webnovel

[05] Membungkam Bibirnya

"Aku belum bertanya kepadamu tentang bagaimana kau dapat terluka begitu parah?"

Kecanggungan di antara mereka telah mereda, ekor dan telinganya telah kembali menghilang dan Aryasatya juga telah menghabiskan daging beserta dengan makanan yang ia bawa sebelumnya. Ketika Anung bertanya mengenai selera makannya, Aryasatya mengatakan bahwa keduanya baik-baik saja.

Saat ini, Anung tengah menghaluskan beberapa daun untuk memastikan luka di perut Aryasatya segera mengering. Dan ia memutuskan untuk bertanya mengenai hal ini.

Pria yang bersandar di dinding itu hanya terus menatapnya sejak tadi, ketika ia mengira bahwa pihak lain melamun, Aryasatya ternyata menjawabnya, "ada masalah di dalam kelompok, kami bertarung dan aku terluka parah."

Anung meliriknya, "sudah? Hanya seperti itu?"

"Apa yang sebenarnya kau harapkan?" Balas Aryasatya dengan wajah geli. "Jangan menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mendengarkan cerita dongeng hingga kau memikirkan segala sesuatunya akan berjalan seperti dongeng."

"Tetapi, kau sendiri adalah bagian dari dongeng, ah tidak, lebih tepatnya sebuah mitos bagi manusia seperti diriku."

"Oh? Tetapi sekarang aku ini nyata, aku bukan lagi hanya dongeng ataupun mitos." Aryasatya tersenyum kecil. "Bagaimana menurutmu?"

"Aku masih tidak mengira bahwa kau ini benar-benar siluman harimau," Anung berbicara sambil mengumpulkan tumbukan daun obat-obatan itu. "Lebih mudah untuk mempercayai bahwa aku telah membantu seekor harimau biasa."

"Kau tidak salah, pada dasarnya aku juga seekor harimau." Ujar Aryasatya.

"Tetapi kau masih siluman harimau yang dapat berubah menjadi manusia pada detik berikutnya."

Pihak lain menatapnya dengan sungguh-sungguh kali ini, "lalu apakah kau lebih nyaman denganku dalam bentuk manusia atau harimau?"

Mempertimbangkan beberapa hari yang lalu ketika Aryasatya masih seekor harimau besar berbulu putih dengan belang-belang hitam, dan juga kedua mata yang berwarna kuning cerah, dan empat kaki berhiaskan kuku-kuku tajam. Anung menggelengkan kepalanya tiba-tiba dan bergidik diam-diam.

Dia menjawab, "kau yang sekarang baik-baik saja, jika kau tiba-tiba lapar dan melihatku mirip seperti makanan, akan lebih mudah untuk berbicara dalam bentuk manusia, karena aku tidak bisa bahasa harimau."

Tawa renyah terpantul pada dinding-dinding gua. Menggema dan menghasilkan kegugupan yang datangnya entah darimana di dalam hati Anung.

Aryasatya berkata segera setelah tawanya reda, "bocah konyol. Aku sendiripun tidak mengetahui adanya bahasa harimau, kami bicara dengan cara yang sama seperti manusia."

Anung mengangkat kedua bahunya, "aku berpikir siluman akan memiliki bahasa yang tidak dipahami oleh manusia."

"Kami memilikinya," Aryasatya menjawab dengan tenang, dan kali ini kembali bangkit untuk mendekati tempat Anung masih menghaluskan daun yang tersisa. "apakah kau ingin mengetahuinya?"

Melihat bayangan yang jatuh tepat di sampingnya, Anung mengerutkan keningnya dan mengangkat wajahnya ke arah pihak lain, "katakan saja dari tempatmu, mengapa kau harus berdiri begitu dekat?"

Aryasatya masih tidak mengubah raut wajahnya yang penuh kesungguhan, "kami harus menggambarkan bahasa itu dengan tindakan."

"Memangnya bahasa apa yang kau bicarakan ini?" Tanya Anung.

Senyuman licik tumbuh di sudut bibir Aryasatya, "kami memiliki bahasa sendiri ketika ingin kawin."

"Uhuk! Uhuk!"

"Manusia juga memiliki bahasa sendiri ketika kawin." Balas Anung.

Aryasatya tertawa ketika ia bangkit dari depannya, "kau, bocah lima belas tahun, bagaimana kau tahu mengenai hal semacam ini?"

"Darimana kau mengetahui usiaku?"

"Menebak, meskipun sebenarnya melihat dari tubuh kurus dan pendek milikmu ini, seharusnya kau baru berusia paling banyak dua belas tahun. Kawanan di tempatku dalam usia lima belas tahun sudah memiliki tubuh kekar dan tinggi." Jelas Aryasatya dengan senyum mengejek di wajahnya.

Anung ingin memukul orang ini saat itu juga jika ia tidak mengingat bahwa itu adalah siluman harimau, "apakah ini kesombonganmu yang lain?"

"Itu adalah fakta bagi kami."

"Kapan kau akan kembali ke Puncak Larangan? Apakah membutuhkan waktu lama?" Balas Anung.

Aryasatya tertawa lagi, "apakah kau mengusirku?"

"Aku hanya bertanya," sahut Anung dengan wajah kesal. Di samping itu ia masih bergerak dan mulai membubuhkan ramuan daun-daunan itu pada luka di perut Aryasatya. Ia sedikit menunduk, bergerak dengan hati-hati untuk tidak menekan terlalu keras di atas permukaan luka.

Mengamati raut wajah serius milik bocah yang saat ini condong di atas tubuhnya membuat Aryasatya terpaku dan kehilangan kata-kata. Entah sudah berapa lama ada seseorang yang berani menjadi begitu dekat dengannya seperti ini. Bahkan dia mengira bahwa itu adalah takdirnya untuk menjadi sendirian sampai mati.

Pertarungan terakhir adalah hidup dan mati, dia tidak berharap akan bertemu bocah manusia ini dan pihak lain bahkan bersedia untuk merawatnya meski dengan ketakutan.

Perasaan ini sangat rumit dan Aryasatya tidak tahu bagaimana menguraikannya.

Dia hanya meraih tangan bocah itu yang masih memiliki sisa ramuan sana, dan membuat pihak lain semakin kesal, "apa yang kau lakukan? Itu akan tumpah."

"Apa kau marah?" Aryasatya bertanya dengan tenang.

"Tentu saja aku marah, ini adalah kerja keras untuk menghaluskannya dan kau ...."

Saat itu, Aryasatya lebih dahulu menyela ucapannya, "apakah kau marah jika aku kembali ke Puncak Larangan dan tidak kembali ke sini?"

"Aku marah ... hah?" Anung menjawab terlalu cepat dan dia membutuhkan waktu untuk mencerna seluruh ucapan pria di hadapannya. Kedua matanya berkedip dengan bingung.

Setelah beberapa saat, Anung kembali dalam kenyataan, "kau akan kembali ke Puncak Larangan begitu cepat?"

"Bukankah kau yang memintaku untuk cepat kembali ke Puncak Larangan? Dan aku belum mengetahui apakah masih ada kesempatan untuk kembali ke mari. Jadi aku bertanya." Pihak lain menjelaskan dengan tenang.

Tetapi, Anung tidak tenang sama sekali.

Dia telah mengetahui bahwa hari itu akan selalu datang, pada akhirnya Aryasatya tidak memiliki pilihan kecuali kembali ke tempat asalnya. Tanah manusia bukan tempatnya yang sebenarnya. Sebelumnya kekuatan Aryasatya belum pulih, dan dirinya tidak harus begitu memikirkan jika pihak lain-lain akan secara tiba-tiba pergi.

Lantas, bagaimana dengan saat ini? Bukankah lukanya hanya menunggu untuk kering? Bahkan sekarang Aryasatya dapat memiliki wujud manusia seutuhnya, pertanda bahwa kekuatannya telah pulih, adakah yang bisa menghentikan langkahnya?

Tepukan lembut mendarat pada dahinya, di susul dengan tawa renyah miliki Aryasatya.

"Apakah kau begitu sedih sehingga tidak mampu berkata-kata?"

Anung langsung melupakan kebimbangan yang ia lamunkan sebelumnya, "apakah kau sakit jika tidak menggoda orang sekali saja? Kau bisa pergi kapanpun kau menginginkannya. Lagipula, pada akhirnya Siluman harimau memang hanya mitos, dan benar atau tidaknya keberadaan kalian itu tidak penting."

Aryasatya masih menahan tangan Anung yang ingin berbalik pergi, dia masih memiliki senyuman yang samar di wajahnya, "tapi kau jelas mengetahui bahwa aku, Aryasatya, adalah siluman harimau yang nyata."

Anung kesal bukan main, dia tidak bisa melepaskan genggaman di pergelangan tangannya, dan hanya bisa menggerutu, "lalu apa? Tidak mungkin bukan bahwa kau merasa takut aku akan bercerita kepada seluruh orang di desa bahwa siluman harimau yang dikatakan sebagai penunggu Puncak Larangan benar-benar ada, tetapi sayang sekali itu sebenarnya adalah seorang pria yang suka sekali menggoda orang lain."

Aryasatya tidak keberatan dengan gerutuannya, "aku sedikit cemas, itu berkaitan dengan nama baikku dan juga Puncak Larangan, jadi apa yang harus aku lakukan?"

Anung menaikan alisnya, "Lalu apa? Kau ingin membungkam orang yang telah telah menolongmu?"

Aryasatya menarik tangan yang ia genggam untuk lebih dekat dan berkata, "yah, aku ingin mencoba membungkamnya."

Saat itu, Anung belum sempat mencerna maksud dari ucapannya ketika Aryasatya meraih tengkuknya dan mendekatkan wajahnya, dan saat itu kedua bibir mereka telah bertemu satu sama lain.

Anung terbelalak.

[To Be Continued]