webnovel

[03] Balada Orang Tua

"Dasar anak tidak berguna! Kemana kau kemarin, hah? Orang-orang bertanya kenapa kau tidak datang untuk jaga malam? Kau hendak mempermalukan nama bapakmu ini!"

Jari telunjuk pria paruh baya yang rambutnya mulai memutih itu terus teracung, kadang-kadang hingga mendorong kening putranya yang berdiri dengan kepala tertunduk.

"Kemana saja kau kemarin, hah? Katakan!"

Anung tidak banyak membela diri, selain karena sang ayah telah terbiasa bertindak begitu pemarah seperti ini, dia juga menyadari bahwa masalah ini memang kesalahan dari pihaknya. Dia terlalu larut dalam pembicaraan dengan Aryasatya, siluman harimau yang benar-benar ada. Dia tidak ingat untuk melakukan jaga malam sama sekali, setidaknya sampai dalam perjalanan pulang dan dia melihat bekas api unggun di pos jaga, dia akhirnya ingat kewajibannya.

Dia tidak berkilah banyak, "aku tersesat di hutan, pak."

Tidak mungkin bukan untuknya menyebutkan tentang siluman harimau yang secara tidak sengaja telah ia selamatkan, seluruh desa dapat gempar karenanya, dan membuat keselamatan Aryasatya itu terancam, dia juga enggan membayangkan kerja kerasnya untuk mencari tumbuhan obat, juga menangkap hewan liar, hanya akan terbuang sia-sia jika Aryasatya mati.

Plak!

Satu tamparan melayang di atas kepalanya, cukup untuk membuat dia sedikit sempoyongan selama sesaat. Ayahnya juga pekerja keras pada masanya, otot di tubuhnya bukan hanya hiasan, jika tamparan tadi ditunjukan pada wajahnya, maka sudah pasti akan ada memar kebiruan.

Sang ayah menudingnya lagi, "kau pikir dapat mengelabuhiku dengan omong kosong seperti ini? Tidak mungkin kau tersesat di tanah yang menjadi tempat permainananmu sejak kecil! Bocah bodoh!"

Prang! Prang!

Dua piring melayang ke arahnya, dan satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh Anung adalah berbalik dan menutupi kepalanya, berusaha untuk menjauhi cidera yang paling parah. Akibatnya, kedua piring itu mengenai bahunya sebelum jatuh dan hancur menjadi kepingan-kepingan yang tidak beraturan, berserakan di seluruh lantai rumah.

Dia hanya mendesis samar untuk rasa sakit di belakang tubuhnya, tidak ingin berkata banyak atau membalas ucapan dari sang ayah. Tidak ada gunanya, paling jauh akan semakin banyak barang yang dilemparkan kepadanya. Pada akhirnya, dia juga yang memiliki kewajiban untuk mengganti seluruh peralatan yang hancur.

Satu sosok lain datang dari balik pintu, itu adalah ibunya.

"Uhuk! uhuk! ada apa lagi ini, pak? Ibu mendengar suara piring pecah."

Anung berdiri, memapah sang ibu yang telah ringkih dan terkadang harus menahan batuk yang tiada henti. Tidak ada obat yang dapat meredakan penyakit sang ibu, sesekali itu hanya akan sembuh sesaat lantas kembali pada batuk yang parah.

Ibunya selalu berdalih bahwa ini adalah penyakit usia, orang-orang yang mulai menua akan selalu mudah untuk terkena penyakit. Anung ragu penjelasan itu hanyalah cara sang ibu untuk mengurangi kecemasannya setiap kali melihat ibunya tidak bisa bangun dari tempat tidur.

Sang Ayah selalu berteriak tentang perkara ini, mengatakan bahwa penyakit ibunya adalah karena melahirkan anak pembawa sial seperti dirinya. Ibunya mulai lemah sejak hari itu. Dan ayahnya, membencinya untuk perkara ini.

Sang Ayah menunjuk ke arahnya, "anakmu ini, bu! Dia sudah mulai berani mempermalukan nama ayahnya! Tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya!"

Sang Ibu menatap ke arahnya, meminta penjelasan tentang apa yang telah terjadi sebenarnya, Anung hanya bisa berkata yang sejujurnya, "aku tidak datang untuk jaga malam, ibu."

"Dan kenapa kau tidak melakukanya?"

"Kemarin mendung, dan aku tersesat di hutan sampai larut malam." Jelasnya dengan hati-hati, tidak ingin ibunya menangkap kebohongannya.

Sang ibu beralih mendekati suaminya, mengusap lengannya untuk menenangkan, "itu kan hal yang sepele saja, pak. Tidak harus sampai membanting piring juga. Kita bisa mengingatkannya baik-baik, Anung selalu menjadi anak yang patuh, bukan?"

"Terus aja, bu, bela anak pembawa sial ini! Kau lupa siapa yang membuatmu lemah dan pesakitan seperti ini?! Jika sejak awal kita tidak memilikinya, semuanya akan baik-baik saja, kita dapat hidup berdua dengan tenang, sekarang kau lihat anak yang manjakan ini!" Sang Ayah terus berteriak, setelah itu pergi dengan membanting pintu, meninggalkan dua orang yang tersisa untuk termenung dengan pikiran masing-masing.

Anung tidak memiliki banyak reaksi untuk ucapan sang ayah, dia sudah mendengar hal itu berulang-ulang, mungkin dia sudah bosan, atau sudah mati rasa. Tidak ada banyak kesedihan mendengarkan sang ayah mengutuknya sebagai anak pembawa sial. Dia sudah kenyang akan hal itu.

Ia segera membungkuk dan bergegas membersihkan pecahan piring di lantai, membuat sang ibu menatapnya dengan penuh penyesalan.

"Anung, bisakah kau memaafkan, bapakmu? Dia selalu memiliki sikap seperti itu, tetapi ibu yakin bapakmu tidak berniat untuk mengucapkan hal semacam itu." Sang ibu berbicara sambil mengusap puncak kepalanya, ada kegetiran yang samar-samar bercampur dalam nada pembelaannya.

Anung mengangkat wajahnya dan mengulas senyum, "tidak perlu khawatir, ibu. Aku juga mengerti maksud dari bapak, dia tidak akan benar-benar membenciku. Jadi ibu bisa kembali ke kamar, apakah aku perlu menemani ibu?"

"Tidak apa, ibu bisa melakukannya sendiri."

"Baiklah, hati-hati dengan pecahan piring di lantai, bu."

Ketika sang ibu pergi, Anung hanya larut dalam pemikirannya sendiri. Jauh di dalam hatinya, sang ayah tidak akan pernah bisa menerimanya, dia yakin sekali tentang hal itu. Tetapi, demi menenangkan sang ibu, dia tidak punya cara lain kecuali mengatakan pengertiannya pada sang ayah.

Di hadapan warga desa sekalipun, dia harus menjaga nama baik sang ayah, memastikan bahwa orang-orang mengenalnya sebagai pria paruh baya yang selalu bekerja keras dan menyayangi keluarganya. Pertengkaran dan kebencian ayahnya tidak perlu diketahui oleh orang lain, cukup dirinya sendiri.

Setelah memastikan lantai bersih dari pecahan piring, dia segera bergegas menyiapkan sayuran dan juga beras. Memasak juga menjadi tugasnya semenjak sang ibu sudah kesulitan untuk berdiri terlalu lama, dia tidak bisa membiarkan kebencian sang ayah semakin bertambah jika dia tidak melakukan apapun.

Dia menyemangati dirinya sendiri ketika mencuci sayuran di sumur belakang dapur, "tidak apa-apa, Anung. Lakukan semuanya dengan baik, dan biarkan Tuhan yang mengurus sisanya."

Sembari memasak, dia juga mulai menyusun pekerjaan apa saja yang akan ia lakukan hari ini, dan tentu saja mengingat tentang Aryasatya.

"Ah, benar, daging apa yang sebaiknya ku tangkap untuknya hari ini? Hanya membutuhkan beberapa waktu lagi untuknya, dan dia tentu dapat menemukan mangsanya sendiri. Oh, dan juga, aku harus mengingatkannya untuk merawat lukanya sampai benar-benar sembuh."

Tiba-tiba dia tidak sabar untuk pergi ke gua di hutan dan menemui siluman harimau itu, setidaknya dia memiliki teman untuk bercerita dengan pihak lain.

Meskipun, dia juga mulai memikirkan ketika pihak lain akhirnya kembali ke Puncak Larangan, maka mereka tidak akan pernah bisa bertemu lagi.

"Dia hanya kembali ke rumahnya, apa hak yang kumiliki untuk memintanya tetap tinggal, apalagi di dalam gua kumuh itu? Aryasatya tentu telah berharap tenaganya kembali berlimpah dan kembali ke asalnya segera."

[To Be Continued]