webnovel

BUTTERFLY'S ETERNAL LOVE (Bukan Liang Zhu)

Seorang gadis yang bernama Zhiwei mengalami time slip ke zaman dinasti Jin Timur. Dia bersama Shanbo, Yinfeng, dan Yingtai melakukan petualangan untuk mengumpulkan empat perhiasan batu Liang Zhu. Apakah Zhiwei bisa pulang kembali ke masa depan?

Maria_Ispri · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
33 Chs

BAB 28

BUTTERFLY'S ETERNAL LOVE

BAB 28

Di kediaman Zhu pagi-pagi sudah terdengar suara keributan. Para pelayan mencari seseorang ke sana-kemari ke seluruh sudut rumah. Mereka mencari anak kedua keluarga Zhu, Yingtai. Gadis yang sedang dicari ternyata sedang mengendap ke belakang kediaman hendak melompat dinding. Gadis yang cantik berkulit bak salju itu menyamar menjadi seorang lelaki, ditemani seorang pelayan perempuan yang terlihat khawatir jika kelakuan sang majikan ketahuan oleh orangtuanya. Tidak sekali ini gadis itu pergi diam-diam keluar rumah, tapi sudah berkali-kali. Itulah yang menjadikan orangtuanya mengurungnya di dalam rumah dengan penjagaan ketat.

"Aku pergi. Kembalilah! Tutup mulutmu, jika tidak …," ucap gadis berbaju hanfu biru putih dengan mata mendelik ke arah sang pelayan sambil memberi kode di lehernya.

"Nona Yingtai, kau membuatku dalam masalah. Cepat kembali sebelum ayahmu datang sore ini," ujar sang pelayan dengan nada penuh kecemasan.

"Baiklah! Baiklah! Jangan khawatir. Aku pergi!" pamit Yingtai lalu naik ke tumpukan kayu yang bertumpuk di dinding.

"Hati-hati Nona!" seru sang pelayan sambil melihat ke segala arah untuk memastikan sekeliling mereka aman.

Sosok Yingtai naik ke dinding dan tiba-tiba hilang keseimbangan. Tubuhnya meluncur jatuh tepat saat Shanbo lewat.

Bruugh!

Shanbo terkejut saat melihat ada sosok yang jatuh tertelungkup di hadapannya. Sosok itu lama diam di tanah. Merasa khawatir terjadi sesuatu, Shanbo hendak memeriksa lelaki yang barusan jatuh dari langit.

"Kau tak apa-apa?" tanya Shanbo hendak membantu mengangkat.

Sosok itu masih diam telungkup di tanah. Tubuhnya bergetar lalu tiba-tiba berteriak menangis.

"Sakiiit!" teriak Yingtai sambil mengangkat wajahnya dari tanah.

Shanbo merasa kasihan lalu membantu mengangkat Yingtai.

"Jangan menangis … jangan menangis. Sakit ya?" tanya Shanbo berempati, "Sakit ya? anak lelaki tak boleh cengeng," ucap Shanbo mencoba menenangkan.

Yingtai langsung diam saat mendengar dia dianggap anak lelaki. Dia mengusap wajahnya yang belepotan tanah.

"Hei kau. Apa kau tak lihat aku laki-laki dewasa. Aku bukan anak kecil!" ucap Yingtai dengan suara tegas sambil mendekatkan wajahnya ke arah Shanbo.

Shanbo memundurkan wajahnya dengan alis terangkat. Dia merasa aneh dengan sosok yang ada di hadapannya. Jika memang lelaki mengapa tubuhnya kurus sekali, dan kulitnya terlihat sangat pucat dan lembut, persis anak-anak.

"Baiklah … baiklah … jangan marah," ucap Shanbo lalu beranjak pergi meninggalkan Yingtai yang terlihat cemberut, "aku hanya ingin menolong. Tak usah semarah itu," gumam Shanbo kesal.

Yingtai membersihkan bajunya yang kotor. Dia menatap sosok Shanbo yang berjalan jauh meninggalkannya.

"Tampan … tinggi …Dia benar-benar tipeku," batin Yingtai sambil tersenyum sendiri.

Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala. Dia tak ingin terlibat sebuah hubungan percintaan sebelum apa yang menjadi cita-citanya terwujud. Dia ingin belajar banyak hal, terutama menuntut ilmu agar setara dengan para lelaki. Yingtai bisa menulis dan membaca, tapi dia tak puas dengan apa yang didapatnya. Dia ingin membuka wawasannya, jika perlu ingin pergi mengembara dan berguru pada banyak orang berilmu.

Hari ini dia punya rencana untuk pergi ke klub para perancang. Dia ingin mendaftarkan diri untuk masuk ke sebuah sekolah yang didirikan oleh raja. Yingtai memiliki keinginan untuk menjadi perancang busana dan perhiasan. Dia harus bisa masuk ke perguruan Gunung Langya, tempat para desainer terkenal di Jin Timur dilahirkan. Namun, saat ini perguruan itu tak menerima murid perempuan, hanya murid lelaki dan itu juga hanya sepuluh orang di setiap angkatan. Yingtai ingin belajar pada Master Wu, seorang desainer perhiasan yang terkenal seantero Jin Timur.

Yingtai berjalan menuju keramaian kota. Tujuan pertamanya adalah sebuah gedung pertemuan yang ada di pinggiran kota. Di gedung Shimao sedang diadakan pertemuan para desainer terkemuka di kota Jiankang. Yingtai mencoba menyamar menjadi lelaki agar diizinkan masuk. Dia sudah menghabiskan banyak uang untuk bisa mendapat plakat masuk ke gedung Shimao yang terletak di pinggir sebuah sungai.

"Kabarnya hari ini Nona Jiali akan datang menari di gedung Shimao. Kau tahu dia bak bunga lotus yang cantik dan suci. Tak ada yang menandingi kecantikannya di kota Jiankang," ucap seorang lelaki yang sedang berjalan di depan Yingtai.

Mendengar nama gedung Shimao disebut, Yingtai mendekat sambil tetap berjalan di belakang dua orang yang memakai hanfu sutera hijau dan cokelat. Yingtai memperhatikan gaya kedua lelaki yang ada di depannya. Kelihatannya mereka berdua adalah desainer yang akan datang di acara pertemuan.

"Pasti akan sangat meriah acara kali ini. Sayang sekali Nona Jiali hanya menari. Aku dengar dia tak melayani tamu di luar acara. Jika aku punya banyak harta, pasti sudah kubawa dia pulang ke rumah untuk kujadikan selir," kelakar si hanfu cokelat yang direspon tertawa lebar oleh temannya.

Yingtai yang menguping pembicaraan hanya mencebik mendengar perbincangan kedua lelaki itu.

"Aku dengar kali ini keluarga Zhu akan memamerkan hasil karya terbaru. Aku benar-benar iri dengan Tuan Zhu. Weiyan memang berbakat dalam desain. Aku dengar lima baju desainnya langsung dibeli oleh para istri bangsawan, termasuk Nona Jiali," terang si hanfu hijau.

Yingtai mengangguk-angguk senang mendengar kakaknya mendapat pujian orang. Yingtai tahu mereka pasti membicarakan baju hanfu putih bermotif kupu-kupu perak bertahta kristal. Tahun ini memang menjadi tren baru dikalangan perempuan di Jiankang. Dia dan Weiyan mendesain baju itu dan menjahit sendiri. Yingtai yang mendesain perhiasan aksesorisnya. Hanya saja dia harus rela namanya tidak disebut sebagai pencipta tren baru itu. Ayahnya pasti marah jika tahu Yingtai ikut mendesain, hanya karena dia perempuan.

Tak lama kemudian mereka sudah sampai di pinggir sungai. Mereka harus naik perahu terlebih dahulu untuk menuju ke gedung Shimao yang ada di seberang sungai. Yingtai langsung bersembunyi saat melihat kakaknya, Weiyan bersama Pangzi ada di atas geladak.

"Duh, bagaimana ini?" batin Yingtai memutar otak agar tak ketahuan kakaknya.

Yingtai melihat sekelompok lelaki mendorong gerobak anggur untuk diangkut ke atas perahu. Secepat kilat Yingtai berpura-pura membantu mengangkut guci-guci untuk dinaikkan perahu. Yingtai menghela napas lega. Dia bersembunyi di balik tumpukan kotak-kotak kayu demi menghindari Weiyan.

***

Shanbo berjalan menuju kantor polisi. Dia langsung disambut oleh Pak Lei, bawahannya.

"Syukurlah Anda segera datang. Ada penemuan mayat lagi di beberapa tempat," lapor Pak Lei.

Shanbo mengerutkan dahi.

"Beberapa tempat? Tak hanya satu mayat?" tanya Shanbo memastikan dugaannya.

"Benar. Saat ini mayat-mayat itu disimpan di dalam. Mereka semua ditemukan di tepi sungai di dekat danau Xuanwu, hanya saja tempatnya berbeda-beda," terang Pak Lei sambil berjalan cepat di samping Shanbo.

"Kira-kira kapan kematiannya?" tanya Shanbo lagi sambil berjalan cepat menuju ruang penyimpanan mayat.

"Menurut petugas forensik, sekitar enam hari yang lalu," jawab Pak Lei.

"Hmm, aneh jika ada mayat ditemukan serempak dalam jumlah lebih dari satu, walau berbeda tempat penemuannya." gumam Shanbo sambil membuka pintu ruang forensik.

Di dalam ruang itu beberapa petugas sedang memeriksa penyebab kematian. Shanbo mengamati kondisi umum mayat yang berjumlah tiga orang. Kondisinya sudah membusuk dan menggembung.

"Apa penyebap kematiannya?" tanya Shanbo pada Pak Lei.

Lelaki itu memberikan catatan yang ada di gulungan bambu pada Shanbo. Lelaki itu membacanya. Mayat pertama adalah Nona Rong, yang dilaporkan hilang seminggu yang lalu. Penyebab kematian karena cekikan di leher. Mayatnya di temukan di pinggir sungai. Mayat kedua adalah Nona Yu, dilaporkan hilang juga dihari yang sama dengan hilangnya Nona Rong. Mayatnya ditemukan di semak-semak dalam kondisi terikat kaki tangannya. Dilehernya juga ada bekas cekikan. Mayat ketiga adalah Nona Yin dilaporkan hilang juga seminggu yang lalu, ditemukan di sebuah hutan bambu di luar kota Jiankang. Penyebab kematian juga cekikan. Kondisinya lebih mengenaskan karena ada dugaan Nona Yin diperkosa pelaku sebelum kematiannya.

Shanbo mendekat pada para ahli forensik.

"Apa yang kalian temukan?" tanya Shanbo sambil memperhatikan mayat Nona Yin.

Seorang ahli forensik memberi hormat, lalu menunjuk pada baju yang dipakai oleh para perempuan malang.

"Mereka semua ditemukan dengan baju yang sama. Hanfu putih dan bersulam benang perak. Penyebab kematian beragam. Hanya saja, masalah baju yang dipakai itu yang membuat saya menduga kematian mereka memiliki keterkaitan satu sama lain," terang sang ahli forensik.

"Apakah kau menduga pelakunya sama?" tanya Shanbo.

"Bisa jadi demikian. Namun, ini hanya dugaan saya saja. Apalagi waktu hilang dan kematian mereka sama. Baju yang mereka pakai juga sama. Jika memang pelakunya adalah orang yang sama, mana mungkin dia bisa membunuh mereka dalam waktu yang sama dan ditempat yang berbeda," terang sang ahli forensik.

Shanbo mengangguk paham.

"Apakah ada kemungkinan pelakunya lebih dari satu?" tanya Shanbo.

"Bisa jadi demikian," jawab sang ahli forensik.

"Pak Lei periksa baju yang dipakai korban. Temukan bahan dan siapa penjual baju itu. Siapa tahu kita bisa mendapat petunjuk dari situ," perintah Shanbo.

"Baik!" jawab Pak Lei, "hanya saja Tuan Shanbo. Ini laporan hasil forensik Nona Qinglian. Dituliskan bahwa dia juga memakai baju yang sama dengan ketiga mayat ini," lanjut Pak Lei.

Shanbo membaca laporan mayat Qinglian.

"Apakah ada kemungkinan Qinglian ini juga dibunuh di saat yang sama dengan ketiga perempuan ini. Hanya saja mayatnya lebih dahulu ditemukan. Waktu hilang dan kematian juga sama," ucap Shanbo dengan wajah serius.

"Aku akan ke kediaman Shen. Ikut aku. Ada hal yang ingin kupastikan tentang Nona Qinglian," ucap Shanbo sambil memberikan gulungan bambu pada Pak Lei.

Shanbo beranjak pergi keluar ruang forensik. Pak Lei ikut di belakangnya sambil berjalan cepat-cepat.

Shanbo dan Pak Lei menderap kuda mereka menuju kediaman Shen. Misteri kematian empat perempuan berhanfu putih membuat Shanbo semakin tertantang untuk mengungkapnya. Apalagi satu kasus dia tahu dengan pasti adalah kematian palsu, karena Qinglian yang asli masih hidup.