama saja, nihil bang.
Tidak ada satupun stransaksi yang terjadi dari ATM ataupun kartu kredit. Bahkan nomor HP mereka tidak bisa dilacak satupun", lelaki muda itu bicara putus asa.
Cakya kehabisan kata-kata, tidak tahu harus merespon seperti apa.
Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan di Garut. Sehingga Cakya memilih menukar tiketnya dengan penerbangan paling akhir dihari yang sama keberangkatannya ke Garut.
Cakya duduk disamping kaca, begitu pesawat lepas landas. Cakya berbisik lirih pada dirinya sendiri.
"Cakya menyerah pada keadaan yang tidak memihak kepada Cakya kali ini", Cakya bicara pasrah.