Layar laptop sedang menampilkan informasi lowongan kerja dari beberapa perusahaan. Setiap kolomnya tak luput dari cara bacaku yang cermat. Ini semacam mengulang dari awal.
Berhubung aku tidak memungkinkan kembali ke Sishwa. Mau tak mau, sebagai gantinya aku harus mencari perusahaan lain. Syukur-syukur kalau letaknya berjauhan dengan rumah mertua. Jadi, aku tidak perlu mengarang cerita, jika ingin lebih sering berkunjung ke rumah orang tua.
Beberapa perusahaan sudah aku kirimi file lamaran pekerjaan. Tidak perlu membuang waktu untuk berkeliling kota karena bekalku cuma akun email dan jaringan internet saja. Semua sudah selesai dikerjakan walaupun posisi tubuhku sedang rebahan.
Hah, masih ada waktu sampai jam tiga sore. Masih ada waktu juga sampai Mas Dion pulang. Demi membunuh waktu, aku mencoba membuka lagi akun media sosial yang sudah lima tahun tidak digunakan. Ya, setelah menikah dengan Mas Dion hidupku hanya berfokus pada aktivitas mengurus rumah, dirinya, juga anak. Jadi, secara tidak langsung aku tidak memiliki mood untuk membuka bahkan melihat-lihat akun media sosial selain WhatsApp.
Lima tahun tidak dibuka, akun Facebook-ku ternyata bisa berjamur juga. Terdapat 235 permintaan pertemanan yang membutuhkan konfirmasi. Ada 100 lebih notifikasi grup online yang perlu dilihat, hingga adanya 50 pesan masuk yang belum kubaca. Dari tiga notifikasi tersebut, hanya notifikasi pesan yang menarik minatku untuk membukanya.
Layar laptop pun berganti setelah jemariku mengetuk kolom pesan. Ada satu pesan dari orang yang sama dalam lima tahun terakhir, yakni Marisa. Dia sahabatku sewaktu SMA, dulunya menghilang karena kuliah di kota orang. Rupanya, dia kembali ke Bandung setelah lulus sarjana.
Marisa Sartika
Va, gue balik Bandung besok. Mau lihat anak lo, tapi gak tau alamat. (Januari 2017)
Nyonya, tolong tengok Facebook. Jangan jadi pesuruh mertua mulu. (Februari 2017)
Va. Lo benaran ngilang dari semua orang, ya? Kenapa alumni SMA kita gak pada tahu nomor lo? (Mei 2017)
Nirina nikah, Anjir. Gue pikir lo bakal datang. Lo ke mana, aja, Buk? (Agustus 2017)
Semua kubaca. Hampir semua pesan. Kurang lebih isinya sama. Bertanya ke mana dan kenapa aku tidak muncul setiap teman-teman SMA memberi undangan pernikahan. Namun, di atas semua pesan itu ada satu pesan yang paling menggugah minatku untuk membacanya.
Marisa Sartika
Arga kerja di kantor gue dong, Va. (November 2018)
Arga? Keningku mengeryit. Merasa ingat, tetapi setengah lupa. Arga yang mana coba? Seolah tahu aku akan bertanya-tanya, Marisa sudah lebih dulu mengirimkan pesan penjelasan.
Marisa Sartika
Arga Pangestu. Cinta pertama lo waktu SMA. (November 2018)
Begitu dijelaskan sedikit, bibirku lantas menautkan senyum. Oh, dia. Lelaki yang menganggap teman, padahal tahu aku memiliki rasa sayang. Sudah lama juga tidak mendengar kabar Arga.
Perhatianku tiba-tiba teralihkan karena ponsel yang disimpan di samping laptop berkedip-kedip layarnya. Satu panggilan masuk, terlihat dari Mas Dion. Spontanitas aku mengangkat karena tidak ingin dia menunggu lama.
"Masih di mana?" tanyanya galak, padahal belum menyapa.
"Di rumah Ibu."
"Kenapa masih di sana? Aku, kan, udah suruh kamu pulang sekarang."
"Iya, sebentar, Mas. Aku juga jarang-jarang, kan, main ke sini. Masa baru datang sudah pulang. Coba kamu jemput aku. Biar aku ada alasan pulang cepat dari sini," saranku supaya tidak menyakiti hati Ibu dan Bapak.
"Nah! Ini, nih, yang buat ribet! Aku malas ke rumah orang tuamu itu karena ini. Orang tuamu itu gak fleksibel, kita selalu gak bisa kalau pulang cepat."
Mendengar orang tua dijelekkan begitu, tentu saja hati kecilku tidak menerima. Jika orang tuaku tidak fleksibel, lalu apa sebutan yang pas untuk orang tuanya? Mereka lebih toxic parents ketimbang orang tuaku yang tidak fleksibel. Lagipula, apa salahnya mampir demi menjemput istri? Tidak tiap hari aku meminta begini. Jarang-jarang juga dia berkunjung kemari.
"Pokoknya aku gak mau tahu, An. Kamu harus pulang sebelum aku selesai kerja. Kalau sampai kamu telat, jangan harap pintu rumah aku buka."
Bukannya takut, aku malah tersenyum miris. Begini jadinya kalau anak dibesarkan dengan mode manja dan kekuatan anak semata wayang. Apa pun harus diikuti. Entah itu menyenangkan atau bahkan merugikan bagi orang lain. Lama-lama muak juga dengan dia yang selalu berlindung di bawah ketiak orang tua.
Tanganku kembali menyentuh mouse. Berniat memanfaatkan internet yang masih terhubung ke laptop. Jemari dengan lancarnya mengetik beberapa kata dalam kolom pencarian.
Daftar hal yang harus disiapkan untuk mengajukan perceraian. Keyword itu bisa dibilang berani dan menantang jati diri. Bukan sekali dua kali aku memikirkan tentang perceraian setiap kali Mas Dion tidak sejalan.
Jauh sebelum hamil, aku sering terpikirkan masalah perpisahan. Tidak, bukan sebelum hamil. Mungkin lebih tepatnya, seminggu setelah kepindahan ku ke rumah mertua. Aku membuktikan sendiri kalau pacaran bertahun-tahun tidak menjamin kami saling mengenal satu sama lain. Nyatanya, sikap asli seseorang bisa terlihat setelah status pacaran berganti jadi pernikahan.
Langkah awal atas keseriusan ini, yakni menuliskan semua berkas yang harus aku siapkan nanti. Pelan-pelan aku membaca dan memahami beberapa web yang menuliskan tentang keyword terkait. Rasa-rasanya aku sudah bisa menggugat cerai dirinya dalam waktu dekat.
Ketukan pintu yang mendadak terdengar, membuat tubuh tersentak. Buru-buru jemariku menekan mouse, berusaha menyembunyikan fakta besar tersebut dari orang yang kini menyembul di balik pintu.
"Ayah," panggilku. Semoga aksi pura-pura tenang dan baik-baik saja ini membuahkan hasil yang baik.
"Kirain ibumu bohong," ucap beliau sambil memamerkan senyum senang. Ayah pasti senang karena aku datang.
"Baru pulang?" tanyaku sambil menutup laptop, lalu menggeser posisi tubuh.
"Hm, baru antar pesanan ke alun-alun." Ayah berjalan mendekat, duduk di tepi ranjang, di sampingku.
"Jauh banget, Yah."
"Iya, Alhamdulillah. Kue basah yang kamu rintis sudah dikenal semua orang, Va."
"Alhamdulillah," ucapku penuh rasa syukur.
Dulu saat masih gadis, aku berusaha mencari penghasilan tambahan dengan membuat kue-kue basah untuk pelengkap kotak camilan. Namun, seiring berjalannya waktu, kue-kue basah itu terpakai di beberapa lidah pemesan hingga pesanan bertambah banyak sekian bulannya. Aku yang keteteran, akhirnya dibantu orang tua untuk menyiapkan pesanan. Lambat laun, usaha kecil-kecilan itu jadi usaha utama bagi Ibu. Ayah sampai harus mengundurkan diri dari perusahaan Sishwa karena membantu Ibu yang keteteran membuat camilan.
"Dion kerja, ya?" Ayah melihatku lekat.
"Hm, kerja, Yah." Salah satu kebingungan ketika berkunjung ke rumah orang tua, ya, ini. Mereka pasti mempertanyakan pasanganku. Beruntung saja karena aku datang di hari kerja. Tak perlu repot-repot lagi berbohong karena Ayah dan Ibu sudah bisa menebak kalau Dion tak bisa datang karena bekerja.
"Tapi nanti ke sini, kan?" Ayah bertanya lagi.
Penuh rasa sungkan aku menggeleng. "Aku pulang sendiri, Yah. Dion gak tahu aku ke sini."
"Lho, kamu kenapa gak izin dulu?"
Sudah izin, tetapi dia menyuruhku pulang sekarang. Hah, yang benar saja! Masa aku bilang begitu kepada Ayah. Bisa kecewa lahir batin kalau sampai orang tuaku mendengarnya.
"Eva berangkat dari Sishwa, Yah. Mau melamar kerja, tapi belum buka lowongan." Seolah paham aku terjepit, Ibu langsung datang dan menjawab pertanyaan Ayah.
"Kamu mau kerja lagi, Nak?" sahut Ayah.
"Hm, biar ada kegiatan, Yah. Bosan di rumah. Gak ada yang bisa diajak main," jawabku seadanya.
"Dion kasih izin, kan?" Seperti biasa, Ayah akan bertanya dulu. Beliau selalu mengingatkan kalau izin suami lebih utama ketimbang segalanya.
"Sudah. Pagi tadi juga dia yang antar aku ke Sishwa."
Terdengar meyakinkan, Ayah pun melontarkan pertanyaan lain. "Terus sekarang mau pulang naik apa? Mau Ayah antar, aja?"
"Lho, memangnya Dion gak akan jemput, Va?" Ibu yang mendengar pertanyaan Ayah jelas saja terkejut karena menantunya tidak berkenan mampir.
"I-iya. Dia ada meeting penting. Kayaknya, sih, pulang malam. Jadi, daripada kelamaan Eva pulang sendiri aja, deh, Bu."
Hah, andai para suami tahu. Setiap istri mengorbankan dosa dan dustanya demi menjaga hubungan dia dengan sang mertua. Terkadang aku berpikir, kenapa dia tidak bisa melakukan hal yang sama? Kenapa dia tidak mengorbankan dosa dan dusta demi melindungiku sebagai istrinya?
"Ya, sudah. Ayah antarkan Eva, gih! Kasihan kalau pulang sendiri," saran tersebut langsung diindahkan olehku dan Ayah. Jadilah aku, diantar pergi oleh suami dan diantar pulang oleh ayah sendiri.
***