Dimas segera dilarikan ke rumah sakit DKT, karena jarak rumah sakit DKT yang paling dekat dari kampus Cakya. Begitu masuk UGD, Dimas langsung ditangani oleh beberapa dokter sekaligus.
HP Dimas berteriak minta diangkat, dengan ragu-ragu Cakya mengangkat telfon yang masuk. Cakya hanya menempelkan HP ke daun telinganya, tanpa membuat suara sedikitpun.
"Dimas... Kamu dimana...? Pesawat sudah mau berangkat ini...", terdengar suara perempuan dari ujung lain telfon.
"Dimas lagi mendapat perawatan di UGD rumah sakit DKT", Cakya menjawab apa adanya.
Hubungan telfon langsung terputus, Cakya kembali memasukkan HP Dimas kedalam tas milik Dimas.
Cakya memilih untuk duduk dibangku yang bisa dia raih, tatapannya fokus menatap 2 amplop putih yang ada di genggaman tangannya. Amplop yang semula putih bersih, kini ada bercak merah, terkena percikan muntah darah Dimas.
Cakya masih bimbang apa yang harus dia lakukan, haruskah dia menelfon bu Nanya agar tahu keadaan Dimas yang sebenarnya. Sejenak Cakya berpikir keras, saat dokter Firman muncul dari balik pintu UGD.
"Dokter...", Cakya langsung menghampiri dokter Firman.
"Apa kamu bisa menghubungi wali pasien...?", dokter Firman bertanya pelan.
Sebelum Cakya menjawab pertanyaan dokter Firman, seorang wanita telah menyela pembicaraan mereka.
"Saya dokter pribadinya Dimas", perempuan muda itu bicara dengan nafas terengah-engah.
Cakya mengerutkan keningnya, kalau benar ini perempuan yang bicara dengannya di telfon, bagaimana mungkin dia sudah ada dihadapannya saat ini? Bukankah dia tadi sedang di Bandara...?
"Oh... Pasien...", ucapan dokter Firman kembali terputus, karena perempuan itu sudah kembali menyela.
"Bisa saya minta waktunya sebentar...? Ada yang ingin saya bahas dengan dokter", perempuan itu meminta dengan sangat sopan.
Dokter Firman menatap Cakya sekilas, kemudian menuntun perempuan itu menuju ruangannya. Setelah mempersilakan perempuan itu untuk duduk dokter Firman memasang muka serius untuk mendengarkan ucapan perempuan yang ada dihadapannya.
Perempuan itu mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya, kemudian menyerahkan ketangan dokter Firman.
Dokter Firman membaca tulisan yang ada dikertas dengan teliti. "Jadi benar dugaan saya, pasien mengalami kanker Hati...?!", dokter Firman bertanya sanksi.
"Iya, sejak 6 bulan yang lalu pasien dibawah pengawasan saya", perempuan itu bicara lembut, matanya menahan kesedihan yang teramat dalam.
Kemudian perempuan itu menyerahkan sebuah amplop lagi kehadapan dokter Firman. Sesaat dokter Firman diam membaca tulisan yang ada dikertas.
"Astagfirullah, ini surat DNR...?", dokter Firman bertanya tidak percaya.
"Iya, bahkan pasien menolak untuk menjalani operasi ataupun kemoterapi", perempuan itu bicara lirih.
Dokter Firman kehabisan kata-kata, setelah mendengar penjelasan perempuan yang ada dihadapannya.
***
Cakya akhirnya memutuskan untuk menghubungi bu Nanya, hanya butuh waktu 15 menit. Bu Nanya, dan 3 orang yang kemarin menjenguk bu Nanya saat dirawat muncul dirumah sakit dengan wajah panik.
"Dimana Dimas...?", perempuan setengah baya itu bicara dengan air mata yang membanjiri pipinya.
"Lagi ditangani dokter", Cakya menjawab sekenanya.
Pintu UGD terbuka, dan Dimas didorong menggunakan kasur UGD. Tubuhnya terbaring tak berdaya diatas tempat tidur, pemandangan itu sontak membuat tangis perempuan setengah baya itu pecah seketika.
Tidak ada aba-aba, Cakya mengikuti bu Nanya dan keluarga Dimas menuju ruang rawat. Setelah Dimas masuk keruangan, Dimas langsung dipasang infus. Tatapan Cakya tidak sengaja menatap ke pintu yang terbuat dari kaca, Cakya menangkap seluet perempuan yang tadi ditemuinya didepan pintu UGD.
Cakya pamit keluar, dengan alasan mencari minuman dingin.
"Maaf bu Dokter, kenapa anda tidak masuk...?", Cakya bertanya pelan, bingung dengan tingkah perempuan muda ini, tadi dia panik setengah mati, akan tetapi sekarang dia bahkan tidak mau masuk hanya sekedar melihat keadaan Dimas.
"Dimas sudah bersama orang yang tepat", perempuan itu bicara lirih.
Cakya mengerutkan keningnya sebagai jawaban dia tidak mengerti dengan ucapan perempuan yang ada dihadapannya saat ini.
"Dimas tidak butuh dokter, untuk saat ini, keluargalah yang paling dia butuhkan", perempuan itu bicara pelan, air matanya menetes tanpa permisi.
***
Perlahan Dimas mulai sadar, mukanya pucat pasi seperti mayat hidup. Tatapannya nanar menatap orang yang dia kasihi ada dihadapannya, serasa mimpi dia melihat pemandangan yang indah ini.
"Nak... Kamu sudah sadar...?", perempuan setengah baya itu mengusap lembut pucuk kepala Dimas, air matanya tak henti-hentinya untuk keluar.
Dimas kembali batuk, bahkan dengan susah payah Dimas berusaha untuk bangkit dari posisi tidur. Dimas menoleh kearah lain, dan kembali memuntahkan darah segar.
"Dimas...!!!", perempuan setengah baya itu berteriak ngeri.
Dimas kembali merebahkan tubuhnya kasar diatas tempat tidur, nafasnya mulai terasa sesak. "Allah...", Dimas bicara lirih, kemudian menutup matanya.
"Dimas....!!! Dimas....!!! Bangun nak...!!!", kali ini lelaki dengan rambut yang mulai memutih yang berteriak panik.
Nanya segera berlari keluar ruang rawat inap, berteriak memanggil dokter. Spontan perempuan yang bersama Cakya berlari menerobos masuk keruang rawat inap Dimas.
Perempuan itu mengeluarkan alat medisnya dari dalam tas yang dia bawa, sesaat kemudian dokter Firman datang bersama beberapa suster. Perempuan itu menghentikan kegiatannya, kemudian menangis tertahan.
"Maaf buk, bapak, kita sudah berusaha. Akan tetapi yang diatas berkata lain", dokter Firman bicara dengan nada paling rendah.
"Waktu kematian 16.03 wib", perempuan yang ada dihadapan dokter Firman bicara pelan disela tangisnya.
"Dimas....!!!", perempuan setengah baya berteriak histeris menangisi kepergian putranya.
Dwi lebih memilih memeluk bu Nanya, dan menangis tertahan didada bu Nanya.
***
Dimas segera dimakamkan, setelah pemakaman selesai. Semua memutuskan untuk kembali kerumah.
Cakya menghampiri bu Nanya yang kebetulan duduk sendirian disudut rumah.
Nanya menatap lembut wajah Cakya, saat sadar Cakya menghampirinya.
Cakya memilih duduk tidak jauh dari bu Nanya, kemudian Cakya meletakkan sebuah amplop dilantai, kemudian mendorongnya kehadapan bu Nanya dengan jemarinya.
"Sebelum dilarikan kerumah sakit, almarhum menitipkan surat ini untuk bu Nanya", Cakya bicara pelan.
Kemudian Cakya kembali menyerahkan sebuah amplop lagi, "Dan ini... Almarhum berpesan untuk disampaikan kepada keluarganya, Cakya titip ibu saja untuk menyampaikan ke pihak keluarga", Cakya bicara pelan.
"Terima kasih...", bu Nanya bicara lirih, dengan gerakan pelan, bu Nanya meraih kedua amplop yang diberikan oleh Cakya.
***
Erfly melangkah perlahan menyusuri bibir pantai. Langkahnya tiba-tiba goyah, saat salah satu kruknya terpeleset karena menginjak batu yang berguling.
Erfly spontan kehilangan keseimbangan, tubuhnya limbung seketika. Erfly memejamkan matanya, sudah siap untuk jatuh keatas pasir.
Erfly kembali membuka matanya, saat sadar kalau tubuhnya tidak jadi mendarat bebas diatas pasir. Melainkan muka Erfly mendarat didada bidang seorang lelaki.
Perlahan Erfly membuka matanya, dan melihat siapa yang telah menolongnya.
"Cakya, kok bisa disini...?", Erfly bertanya bingung.
"Kangen, sama cewek jahil yang satu ini", Cakya bicara dengan senyum yang melebar menghiasi bibirnya.
Erfly malah memukul pundak Cakya, "Apaan sih...", Erfly salah tingkah.
Cakya bukannya marah malah tertawa geli melihat Erfly salah tingkah.