webnovel

Cak Dul, Mas Piet Dan Penghuni Warkop Pantura

Cak Dul seorang lelaki paruh baya berusia 35 tahun merupakan bekas kuli kontrakan dengan proyek dimana-mana memutuskan untuk membuka warung kopi di Raya Pantura perbatasan Gresik dan Lamongan. Bersama mas Piet yang merupakan seorang pengangguran namun berbadan subur dan ramah terhadap siapapun. Pada awal penjualan warungnya sering didatangi oleh banyak pelanggan sehingga warung kopi Pantura menjadi andalan favorit bagi para penikmat kopi untuk singgah sejenak. Namun hal yang aneh mulai terjadi saat malam tiba, warung kopi milik cak Dul dan mas Piet seringkali didatangi oleh makhluk mengerikan, orderan teror dan penampakan dedemit yang membuat mereka harus menghadapi malam-malam yang penuh mimpi buruk. Ada mitos yang mengatakan jika warung yang mereka tempati adalah bekas kuburan korban pembantaian massal saat peperangan dan arwah mereka masih penasaran sehingga seringkali "menghuni" warung kopi milik cak Dul dan Mas Piet. Sanggupkah mereka menghadapinya?

Thoriq_Kemal · Horror
Sin suficientes valoraciones
20 Chs

Episode 18 : Pegawai Baru

Udara pagi telah mengubah menjadi titik-titik air yang menempel di jendela sebuah rumah sederhana yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Suara televisi tua berbentuk kotak berukuran sedang membuat keramaian dalam rumah tersebut. Rumah tersebut hanya memiliki dua kamar, satu kamar mandi, teras dalam serta teras luar, dapur, dan sebuah pekarangan di bagian belakang yang penuh dengan tumpukan biji kopi kering yang siap digiling. Yuli sudah berdandan rapi dengan celana jeans hitam, baju kotak-kotak perpaduan warna merah muda, ungu, dan putih dengan motif bunga mawar di bagian depan bawah, dan kerudung merah jambu untuk menutup rambutnya. Tangannya sibuk memilih biji kopi antara robusta dengan arabika yang berkumpul dalam karung berbeda. Beruntung bapaknya sudah menempelkan nama di masing-masing kardus sehingga tak membuat Yuli bingung memilih biji kopi yang akan dihidangkan kepada pelanggan. Kacamatanya masih bersanding di wajahnya agar pandangan tak buram saat memilah kopi di rumah maupun di kedai. Jika sudah berada di kedai, akan fatal akibatnya apabila salah takaran.

"Bapak senang sama kamu yang sudah memiliki pekerjaan sebagai peracik kopi."

"Terima kasih, bapak."

"Yul, apa kamu siap bekerja dengan Dul dan Piet?"

"Insya Allah saya siap, bapak. Yang penting saya sudah yakin dan niat bekerja mencari uang yang halal."

"Tapi Yul. Orang-orang desa kita sudah tahu kalau warung kopi milik mereka itu, hemm ya agak angker."

Yuli sebenarnya ingin tertawa lebar mendengar pernyataan bapaknya yang sebenarnya hanya bualan saja. Ia sendiri juga tak paham betul apa yang telah dialami oleh cak Dul dan mas Piet selama beberapa hari berjualan di pinggir jalan perbatasan antara Gresik dan Lamongan yang biasa disebut jalur Pantura. Namun yang jelas banyak hal mistik yang dialami oleh mereka berdua sejak pertama kali berjualan kopi. Mulai dari teror kepala buntung hingga Raden Farid yang hampir membuat nyawa gus Roy melayang.

Sudah lama sekali Yuli ingin belajar meracik kopi lalu menyeduhnya kemudian mengkreasikan dengan beragam bahan seperti susu kocok, krim keju, selai kacang atau marshmellow. Namun apa daya bapak dan ibunya sering melarang dia bekerja layaknya lelaki. Karena itu bukan hal yang lumrah dilakukan seorang wanita muda di desa Lamongan.

Tugas wanita hanya memasak nasi, lauk pauk dan menyeduh teh hangat di dalam dapur untuk dijadikan sarapan keluarga dan bekal suami ke sawah di kala siang datang. Tugas wanita paling berat hanya sebatas pergi ke sawah untuk menanam benih tanaman jagung, buah salmon, cabai dan padi. Mereka tak boleh mencangkul dan membajak sawah meskipun sekuat apapun tetap saja tidak boleh dilakukan. Kata orang-orang tua itu adalah "tradisi". Namun bagi Yuli tradisi seharusnya boleh diubah seiring perkembangan zaman yang semakin modern. Tapi apa boleh buat, selama hampir 30 tahun Yuli hanya merenung dan berpikir kapan ia bisa merubah tradisi yang dianggapnya kolot itu. Tapi untuk saat ini ia mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang barista di warung kopi Pantura milik cak Dul dan mas Piet dengan penuh percaya diri.

"Bapak, Yuli mohon izin membawa dua karung kopi robusta untuk dijual hari ini ya?"

"Ambil saja, nak."

"Terima kasih banyak, bapak."

Yuli menumpuk dua karung lalu mengangkatnya pelan-pelan agar tak terjatuh lalu berceceran kemana-mana. Kedua tangannya gemetaran sampai-sampai karung kopi juga ikut bergoyang, tapi masih saja ia memaksakan diri untuk menaruhnya ke atas jok motor matik milik ayahnya yang sehari-hari dibawa ke sawah. Sebenarnya masih ada keraguan dalam dirinya semenjak ingin menemani cak Dul dan mas Piet di warung kopi sederhana yang terletak di pinggir jalan. Mengapa ia tak memilih merantau ke kota untuk menjadi barista di sebuah kafe ternama yang memiliki fasilitas mewah berupa AC, kursi empuk, ruangan sejuk dan wangi, teman yang gaul, pelanggan berdompet tebal, atau jika beruntung ia akan mendapatkan suami sang pemiliki kafe karena dengan kecantikan wajah Yuli siapapun pasti tertarik untuk menikah dengannya.

Dia memilih bekerja di tempat yang tak terlalu jauh dari rumah saja daripada harus merantau jauh-jauh ke kota. Sebagai anak desa, ia lebih nyaman mendengarkan keluh kesah pelanggan dari kalangan petani yang mengeluh karena gagal panen atau musim kemarau berkepanjangan dan pengemudi ojek pengkolan yang semakin hari semakin sepi karena kalah bersaing dengan pengemudi ojek daring yang senantiasa menjamur setiap harinya daripada mendengarkan keluh kesah pegawai kantoran karena masih merasa kurang dengan gajinya padahal melebihi dari upah minimum.

"Bapak, Yuli berangkat dulu."

"Hati-hati di jalan ya, nak."

Yuli mencium tangan bapaknya yang sudah berkeriput dimakan usia tapi masih saja pergi ke sawah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Keluarga mereka sebenarnya sudah berkecukupan, namun orang Tuanya masih saja bekerja. Barangkali untuk mencegah kepikunan dan penyakit-penyakit kolestrol atau diabetes.

Yuli menyalakan sepeda motornya dan memasang helm lalu berangkat melewati rumah demi rumah. Setiap orang yang ditemuinya selalu diberi salam dan senyum menawan sehingga membuat hati menjadi senang memandang Yuli.

***

Cak Dul dan mas Piet telah menyiapkan seluruh perabotan untuk berjualan kopi setelah beberapa waktu berurusan dengan Raden Farid yang selalu merepotkan mereka. Harapan dan doa selalu terbesit dalam setiap perbuatannya agar tidak ada lagi makhluk halus atau apapun itu yang akan mengganggu hari-hari mereka lagi. Cak Dul ingin pindah tempat bersebelahan dengan Udin, namun masih terasa berat meninggalkan tempat yang sudah mereka tinggal. Mas Piet sendiri tidak enak karena telah merepotkan Udin yang sudah membantunya pertama kali. Padahal baru saja mas Piet dan Udin berkenalan namun terasa seperti keluarga dekat.

"Yuli kenapa lama sekali belum datang ya? Padahal sudah hampir siang ini. Stok kopi juga sedang tidak baik-baik saja nih, mas."

"Ah, kau benar sekali, cak. Aku lapar nih, cak. Kamu enggak mau keluar gitu beli sarapan. Lagian kamu kenapa selalu buru-buru sih? Perut belum terisi sama sekali tapi sudah buru-buru berangkat."

"Kamu ini loh, mas. Apakah engkau lupa kepada petuah orang-orang dahulu apabila engkau bangun setelah ayam berkokok kelak rezeki akan dipatok olehnya."

"Ya aku tahu sih. Tapi ayolah belikan sarapan untuk kita. Kamu yang berangkat, aku yang jaga warung deh."

"Gak mau. Pokoknya enggak mau. Sepeda motorku sudah kehabisan bensin."

Pertengkaran dan adu mulut terus berlanjut dan tidak ada satupun yang mengalah. Tiba-tiba suara bel sepeda motor berbunyi tiga kali. Seorang gadis berkacamata dengan kerudung merah jambu dan memakai masker turun dari sepeda motor. Ia langsung melepas ikatan tali di jok motor lalu menurunkan pelan-pelan.

"Cak Dul! Mas Piet! Maaf aku terlambat."

"Eh enggak apa-apa, Yul. Sini aku bantu." Mas Piet langsung bersemangat dan rasa laparnya menghilang seketika melihat Yuli datang membawa dua karung kopi robusta.

"Baiklah. Sekarang apa yang harus bantu sebagai pegawai baru warung kopi ini?"