Wulan duduk tepat disamping kursi Cakya, tatapannya tertunduk menatap lantai rumah. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Cakya. Suasana tiba-tiba terasa mencekam.
Cakya menatap piring kosong yang ada dihadapannya. Detik berikutnya menarik nafas dalam, sebelum mulai bicara.
"Kalau mau bicara jujur, Cakya g'ak respek sama Candra. Bisa jadi itu karna pertemuan kita yang kurang baik dimasalalu", Cakya membuka percakapan dengan nada paling dingin.
Wulan mengalihkan tatapannya menatap lekat wajah kakak lelakinya yang ada tepat dihadapannya saat ini, air mata Wulan menyerbu ingin keluar dari bola matanya. Hatinya terasa diserang dengan tumpukan batu besar, sehingga membuat dadanya sesak mendengarkan ucapan Cakya barusan. Seolah itu menjadi hukuman mati untuk hubungannya dan Candra.
"Kalau untuk saat ini, kalau Wulan meminta Cakya untuk menerima Candra ditengah keluarga kita. Cakya g'ak bisa", Cakya kembali melanjutkan ucapannya.
Baik Wulan ataupun ibunya, tidak ada satupun yang berani membantah ucapan Cakya. Wajah Cakya terlihat datar tanpa ekspresi, ucapannya dingin langsung menusuk ke tulang belulang. Bahkan ibunya sendiripun bergindik ngeri mendengarkan ucapan putra sulungnya.
"Cakya g'ak bisa janji bagaimana untuk kedepannya, Cakya juga g'ak yakin apa penilaian Cakya akan berubah nantinya, tapi... Cakya akan berusaha mengenal Candra lebih dekat. Bawa dia main kerumah", Cakya menyelesaikan ucapannya, tatapan Cakya beralih menatap wajah adik perempuannya.
"Jadi...", Wulan bicara tercekat, karena air mata sudah menyerbu ingin keluar.
Cakya mengangguk pelan.
Wulan langsung menyerbu kepelukan Cakya, "Terima kasih bang", Wulan bicara disela tangisnya yang menjadi.
Cakya melepaskan pelukannya, kemudian menghapus lembut jejak air mata Wulan. Ibu Cakya tersenyum melihat kasih sayang yang di pertontonkan oleh dua buah hati yang ada dihadapannya saat ini.
"Cakya laper", Cakya tiba-tiba bicara pelan.
Ibu Cakya dan Wulan langsung tertawa kecil. Kompak ibu dan anak itu menyeka cepat air matanya.
"Maaf...", Wulan bicara pelan, kemudian mengisi piring Cakya dengan nasi goreng dan telur mata sapi setengah matang kesukaan Cakya.
Ibu Cakya segera mengisi gelas Cakya dengan air, kemudian menyerahkan kehadapan Cakya.
"Terima kasih", Cakya bicara pelan, kemudian mulai konsentrasi penuh untuk menghabiskan makanannya.
***
Erfly memakai kacamata, dengan serius membaca proposal kerjasama yang ada dihadapannya. Sudah hampir 3 jam Erfly tidak beranjak dari posisinya semula. Berkas-berkas berserakan diatas meja kerja Erfly.
Terdengar suara ketukan pintu. "Masuk...", Erfly bicara setengah berteriak.
Salwa muncul dari balik pintu, membawa segelas jeruk panas pesanan Erfly.
"Maaf, mau ditaro dimana...?", Salwa bertanya lembut.
"Diatas meja sana saja mbak", Erfly menunjuk meja yang ada di dekat sofa, biasa Erfly menerima tamu.
Salwa tidak protes, melakukan perintah Erfly dengan patuh.
"Terima kasih mbak", Erfly bicara pelan, sembari membuka berkas yang ada dihadapannya.
Salwa melangkah dengan hati-hati menuju daun pintu, sebelum akhirnya Erfly kembali memanggil.
"Em... Mbak...", Erfly bicara setengah berteriak.
"Ya... Ilen butuh apa lagi...?", Salwa bertanya dengan santun.
Erfly membuka kacamatanya. "Mbak... Bukannya ada jadwal kuliah hari ini...?", Erfly bertanya bingung, berusaha memastikan ingatannya.
"Di liburkan, dosennya keluar negri, menyelesaikan ujian S3-nya. Jadi... Hanya menyerahkan tugas saja minggu depan", Salwa menjelaskan panjang lebar.
"Em...", Erfly mengangguk perlahan. "Mbak masih ada kerjaan lain...?", Erfly kembali bertanya.
"Pekerjaan dibelakang sudah selesai...", Salwa menjawab bingung, tidak mengerti dengan arah pembicaraan Erfly sebenarnya.
"Kalau g'ak ada kerja lagi, Ilen bisa minta tolong...?", Erfly bertanya lagi.
"Ilen perlu apa...?!", Salwa bertanya dengan antusias.
"Mbak sini deh, duduk dulu", Erfly memberi isyarat dengan mulutnya, agar Salwa duduk dihadapannya.
Salwa mengikuti perintah Erfly, duduk manis tepat dihadapan Erfly.
Erfly menyodorkan beberapa map kehadapan Salwa.
"Apa ini...?", Salwa bertanya bingung.
"Mbak baca, terus... Nanti kasih tahu Erfly, mbak lebih tertarik sama yang mana...?!", Erfly memberi arahan.
"Tapi... Ini...", Salwa kelabakan, tidak yakin dengan perintah yang diberi oleh Erfly.
Erfly menatap Salwa dengan mata Elangnya. Nyali Salwa langsung ciut, dan mengerjakan tugasnya dengan baik. Salwa membaca map yang ada dihadapannya satu persatu dengan teliti.
Erfly mengayuh kursi rodanya dengan perlahan menuju gelas jeruk panasnya, kemudian meraih gelas jeruk panas buatan Salwa. Erfly bersandar nyaman di punggung kursi rodanya. Otaknya terasa panas karena membaca berkas yang ada di atas meja.
Selama ini Nadhira yang menyelesaikan urusan kantor, Erfly hanya tahu beres saja. Karena Nadhira sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya, Erfly sengaja memberikan Nadhira cuti selama 2 minggu. Akan tetapi, belum juga lewat 1 minggu, kepala Erfly terasa mau pecah, setiap hari disodorkan dengan berkas-berkas laporan dan berkas-berkas proposal yang selalu datang silih berganti.
30 menit kemudian Salwa sudah menetapkan pilihannya. Erfly kembali mengayuh kursi rodanya untuk kembali ketempat semula.
"Bagaimana mbak...?!", Erfly bertanya langsung pada intinya.
Salwa mendorong map yang dia pilih ke hadapan Erfly.
Erfly meraih map yang di berikan oleh Salwa, membaca sekilas berkas yang ada di dalam map.
"Kenapa mbak milih yang ini...?", Erfly bertanya pelan, menatap lekat wajah Salwa.
"Dari latar belakang perusahaannya, perusahaan itu berdiri karena mau menampung anak jalanan dan merangkul kalangan bawah.
Selama ini kan Ilen menjalankan perusahaan dengan misi yang hampir sama, contohnya kerjasama properti.
Ilen membangun perumahan mewah, sebagian keuntungan dari penjualan rumah mewah, Ilen sengaja bangun rumah untuk masyarakat kalangan bawah, rumah nyaman dengan harga terjangkau.
Setidaknya... Perusahaan yang ini bukan hanya mengejar keuntungan semata, tapi... Dia juga membantu banyak orang nantinya", Salwa menjelaskan panjang lebar.
Erfly tersenyum penuh makna mendengar penjelasan Salwa.
"Mbak, bisa tolong rapikan kertas yang ada diatas meja Ilen...? Ilen udah tahu harus milih yang mana", Erfly tersenyum dengan lebar.
Salwa masih belum mengerti sepenuhnya dengan ucapan Erfly, akan tetapi Salwa tetap mengerjakan perintah Erfly. Dalam sekejap meja Erfly sudah kembali rapi, Erfly meletakkan map yang dia pegang kedalam laci meja. Setelah yakin mengunci laci meja dengan benar, Erfly kembali menatap wajah Salwa.
"Mbak masak apa...?", Erfly tiba-tiba bertanya.
"Ah...", Salwa bengong. Tidak yakin dengan apa yang didengarnya barusan.
"Ilen laper", Erfly bicara lagi, memperjelas pertanyaan sebelumnya.
Salwa menatap jam yang tergantung di dinding 10.08 Wib. Tidak biasa-biasanya Erfly mau makan jam segini. Salwa menggaruk kepalanya, bingung harus menjawab apa.
Erfly meraih HPnya kemudian menekan salah satu nomor.
"Assalamu'alaikum, Ilen menuju ke Kafe. Siapin makanan untuk 4 orang", Erfly memberi perintah, detik berikutnya Erfly langsung mengakhiri hubungan telfon. "45 menit lagi Ilen sampai, Assalamu'alaikum", Erfly mengakhiri hubungan telfon.
Erfly mengalihkan tatapannya kepada Salwa. "Mbak siap-siap, kita makan diluar. Beritahu juga siapin mobil", Erfly kembali memberikan perintah.
Salwa hanya mengangguk pelan, kemudian berlalu dari hadapan Erfly secepat kilat.
***
Erfly beralih menggunakan kruknya, melangkah menuju teras rumah. Salwa yang berniat mengunci pintu, langsung menyusul Erfly, dengan hati-hati membantu Erfly untuk masuk kedalam mobil. Setelah Erfly duduk dengan nyaman dibangku penumpang belakang supir, Salwa segera mengunci pintu rumah.
Detik berikutnya mobil sudah meluncur menuju kafe milik Erfly. Dalam perjalanan Erfly menelfon Alfa, "Koko dimana...?", Erfly bertanya pelan.
"Mau kemana lagi seorang dokter dek...?", terdengar suara lelah dari ujung lain telfon.
"Erfly traktir makan siang, bentar lagi Erfly nyampe", Erfly bicara pelan.
"Oke", Alfa menjawab dengan antusias.
Saat sampai dihalaman parkir kafe, supir tidak ikut bergerak turun. "Mbak...", supir bicara lirih saat Erfly sudah membuka pintu untuk keluar dari mobil.
Erfly menoleh menatap supir, lelaki setengah baya yang telah setia mengantarkan Erfly kemana-mana selama setahun terakhir.
"Saya... Boleh izin pulang...?", supir bertanya ragu.
"Ada apa pak...?", Erfly bertanya bingung.
"Istri... Saya mau melahirkan", supir itu bicara pelan.
Erfly bisa membaca raut wajah kebingungan dibandingkan wajah senang menunggu kelahiran. Erfly meraih HPnya, mengetik di layar HP dengan fokus. Lelaki setengah baya yang ada dibalik kemudi tetap menatap Erfly penuh harap menunggu jawaban.
"Ya sudah, bapak hati-hati. Mobilnya bawa saja", Erfly tiba-tiba bicara diluar dugaan lelaki setengah baya itu.
"Tapi... Nanti... Mbak pulangnya bagaimana...?", lelaki setengah baya bertanya bingung.
"Ada ko Alfa. Lagian bapak yang lebih perlu...", Erfly bicara santai.
"Terima kasih mbak", lelaki setengah baya itu hampir menangis menerima kebaikan Erfly.
"Oh... Satu lagi, Ilen udah transfer 10 juta, untuk biaya lahiran. Anggap saja itu hadiah kecil dari Ilen untuk kelahiran anak bapak dari saya", Erfly bicara pelan disela senyumnya.
Lelaki setengah baya itu spontan menangis mendengarkan ucapan Erfly.