Puluhan tahun yang lalu. Perang yang berkecamuk antara barat dan timur terus saja berlanjut. Sudah banyak nyawa yang harus mati sia-sia dalam perang dingin tersebut.
Para petinggi kerajaan selalu haus akan kekuasaan, membuat para rakyat kecil menjadi korbannya.
"Jangan! Jangan bawa suami saya. Dia tidak bisa bertarung dan berperang. Saya mohon! Jika dia pergi siapa yang akan mencari makan untuk kami!"
Seorang wanita dewasa memohon pada para prajurit yang secara paksa mencari pria-pria dewasa untuk ikut berperang.
Seluk-beluk desa didatangi. Pria-pria dewasanya diminta untuk ambil adil dalam perang yang berkepanjangan itu.
"Menyingkir kau! Ini adalah perintah dari Raja. Semua laki-laki dewasa harus ikut berperang, tanpa pengekecuali!"
"Perintah Raja tidak boleh dilanggar. Menyingkir kau dari jalan kami!"
Mereka tanpa kasihan memperlakukan sesama manusia seperti sampah. Para wanita pun di hari itu juga telah menjadi janda.
Percuma mereka menjerit meminta belas asih, karena nyatanya mereka hanyalah orang biasa yang tak bisa melawan ataupun membelot.
Para anak laki-laki yang berusia 10 tahun mulai dijadikan budak. Mereka yang masih belia harus menjalani kerja paksa di kebun-kebun milik pemerintah. Tanpa diberi upah, hanya makan dan minum saja.
Sementara rakyat kecil semakin menderita, para petingginya malah menikmati kekayaan dari jari payah dan keringat para penduduk.
Mereka yang berperang harus mati memperebutkan kekuasaan dan harus tertindas oleh yang berkuasa.
Perang timur dan barat tidak pernah berhenti walau jaman sudah mulai berubah.
Pemimpin kerajaan barat tak pernah puas dengan apa yang mereka telah miliki sekarang. Sementara itu timur yang hanya kerajaan kecil selalu merolong meminta kemerdekaan mereka.
Desa Arsa. Desa yang berbatasan langsung antara barat dan timur. Desa yang kerap dijadikan jalur persembunyian kerajaan timur dari pengejaran pasukan barat.
"Tangkap semua prajurit kerajaan timur! Jangan sampai mereka lolos dan kembali ke kerajaannya!"
Seorang Jenderal duduk di atas kuda putihnya dengan sangat gagah. Perintahnya sangat tegas kepada seluruh pasukan yang ada.
Pengejaran terjadi. Pasukan timur telah terkepung. Mereka terdesak di desa Arsa tanpa adanya perlawanan.
Desa ini menjadi hancur dan luluh lantah karena penangkapan tersebut. Para penduduknya banyak yang pergi dan mencari perlindungan diri. Dan sebagian penduduknya mati sia-sia di sana.
Sisa pasukan timur telah tertangkap. Jenderal Samana Janardana turun dari atas kuda putihnya.
Dia merasa miris atas kejadian yang menimpa desa Arsa tersebut.
"Perang yang tak berakhir antara kedua kerajaan telah membuat desa ini menjadi lautan darah para penduduk yang tak berdosa."
Ada rasa penyesalan dalam dirinya kepada para korban yang harus mati sia-sia hanya karena perang tersebut.
Langkah kakinya menuntun ia untuk melihat mereka-mereka yang telah kehilangan nyawanya tersebut.
"Ibu! Hiks …."
Samana melihat seorang anak laki-laki tengah duduk tersungkur, seraya menangisi jasad Ibunya. Mungkin?
Jenderal yang berjuluk Balakosa itu mendatangi anak laki-laki itu.
"Hei, nak!" Dia duduk mendampingi anak tersebut.
"Siapa paman? Apakah paman datang ingin membunuhku juga?"
Anak itu bertanya dengan polos pada Jenderal Samana. Kedua mata anak itu sembam dan membengkak ketika Samana menatapnya.
"Tidak. Paman datang kemari hanya ingin berkenalan dengamu. Siapa namamu, anak manis?" kata Samana.
"Kata Ibuku, jangan pernah mengatakan nama kepada sembarang orang. Terutama jika dia orang asing. Paman sepertinya bukan dari desa ini."
Anak itu membalikan pertanyaannya. Dia tampak berani dari seusianya.
"Ya, benar. Aku memang bukan dari desa ini. Bagaimana kamu tahu, anak manis?"
"Aku tahu dari pakaian paman. Tidak mungkin pakaian yang mahal seperti yang paman pakai itu tinggal di desa seperti ini. Paman pasti dari kerajaan?"
Perkataannya membuat Samana tertegun. Anak ini memang benar-benar pintar dalam hal berbicara.
"Ya, paman memang dari kerajaan. Lalu, siapa namamu, anak manis?"
"Paman jangan memanggilku dengan sebutan anak manis. Namaku Ekawira! Ekawira, dan bukan anak manis."
Dia sedikit kesal karena Jenderal Samana memanggilnya dengan seenak jidat. Anak ini terlihat kuat. Samana bisa merasakan aura tenaga dalam yang sangat besar dari anak yang bernama Ekawira tersebut.
"Baiklah, Ekawira. Lalu siapa dia?" Samana bertanya tentang wanita yang tergeletak dalam pangkuan kecil Ekawira.
"Dia Ibuku, yang pemberani. Dia wanita hebat yang demi melindungi diriku harus merelakan nyawanya. Ibuku selalu berkata. Dia tidak akan membiarkan diriku terluka. Jadi dia maju kedepan dan melawan para prajurit itu."
"Kasihannya dirimu." Samana mengelus kepala Ekawira.
Ada belas kasih dalam dirinya pada anak tersebut. Termasuk pada orang-orang yang telah tiada di sekitarnya.
"Lepaskan tangan paman! Aku tidak perlu perhatian dari paman. Ibuku selalu mengajariku. Jangan pernah menerima pertolongan orang asing, tanpa kau mengenal asal usulnya. Paman ini siapa? Mengapa paman ada di desaku?"
"Aku adalah Jenderal Samana Janardana, dari kerajaan barat."
Pengakuan pria berpakaian sutra berwarna biru dan sangat besar itu membuat Ekawira mengepalkan tangan mungilnya.
Ada rasa kesal yang memantik di dalam hari kecilnya. Dia bukanlah anak kecil yang bisa dengan mudah dibohongi.
Ekawira sadar jika yang sekarang ada di depan matanya adalah seseorang yang telah menghancurkan desa serta membunuh kedua orang tuanya.
Seketika raut serta tatapan anak itu menjadi tajam dan keras. Samana sadar jika Ekawira sedang menunjukan rasa marahnya. Namun, anak kecil ini tidak berani untuk melawan.
Samana membiarkan Ekawira untuk melawan, tapi tampaknya anak ini menahan itu.
"Ikutlah dengan paman. Paman akan menjadikanmu Ksatria hebat di masa depan nanti."
Jenderal itu malah mengulurkan tangannya untuk mengajak Ekawira agar mau bergabung dengannya.
"Terima kasih paman. Saya tidak ingin mempercayai orang asing dengan begitu saja. Terutama paman adalah Jenderal dari kerajaan negeri ini. Saya tidak ingin memiliki urusan lebih dalam dengan kerajaan yang sudah membuat seluruh rakyatnya menderita."
Bocah 10 tahun ini membuat Samana tertegun dengan kata-katanya. Sungguh anak yang penuh prinsip kuat.
Sorot matanya sudah menggambarkan jiwa ksatria yang sangat kuat dalam dirinya.
"Paman bisa memahami itu, tetapi apakah dengan dirimu yang sekarang kau bisa melawan kerajaan? Bukankah dengan bersatu kau baru bisa mengalahkan kerajaan ini?"
"Saya tidak perlu bersatu, ataupun menjadi pengikut anda. Saya bisa berjuang sendiri. Karena Ibuku selalu berkata. Jika aku tidak boleh mempercayai orang asing terutama dari abdi kerajaan seperti anda."
Anak ini menolak dengan keras ajakan Samana tersebut. Sudah bisa tertebak jika Ekawira memang bukanlah anak desa biasa. Ada takdir lain yang akan dia ciptakan sendiri di masa depan.
Samana saat ini telah melihat era baru dari kerajaan serta negeri ini daei takdir yang akan Ekawira ciptakan nanti.
"Tidak apa-apa jika dirimu tidak mau mempercayai paman. Tapi, setidaknya pikirkan mereka-mereka yang telah tiada ini. Ibumu. Lihatlah dia yang harus berkorban demi melindungi nyawamu. Apakah dirimu tidak ingin membalas atas kematiannya?"
Ekawira menurunkan emosinya. Ada kesadaran dari dirinya kepada semua nyawa-nyawa yang telah tiada itu.
Dia melihat sekitarnya. Desa yang dahulu aman dan damai kini telah berubah menjadi lautan mati.
Orang-orang yang dia kenal harus menderita. Menyerahkan nyawa berharga mereka hanya karena perang yang berkepanjangan ini.
"Baiklah. Jika memang ini demi kedamaian negeri ini, maka aku akan mempercayai paman, tetapi aku tidak akan sepenuhnya mau mengabdi pada kerajaan. Bahkan aku akan berusaha untuk menghancurkan kerajaan demi mengembalikan kedamaian seluruh negeri!"
"Ya, kau pasti bisa mendapatkan itu semua. Mari ikut denganku dan paman akan menjadikanmu seorang Jenderal besar di masa depan nanti."
Samana mengulurkan tangannya kembali. Meminta Ekawira untuk bergabung dengan dirinya.
Sedikit ragu untuk meraih tangan itu, tetapi Ekawira memandang jasad Ibunya dan berkata.
"Ibu, aku akan menjadi pendekar hebat seperti yang Ibu inginkan. Aku akan memenuhi janjiku pada Ibi dan Ayah. Aku akan membawa kedamaian dunia pada negeri ini. Janjiku padamu, Ibu."
Hatinya telah mengiklar janji. Matanya menatap tegas Jenderal Samana, lalu bersamaan tangannya meraih tangan Jenderal tersebut.
Senyuman diberikan Samana pada Ekawira, "Paman jangan senang dahulu. Aku mempercayai paman hanya untuk Ibuku saja. Jika paman berbohong, maka aku tidak akan segan-segan untuk melawan paman. Ingat itu!"
Ekawira menggertak, tetapi Jenderal Samana menanggapinya dengan bangga. Itu yang diharapkannya. Seorang pemuda yang akan tumbuh menjadi Jenderal besar.
Samana mengajak Ekawira meninggalkan desa yang menjadi tanah kelahirannya itu.