webnovel

Cak Dul, Mas Piet Dan Penghuni Warkop Pantura

Cak Dul seorang lelaki paruh baya berusia 35 tahun merupakan bekas kuli kontrakan dengan proyek dimana-mana memutuskan untuk membuka warung kopi di Raya Pantura perbatasan Gresik dan Lamongan. Bersama mas Piet yang merupakan seorang pengangguran namun berbadan subur dan ramah terhadap siapapun. Pada awal penjualan warungnya sering didatangi oleh banyak pelanggan sehingga warung kopi Pantura menjadi andalan favorit bagi para penikmat kopi untuk singgah sejenak. Namun hal yang aneh mulai terjadi saat malam tiba, warung kopi milik cak Dul dan mas Piet seringkali didatangi oleh makhluk mengerikan, orderan teror dan penampakan dedemit yang membuat mereka harus menghadapi malam-malam yang penuh mimpi buruk. Ada mitos yang mengatakan jika warung yang mereka tempati adalah bekas kuburan korban pembantaian massal saat peperangan dan arwah mereka masih penasaran sehingga seringkali "menghuni" warung kopi milik cak Dul dan Mas Piet. Sanggupkah mereka menghadapinya?

Thoriq_Kemal · Horror
Sin suficientes valoraciones
20 Chs

Episode 15 : Gus Roy Vs Raden Farid

"Dargombes! Aku enggak suka jika kamu dekat dengan si kriwul ini, Li! Cari yang lain saja dong! Orang enggak punya masa depan jelas masih saja kamu kejar." Yuli hanya menunduk malu mendengar omelan kakaknya yang bicaranya ceplas ceplos tanpa memakai jeda dan tanda titik. Ia selalu membangkan terhadap omongan sekaligus perintah agar menjauhi cak Dul. Namun tetap saja omelan tersebut hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.

"Maaf kang, mas. Aku sebenarnya masih mencintai cak Dul. Terserah jika kang mas ingin melakukan apa terhadap Yuli, siap diri ini untuk menerimanya. Walaupun diusir, diasingkan, dikucilkan, difitnah bahkan engkau bunuh pun aku tak masalah."

"Adik kurang aj-" Gus Roy langsung melayangkan tamparan ke arah pipi Yuli. Namun dengan refleks tangan kiri cak Dul menahan tamparan tangan gus Roy yang begitu kuat.

"Kita disini datang dengan damai, gus. Tolong, jangan ada perkelahian di antara kita."

"Karena aku membencimu!"

"Lalu apa hubungannya? Dan apa sebab kau membenciku, gus? Aku tak pernah memintamu sesuatu yang jelek."

"Kau miskin dan kau tak patut berhubungan dengan adikku!"

"Lalu untuk apa kau menghabiskan masa remajamu untuk mengkaji agama dan berguru dengan kiyai Khozin?! Jika masih ada sifat dengki dan benci kepada orang lain?"

Gus Roy terpental mundur lima langkah menjauhi keduanya lalu mengusap dadanya pelan-pelan sambil mengucapkan istighfar sebanyak tiga kali. Ia pergi ke dapur dan menghilang. Cak Dul dan Yuli bertanya-tanya untuk apa seorang pemiliki warung tersohor di Lamongan masuk ke dalam dapur. Biasanya seorang pemilik hanya berdiam di rumah sambil menunggu kabar dari sang tangan kanan tentang laporan harian keuangan yang masuk. 60% untuk dirinya dan 40% untuk pegawainya.

Tidak menunggu lama gus Roy datang sambil membawan nampan dengan dua gelas minuman jus jeruk dan kopi susu hangat untuk dihidangkan kepada cak Dul dan Yuli. Gigi-giginya menggigit ujung rokok tanpa filter yang berisi potongan tembakau kering.

"Kalian berdua kesini. Aku tak mau posisi takzim. Duduk biasalah seperti nongkrong dengan kawan bermain."

Suasana hening sejenak. Cak Dul dan Yuli masih bingung siapa yang mau angkat bicara dahulu. Keduanya mengambil nafas lalu mengeluarkannya secara bersamaan.

"Sulastri hilang, kang." Ternyata Yuli lah yang mengawali pembicaraan dengan penuh percaya diri. Cak Dul hanya menatap wajah Yuli seolah dia bersama bidadari. Ah dasar wajah buaya mesum. Mulutnya disumpal rokok kretek yang terselip di dalam saku celananya yang seharian ini belum dicuci atau sekadar diberi semprotan minyak wangi bunga kasturi, pasti baunya bikin pingsan orang-orang di Pantura.

"Hilang bagaimana? Sulastri itu siapa sih?"

"Itu loh kang mas, anak setan. Dia tinggal di daerah Zombok sana. Bersama raden. Raden siapa cak?"

Cak Dul menghisap rokok kreteknya sambil menikmati keindahan alam Solokuro yang penuh pohon rindang seperti randu, beringin, dan batang jagung yang sudah menguning penuh buah. Kicauan burung bagai orkestra Mozart di malam hari penuh nada-nada yang lembut dan lezat bagai makan rainbow cake bersama Yuli di atas permadani yang empuk.

"Emmm, cak?"

Yuli menggoyang-goyang badan cak Dul untuk memastikan jika dia masih sehat dan mengeluarkan karbondioksida dari batang hidungnya. Diguncangkan berkali-kali tapi tetap saja tidak digubris. Dicupit pipinya secara gemas oleh Yuli pun masih tetap saja cak Dul tak menghiraukannya. Sampai muntap gus Roy mengeluarkan sebuah buku lalu dibacakan mantera-mantera yang tidak dipahami oleh Yuli dan, "Bruak!"

"WOI ANAK SETAN!"

"KAMU ANAK SETAN!"

"Ehh, mohon maaf, Gus. Saya lagi keasyikan saja memandang alam yang begitu indah seperti surga. Bukankah dunia ini adalah gambaran dari surga, Gus?"

"Terserah. Jadi gimana ini? Kalian mau apa kemari? Kalau enggak ada yang mau dibicarakan lebih baik kalian pulang saja."

Tiba-tiba sebuah asap hitam mengepul di depan gus Roy, cak Dul dan Yuli. Seluruh pegawai dan pelanggan warung Panji Bukan Petualang merasakan getaran seperti gempa bumi dan angin kencang yang menghembus tubuh mereka. Perabotan ringan seperti kertas, tisu, dan buku kas berterbangan kemana-mana. Hanya benda-benda seperti kayu, besi, gelas, piring,mangkuk, wajan penggorengan dan manusia tidak ikut berterbangan.

Lalu suara tongkat kayu mulai berdetak di atas tanah hingga membangunkan ratu semut serta koloninya di dalam sarang. Raden Farid kembali untuk menagih janji cak Dul dan kawan-kawannya yang terlibat karena diduga membawa kabur Sulastri.

"Oh, jadi disini kalian rupanya? Mencari perlindungan?"

Ngalor dan Ngidul tetap setia di belakang Raden Farid dengan kacamata hitam dan tanpa senjata. Walau demikian, Ngalor dan Ngidul tak gentar melawan segerombolan musuh bersenjata lengkap meski terlatih sekalipun. Raden Farid sudah memberikan mantera khusus bagi orang-orang yang loyal kepadanya agar kebal kepada serangan apapun termasuk keduanya.

"Assalamu'alaikum, Farid. Sudah lama tidak berjumpa semenjak kita belajar bersama dengan kiyai Khozin. Kau sudah terlihat tua juga. Ngomong-ngomong. Ehem. Bagaimana Sulastri sekarang? Sehat?"

"Itulah alasanku kemari, Roy. Dua orang ini telah membawa kabur anak kesayanganku." Telunjuk kanannya tertuju ke arah cak Dul dan Yuli yang masih duduk bersila di depan gus Roy. Kakinya melangkah perlahan sambil diambil sebuah kris dari balik bajunya. Ngalor dan Ngidul telah memasang sarung tinju untuk memukul siapa saja yang berani menyentuh Raden Farid bahkan seorang wanita sekalipun tak segan dipatahkan tulang belulangnya sampai berkeping-keping. Raden Farid berjalan membungkuk dengan tongkatnya diiringi langkah Ngalor dan Ngidul di belakang.

"Farid, sudah kubilang aku tak mau ikut campur dan tak mau berurusan denganmu. Ngomong-ngomong, boleh aku catat pesananmu, wahai raden?" Gus Roy memandang sinis dengan senyuman yang menghina Raden Farid seperti ingin mengusirnya jauh dari warung Panji Bukan Petualang. Raden Farid masih saja memandang gus Roy serta sesekali melirik ke arah cak Dul dan Yuli yang sudah memasang kuda-kuda untuk bertarung.

"Ngalor! Ngidul! Bawa dua orang ini pergi. Sedangkan aku, aku akan lumat bocah tengik ini sampai terkubur hingga jahanam membakar seluruh tulang belulangnya."

Gus Roy berdiri memasang kuda-kuda lalu membuang songkok hitamnya ke tanah. Terurai seluruh rambut keriting yang panjang sebahu dan beberapa uban memenuhi kepalanya. Kedua telapak tangannya dirapatkan ke depan sambil berkomat-kamit agar diberikan kekuatan dari Tuhan yang Maha Kuat. Raden Farid masih mematung bersama tongkat kesayangannya.

"Jadi, kau siap bertarung wahai murid kesayangan kiyai Khozin?"

Kedua bola mata gus Roy berubah menjadi kuning dengan garis hitam di tengah layaknya seekor cheetah yang siap mengejar seekor rusa di padang ilalang Afrika. Ia lentikan kedua jarinya lalu keluarlah sebuah keris dengan bentuk gelombang bergagang yang memiliki motif aksara Jawa memutar di sekelilingnya. Mulut gus Roy meludahi ujung keris sebanyak tiga kali kemudian diusapkan ke atas tanah dia berpijak. Kaki kanannya berada di depan membelakangi kaki kirinya. Ia bergaya seperti seorang Pitung yang siap menghantam tentara Belanda agar pergi dari tanah pertiwi.

"Jangan pernah menyebut nama kiyai Khozin sebelum mulutmu berkumur air wudhlu, wahai lidah iblis. Sekarang, mari kusucikan darahmu dengan keris ini."