webnovel

[ 1 ] - Bimbingan Belajar

Pukul delapan adalah masih terlalu pagi bagi Tiara untuk kembali duduk di ruang Bimbingan Konseling. Sofa-sofa empuk di dalamnya seolah tengah melapuk di bawah pantat keenam siswa SMA Mandraguna yang sedang menunduk—kecuali begundal di pojok yang malah menyeka rambut gondrongnya, dan memainkan tusuk gigi yang bertengger di sela-sela giginya.

Memang, tak bisa dipungkiri bahwa ini sudah kali keempat Tiara terlambat masuk sekolah. Tapi ... baru lewat satu dari batas maksimal! Tak lain dari kelima laki-laki yang juga bermasalah pada urusan mereka masing-masing sehingga perlu dikumpulkan di ruangan hukuman ini, melewatkan satu jam pelajaran pertama.

Pak Burhan berhenti hilir mudik di depan mejanya, lalu membetulkan kacamata. “Baik,” ia berdeham. Lalu menoleh ke arah enam siswa di seberangnya. “Kalian bapak keluarkan dari sekolah.”

“HAH?!”

Karbondioksida terpoduksi secara bersamaan dan dalam jumlah banyak seketika. Semua mata memandang Pak Burhan tak habis pikir, heran, tercengang. Bahkan si bisu kurus yang kini tak berkedip—tetapi lagi-lagi, tak berefek pada begundal gondrong di ujung sofa.

“Tapi, Pak. Saya kan cuma terlambat, masa konsekuensinya sebesar itu?” tanya Tiara penuh persuasi dan kepercayaan diri. Ia anak yang pintar, telah mewakili sekolah mengikuti olimpiade Biologi (meski pulang belum membawa apa-apa), juga berprestasi di kelas, sekolah akan merugi jika mengenyahkan namanya dari daftar absensi.

“Kamu pikir peraturan sekolah ini main-main, Tiara?” tukas Pak Burhan lebih kepada mengakhiri pembicaraan, ketimbang bertanya. Pria setengah baya itu memandang ke arah begundal di ujung ruangan yang menatap ubin melamun, tak menghiraukan keputusan sang Wakasek bidang Kesiswaan. Kemudian, protes-protes lain menyusul setelahnya. “Ya, ya. Dengar. Bapak akan berpikir ulang untuk tidak mengeluarkan kalian dari Mandraguna, asalkan.” Pak Burhan mengacungka jari telunjuknya. “Kalian mampu membuat kontribusi untuk meningkatkan pendidikan sekolah ini. Bapak beri waktu lima belas menit untuk berdiskusi, setelah itu tidak ada lagi.” Lalu guru tersebut beranjak ke luar ruangan seraya menuntup pintu. Meninggalkan ruangan dalam keheningan sementara.

Melihat tak ada pergerakan, maka Tiara membalikkan badan menghadap lima laki-laki seangkatannya dari jurusan berbeda. Beberapa ia kenali, beberapa tidak—terutama begundal yang kini sedang—ih!!—bersendawa keras.

Si bisu melotot ke arah begundal. Barangkali ia mengira sosok di sampingnya bukan manusia.

“Oke, gini,” Tiara membuka suara. “Ada yang punya rencana?”

Lima pasang mata memandang Tiara, tetapi tak satu pun jawaban terlontar.

“Kita kerja bakti aja, gimana?” usul Tiara. Rambut mengembangnya yang dikuncir satu berayun tak indah kala ia menoleh pada satu per satu lawan bicaranya.

“Cuma berenam?” tanya salah satu anak MIPA kelas sebelah yang Tiara tahu bernama Wira.

Kulitnya putih, matanya sipit dan mengenakan kacamata, nada bicaranya senantiasa skeptis hampir dalam setiap ucapan.

“Dan, kita disuruh berkontribusi untuk pendidikan, bukan lingkungan,” tambah Si Jangkung yang sering Tiara lihat dalam ekstrakurikuler basket, meski tak ia ketahui namanya.

Tiara menghela napas. “Ya, terus ada usul lain enggak?”

Tiba-tiba begundal pemakan tusuk gigi itu melepas tusuk gigi dari mulutnya dan mendesahkan tawa sarat meremehkan. “Percaya aja sama ancaman gituan.” Kata-kata yang menghambur dari mulutnya membuat siswa lain menoleh ke arahnya. “Mikir coba, kalau sampai sekolah ini mengeluarkan enam siswa kelas sebelasnya sekaligus hanya dengan alasan, gue: ketahuan bolos kelas dan ngerokok, lo?” Ia memandang Si Jangkung.

“Ngelempar bola basket sampai mecahin jendela kantor kepala sekolah. Enggak sengaja.”

“Lo?” Begundal memandang Si Sipit.

“Berdebat Fisika sama guru.”

Begundal beralih ke Tiara.

“Terlambat ....”

Lalu pada anak MIPA lain yang Tiara tahu bernama Dewan.

“Gebukin anak Warung Bambu.”

“Anying, jadi elo?!” Begundal Pemakan Tusuk Gigi nyaris bangkit dari duduknya. Ia adalah kepala Geng Warung Bambu, komplotan anak-anak bandel SMA Mandraguna. Agak ironis, sebab anak ini katanya adalah putra komite sekolah.

“Siapa suruh dia mau bobol motor gue?”

Begundal gondrong itu memandangnya dongkol, tetapi ternyata ia tak melanjutkan emosinya, melainkan beralih lagi pada tersangka terakhir yang duduk di sebelahnya. “Lo?”

Si kurus bisu berbalik memandangnya.

“Enggak jadi. Gue lupa lo bisu—Nah, coba kalau sampai kita semua keluar, reputasi macam apa yang mau sekolah tanggung?” Ia melempar tusuk giginya ke sembarang lantai, seolah-olah pendapat yang baru ia utarakan adalah sesuatu yang keren.

“Terus solusi lo apa?” tanya Tiara masih tak puas.

“Lawan!”

“Ah, becanda mulu lo mah, Dar,” anak MIPA yang tadi hampir disemprot oleh begundal, berucap. “Gue ada ide. Kita buat ekstrakurikuler baru dengan tujuan mewadahi anak-anak sekolah untuk belajar. Jadi, semacam bimbel gitu, dan kita pengajarnya.”

“Berasa pinter?” lagi-lagi Si Begundal menerabas penjelasan orang.

“Nah, kalau gue enggak salah, kalian ini punya reputasi yang baik di bidang akademik. Bahkan elo, Badar. Jadi, enggak ada salahnya kan?”

“Terus yang kelas dua belas gimana?” tanya si sipit berkacamata.

“Kita bisa rekrut mereka sebagai pengajar. Enak, kan? Kita bisa buat relasi lebih cepat sama senior untuk persiapan kita nanti?”

Tiara tampak berpikir. Pun keempat yang lain. Hingga satu jawaban keluar dari mulut mereka secara bersamaan.

“Enggak deh.”

“Yak!” Pintu ruang BK terbuka. Pak Burhan melangkah masuk bahkan baru ketika sepuluh menit berlalu. “Lima belas menit sudah berlalu, jadi apa keputusan kalian?”

Keenam manusia di dalam ruangan saling pandang tanpa ada menjawab.

“Jadi kalian mau keluar saja?”

Keenamnya menggeleng.

“Ah ....” Pak Burhan kembali duduk dan menghadap enam siswa yang dikirim ke ruangannya dengan surat peringatan tingkat ketiga. Entah apa yang membuat sekolah swasta itu sedemikian disiplin, sampai kesalahan kecil saja mampu guru laporkan dengan SP3. “Begini saja, saya punya penawaran. Kalian berenam buatlah ekstrakurikuler baru, dengan tujuan utama meningkatkan semangat pembelajaran di sekolah ini. Jadi, seperti bimbel, begitu. Bagaimana?”

Dewan tampak ingin menampol meja. Itu adalah usulannya yang anak-anak tolak.

“Boleh, Pak. Kami terima.” Tak disangka-sangka, justru kata-kata itu terlontar dari mulut Si Begundal.

Perembukan singkat yang memakan waktu setengah jam itu pada akhirnya membahas aturan-aturan ekstrakurikuler dan segala tetek bengeknya. Hampir sama dengan yang Dewan usulkan, dan berakhir pada penyerahan dari Pak Burhan kepada keenam siswa di hadapannya untuk memberi nama ekstrakurikuler tersebut. Dan disepakatilah ekstrakurikuler baru itu kelak akan memiliki nama ‘Bimbingan Belajar’.

Sebelum mereka berpisah, Tiara pada akhirnya tahu nama mereka satu per satu demi kembali mendiskusikan ekskul mendadak itu di grup ponsel yang akan ia buat.

“Badar. Kurniawan Badar.” Itu si Begundal.

“Dewan Renjana.” Siswa MIPA yang bernama Dewan.

“Indrawayan Jakawira.” Sudah pasti Wira.

“Ridwan Al Ghifari,” ujar Si Jangkung anggota basket yang masih mengenakan seragam basketnya. Ia mendekat ke ponsel Tiara untuk memeriksa apakah nomor yang perempuan itu ketik sudah betul. Tiara pikir, ia akan membaui keringat najis laki-laki selepas olahraga, tetapi justru aroma cokelat yang menyelinap masuk ke dalam lubang hidungnya. “Oh, iya udah betul.” Dan Tiara mendadak gugup.

“Maudiman Hakim. Diman,” kata Si Bisu, yang mendadak membuat kelima manusia di depan ruang BK itu menoleh ke arahnya dengan sangat amat terkejut.

“L-lo?! Bisa ngomong?!” pekik Badar seperti habis lihat syaiton.

Siswa IPS yang mengaku diri bernama Diman itu melirik datar ke arah Badar. “Siapa sih yang bilang gue bisu? Goblok.”

Seketika mereka semua terhenyak, terkejut mendapati kenyataan bahwa sosok yang mereka duga bisu sama sekali tak bisu, bahkan gagu saja tidak. Setelah perpisahan yang canggung, mereka akhirnya meninggalkan titik temu menuju kelas masing-masing dalam diam, dalam terka, mengapa sosok bernama Diman itu begitu menyeramkan.

***