*****
"Hei gadis nakal."
Danica langsung menolehkan kepalanya menatap kearah suara dengan bingung, sedangkan pemuda itu berjalan dengan cepat sembari menatap dengan kesal.
"Ada apa Bar?"
"Bodoh, dasar tukang tidur."
"Hei pagi pagi sudah ngajak ribut, ada apa."
Danica langsung memukul lengan Bara dengan kesal sedangkan Bara malah tersenyum sembari menggelengkan kepalanya.
"Kemana saja? Kau bahkan tidak membalas pesanku satupun."
"Pesan?"
"Kau tidak tahu? Waaahh gadis nakal satu ini…"
Danica hanya menggelengkan kepalanya polos sedangkan Bara menatap dengan tidak percaya, Danica pun langsung mengambil ponselnya dan mengecek apakah ada pesan masuk dari Bara dan ternyata memang benar.
Danica langsung tersenyum bodoh tanpa bersalah, Bara sendiri langsung berdecak sebal sembari menatap Danica tajam.
"Huh bagaimana? Benar bukan? Kau tahu tidak, aku sudah kelaparan menunggu balasanmu."
"Salah sendiri menungguku, seperti tidak ada makanan saja di rumah."
"Aku malas makan di rumah."
"Lalu Dina kau kemanakan? Pergi saja dengannya."
"Aku sedang malas pergi dengannya, sudahlah pagi pagi bikin kesal saja dasar tukang tidur."
"Hei dasar Bara bodoh, kau yang mulai bodoh."
"Aiissshh gadis ini…"
"Sebagai gantinya pulang sekolah traktir aku nasi padang, tidak ada bantahan."
Danica yang akan menyela pun langsung terdiam saat mendengar kalimat terakhir Bara, sedangkan Bara langsung berjalan pergi meninggalkan Danica yang masih menatapnya tak percaya.
"HEI BARA BODOH, SEENAKNYA SAJA…. Aisshh…"
"Bagaimana rasanya bertahan dengan kekasih orang Danica?"
Danica langsung menolehkan kepalanya dengan pandangan yang sulit diartikan, Danica sendiri langsung memutar bola matanya malas saat tahu sang pemilik suara.
"Apa yang ingin kau sampaikan sebenarnya?"
"Mau sampai kapan kau akan bertahan disamping Bara?"
"Apa salahnya? Kita berteman?"
"Tidak menutup kemungkinan kau menaruh hati padanya bukan?"
Amel tersenyum remeh saat merasa dirinya dapat mengalahkan Danica dengan telak, melihat Danica yang hanya diam saja membuat Amel berfikir jika dirinya sudah menang dari Danica hari ini.
"Aku tidak salah bukan? Selamat menikmati pagi mu nona Danica Amarthea."
Amel melangkah dengan tenang sembari tersenyum bangga, merasa jika pagi ini adalah keberuntungannya. Melihat Danica yang hanya diam saja membuatnya merasa begitu senang. Tapi lagi lagi ekspetasinya berbalik, suara Danica mengalun dengan ringan membuat langkah Amel terhenti.
"Lalu bagaimana rasanya menyukai teman sendiri Mel?"
Amel langsung membalikkan tubuhnya menatap Danica dengan tajam, lihat diamnya seorang Danica itu bukan berarti kekalahannya. Danica tidak akan kalah dengan mudah.
"Aku tidak menyukai siapapun, jangan bersikap kau tahu segalanya." Danica sendiri langsung melangkahkan kakinya pelan mendakati Amel sembari tersenyum miring dengan tatapan meremehkan.
"Rehal tidak akan pernah tahu jika kau tidak memberitahukan apapun padanya."
Amel langsung menelan ludahnya kasar saat nama Rehal disebut dengan ringannya oleh bibir tipis Danica, karena selama ini tidak ada satupun orang yang tahu jika dirinya memang menyukai Rehal, lalu bagaimana Danica bisa tahu semuanya.
"Jangan bersikap kau tahu segalanya, kau bahkan belum mengenalku mel."
Danica langsung menepuk pelan bahu Amel lalu ia berjalan meninggalkan Amel yang menahan amarahnya sembari mengepalkan tangannya.
"DANICA SIALAN…."
Danica hanya tersenyum miring penuh kebanggaan saat tahu jika lagi lagi Amel kalah telak dengannya, disini Amel harus menyadari butuh banyak strategi untuk mengalahkan Danica.
*****
"Masih tidak ingin berdamai dengan Danica?"
"Berhenti membahas itu La, kau bahkan sudah menanyakan hal itu berulang kali."
"Aku hanya tidak ingin kalian terus bertengkar."
"Dan itu bukan urusanmu, lihat Chaca bahkan hanya diam saja tidak cerewet seperti mu."
"Aiisshh kenapa malah aku yang kena, aku kan berniat baik. Kenapa harus membandingkan aku dengan Chaca."
Raula menatap Adel dengan kesal karena lagi lagi dirinya dibandingkan dengan Chaca setiap kali membahas Danica.
"Maaf ya Raula Emma yang cantik jelita tidak mudah marah dan suka tidur."
Adel mencoba menggoda Raula agar gadis itu tidak terus kesal pada dirinya dan mencoba mengalihkan perhatian Raula untuk tidak terus membahas Danica.
"Tidak mau, aku marah. Oke."
"Jangan marah La, kau mau apa? Kita pergi nanti sepulang sekolah, oke?"
"Benarkah?" mata itu langsung berbinar dan Adel hanya menganggukkan kepalanya sembari tersenyum bangga membuat Raula tersenyum senang.
"Baiklah, belikan aku coklat dan juga sushi maka aku akan memaafkanmu."
"Dasar tukang makan."
"Kalau tidak mau tidak masalah."
"Iya iya, kita jalan jalan. Call."
Keduanya langsung tersenyum senang sembari sesekali saling bercanda dan tidak lupa juga Chaca kembali menjadi sasaran keduanya saat saling mengejek.
"Jadi mulai sekarang berhenti bertanya tentang Danica, oke? Aku sedang tidak ingin membahasnya."
Raula hanya menganggukkan kepalanya patuh lalu kembali bercanda dengan kedua temannya, Danica sendiri langsung menghentikan langkahnya saat akan duduk dibangkunya. Bahkan ketiga temannya tidak menyadari kehadirannya.
Dan Danica mendengar semuanya, harapannya untuk kembali bersama teman temannya pun sudah hilang tanpa sisa. Ia hanya tidak ingin kembali berharap pada apa yang selalu menjadi fatamorgana pada hidupnya.
Danica langsung duduk dibangkunya sembari mendengarkan music melalui earphone miliknya, bayang bayang semalam kembali teringat dalam fikirannya Danica. Dimana saat dirinya pergi ke rumah sakit dengan sang Ayah untuk mengecek keadaan tubuhnya.
"Saya tidak bisa mendiagnosa begitu saja sebelum semua pemeriksaan dilakukan tapi yang jelas kalau bisa jangan sampai anak bapak terlalu lelah dan banyak beban pikiran."
"Kita hanya bisa mencegah untuk tidak mengakibatkan keadaan yang lebih serius pada paru paru anak bapak."
Ucapan sang dokter kembali terngiang pada rungunya, Danica hanya tidak ingin mendengar kenyataan yang lain. Danica tidak ingin melakukan pemeriksaan lebih lanjut pada tubuhnya, ia hanya takut jika tubuhnya memang sudah ada pada batasnya.
Setelah pulang dengan Kharel semalam Danica memutuskan untuk pergi ke rumah sakit bersama sang Ayah yang bahkan baru pulang kerja, Danica hanya takut terjadi sesuatu pada dirinya tapi kenyataan memang sejahat itu pada hidupnya.
"Danica tidak boleh bahagia ya, Bu…" batin Danica sembari menundukkan kepalanya dan menutup mata seakan ia sedang tertidur dengan terduduk. Danica hanya ingin menyembunyikan kesakitannya, lagi dan lagi.
"Sejahat itu dunia pada sosok yang tidak berguna."
Danica tersenyum miring dengan tipis seakan menertawakan hidupnya sendiri, seakan bahagia selalu meminta tumbal ganti akan rasa senangnya, semua akan terenggut dalam hitungan detik setiap dirinya merasa bahagia. Tapi saat ia merasa begitu sakit dan jatuh tidak sekalipun rasa bahagia yang datang.
Danica menyerahkan hidupnya pada takdir yang sudah tertulis untuknya, Danica hanya tidak ingin berjuang lagi untuk hidupnya tapi Danica masih punya satu mimpi. Mimpi yang harus ia wujudkan sebelum kenyataan kembali merenggut hidupnya.
Danica ingin menggapai mimpinya bersama tujuh pemuda yang selalu ada dalam hidupnya.
*****