webnovel

[07] Pasal Pernikahan

"Anung, darimana kau malam-malam begini?"

Dia baru saja kembali dari hutan, dan secara tidak sengaja melewati pondok yang biasanya di gunakan untuk berkumpul oleh para pria di desa ketika mereka melakukan jaga malam.

Begitu juga dengan saat ini, ada tiga orang pemuda, Anung ingat salah satu dari mereka menikah dua bulan yang lalu, sedangkan dua yang lainnya masih belum terdengar akan mengambil seorang istri.

Anung menghampiri mereka, "aku baru saja menengok hutan. Apakah hari ini tugas jaga malam kalian?"

Mereka bertiga mengangguk, dan salah satunya kemudian bangkit untuk menyalakan api unggun guna menghangatkan mereka, sekaligus juga jika mereka ingin membakar ubi atau semacamnya.

"Hari ini dingin sekali, tetapi aku juga enggan di rumah, jadi sepertinya lebih baik datang untuk berjaga."

Anung mengingat bahwa kemarin dia melewatkan tugas jaga malamnya, kali ini dia mengajukan dirinya untuk bergabung dengan mereka, "apakah tidak apa-apa jika aku mengganti waktu jaga malam menjadi hari ini?"

"Oh, apakah kemarin kau tidak melakukan jaga malam?" salah satu dari pemuda itu, yang telah menikah, bertanya dengan heran padanya.

Anung hanya menggaruk bagian lehernya dengan canggung, "sebenarnya aku tersesat di hutan kemarin dan ketika akhirnya aku berhasil keluar, mereka yang bertugas jaga malam telah kembali ke rumah masing-masing, hehe."

Para pemuda itu tertawa dan segera mengajaknya untuk bergabung dengan mereka. Lebih banyak orang maka lebih ringan pekerjaan mereka, katanya.

Salah satu pemuda bertanya kepada yang telah menikah, "eh, Badu, kau ini mengapa semarak sekali ketika dapat tugas jaga malam? Bukankah kau telah menikah? Seharusnya kau lebih senang berada di rumah dengan istri yang bisa kau peluk setiap hari. Apalagi malam-malam yang dingin begini."

Badu yang ditanyai, hanya menghela nafas lesu, "hei, wajar memang kau tidak mengetahui perihal ini, karena kau belum menikah, tetapi kehidupan suami istri tidak akan terus menyenangkan. Apalagi wanita itu suka sekali berbicara, kadang-kadang bahkan membicarakan hal-hal yang aku sendiri tidak mengetahui mengapa mereka masih mengingatnya."

Salah satu pemuda, yang ini disebut Weko, tersenyum untuk meledeknya, "ooh? Dengan kata lain kau ini tengah cek-cok dengan istrimu?"

Badu hanya bisa mengangguk dengan senyum kecut.

"Kalian ini kan baru menikah dua bulan, bukan? Mengapa juga kalian sudah saling marah?" Tanya Weko lagi.

Lagi-lagi helaan nafas adalah permulaan dari kalimat Badu.

"Istriku dikenalkan melalui pamanku, kami tidak saling mengenal sebelumnya. Pada mulanya aku ingin kami saling kenal dulu supaya dapat menilai satu sama lain, tapi orang tuaku sudah kepalang panik. Takut aku tidak laku kalau tidak menikah segera. Jadi kami menikah begitu saja. Ternyata memang ada beberapa hal yang tidak sesuai di antara kami. Jadilah kami cek-cok."

Anung yang sebelumnya mendengarkan dalam diam ikut menimpali kali ini, "memangnya kau umur berapa tahun ini, Badu?"

"Dua puluh tahun."

Anung bergumam menanggapinya, "itu masih muda, mengapa terburu-buru?"

Mendengarkan ucapannya, Badu segera menepuk bahu Anung yang tampaknya mulai merenung, "kau tidak melupakannya, bukan? Bahwa orang-orang kita menikah pada usia tujuh belas. Bagiku yang telah berusia dua puluh, itu sudah sangat terlambat."

Teringat dengan ucapan salah satu paman ketika mereka membicarakan Puncak Larangan saat itu, Anung tahu seharusnya orang tua akan mulai bersikeras menemukan dia seorang pendamping hidup. Tetapi, orang tuanya berbeda, sang ayah terlalu benci untuk melihatnya, apalagi membuang waktu untuk menemukan pendamping baginya. Sedangkan sang ibu, sudah terlalu lemah untuk bergerak atau memikirkan sesuatu yang sulit seperti siapa wanita yang tepat untuk menjadi pendampingnya. Anung mungkin tidak akan pernah menikah dalam kehidupan ini.

Dia akan menghabis hidupnya untuk merawat kedua orang tua di rumah sampai mereka tiada, setelah itu dia juga akan menghabiskan masa tuanya sendirian.

Saat itu, dia teringat dengan pria yang saat ini seharusnya berada di dalam gua. Aryasatya. Mungkin, satu-satunya hal berwarna dalam kehidupannya sejauh ini adalah kemunculan Aryasatya. Dia tidak tahu keberanian macam apa yang membuatnya berani merawat harimau itu, atau bagaimana akhirnya mereka justru menjadi teman meskipun itu mungkin hanya untuk sebentar.

Badu menepuk bahunya lagi, "kenapa kau jatuh dalam perenungan lagi? Mungkinkah kau telah memiliki orang yang kau sukai dan enggan menunggu dua tahun lagi?"

Bocah di sampingnya itu hanya bisa terkekeh samar, "aku tidak memiliki orang yang ku sukai."

"Benarkah?" Badu masih menggodanya. "Kau tersenyum ketika merenung tadi, ku kira kau tengah memikirkan calon istrimu?"

Dirinya tersenyum? Anung segera menyentuh wajahnya dan merasa malu, untung sekali remang-remang malam menyembunyikan rona merah yang merambat di wajahnya atau orang-orang ini pasti akan menggodanya lebih parah.

Dia sedikit malu dan kesal, bagaimana bisa dia tersenyum tanpa menyadarinya sama sekali ketika memikirkan Aryasatya? Tidak mungkin.

Dia segera bangkit, dan memeriksa ubi yang sebelumnya di bakar oleh Weko, untuk mengalihkan suasana.

"Nah, aku dan Kane akan pergi berkeliling desa dahulu, Weko akan menunggu di sini bersama dengan Anung, tidak apa-apa bukan, Nung?" Tanya Badu ke arah Anung yang duduk di depan api unggun.

Anung berbalik dan mengacungkan jari telunjuk sebagai tanda persetujuan, dia segera kembali ke arah api unggun dan menimbun ubi yang belum sepenuhnya matang dengan bara.

Setelah Badu dan Kane tidak terlihat lagi, Weko turun dari pondok dan menyusul untuk duduk di sebelah Anung, mendekatkan telapak tangannya ke arah api unggun untuk menghangatkan diri.

"Hei, tidak perlu merenungkan hal itu begitu dalam, usiaku sudah delapan belas tetapi orang tuaku tidak gugup sama sekali." Ujarnya.

Anung mengangguk kepadanya.

"Sebenarnya aku tidak tahu apakah aku ingin menikah."

"Mengapa kau tidak ingin menikah? Hei, meskipun tubuhmu kecil dan kurus, menurutku kau cukup manis, tidak mungkin wanita bisa menolakmu. Ini karena usiamu belum dewasa jadi kau masih tampak seperti bocah."

"Bagaimana jika aku masih tampak seperti ini ketika telah dewasa? Apakah wanita akan menyukainya?"

Weko menepuk bahunya, "tentu saja, wanita itu pasti sangat penuh kasih sayang dan juga keibuan."

Anung justru takut wanita itu akan menyukainya karena dia tampak seperti bocah, dimana harga dirinya sebagai seorang suami nantinya?

Melihat telapak tangan pihak lain yang lebar dan juga keras, Anung melirik ke arah telapak tangannya sendiri dan merasa kehilangan semangat.

Telapak tangannya hanya ramping dan sedikit kurus, sedangkan kulit, itu tidak berwarna kecoklatan dan terlihat jantan seperti yang ia harapkan, tetapi justru kuning langsat dan cenderung pucat yang kini ia lihat.

Weko tampaknya menyadari kelesuannya, "masih ada dua tahun lagi sebelum kau dewasa, segala sesuatunya akan berubah, siapa yang tahu kau akan mendapatkan istri yang rupawan nantinya. Berbahagialah sedikit."

Ya, tentu saja dia akan mendapatkan 'istri' yang rupawan.

[To Be Continued]

Haha, kalimat di bagian akhir sepertinya mengandung spoiler.

~ Ann

Hi_Annchicreators' thoughts