Percakapan antara Bunda, Sinta, Ruri, dan juga Saka kala itu menjadi petaka. Sore yang mereka kira santai dan damai itu menjadi bibit permasalahan yang membesar di antara ketiga sahabat itu. Konflik yang membesar dan memanas muncul dari banyaknya pertikaian serta perdebatan. Semenjak itu, tak ada lagi sore yang santai dan damai, bahkan pagi serta siang pun menjelma malam yang kelam bagi ketiga sahabat itu.
Kala itu Sinta menyadari jika ada perubahan diantara mereka. Khususnya pada kekasihnya, Saka. Ia menyadari jika percakapan mereka dengan Bunda waktu itu menimbulkan gejolak. Semua semakin bertambah ketika ia menyadari jika Ruri juga bertingkah berbeda. Belum selesai dengan masalah masa depannya, kedua sahabatnya ikut menambah peningnya kepala.
Sore hari yang berganti malam membuat Sinta dan keluarga berkumpul untuk makan malam. Mereka duduk di kursi yang ada di ruang makan.
"Ayah, Sinta bicara jika dirinya ingin mengambil Jurusan Sastra Indonesia ketika kuliah nanti." Lapor Bunda kepada Ayah.
"Oh, ya? Kamu sudah menentukan hal itu?" Tanya Ayah.
"Iya, sudah. Bagaimana menurut Ayah?" Sinta bertanya balik kepada Ayah.
"Boleh saja, selama ini kamu memiliki bakat sastra yang Bunda dan Ayah rasa perlu untuk di kembangkan."
"Ayah setuju? Mungkin orang tua di luar sana akan menentang hal ini, lho. Karena kebanyakan mereka menilai jika jurusan itu bukan jurusan yang populer."
"Memangnya kenapa jika tidak populer?"
"Banyak yang menilai jika jurusan itu tidak punya masa depan yang cerah. Pekerjaan yang menyangkut dengan hal jurusan sastra tidak banyak diperlukan seperti layaknya dokter."
"Lalu, kamu mampu jika mengambil jurusan dokter?"
Sinta menatap Ayah dengan terkejut, "Tentu saja tidak!"
Ayah dan Bunda tertawa, "Begini, Nak. Setiap orang memiliki penilaian mereka masing-masing. Kita sebagai sesama makhluk sosial, tentu tidak bisa menyalahkan hak mereka di dalam berpendapat. Dan pendapat Ayah, kuliah itu soal urusan menuntut ilmu, bukan pelatihan kerja. Memang benar jika nantinya kamu akan bekerja setelah menuntut ilmu di perkuliahan. Tapi, tujuan utama dari sebuah perguruan tinggi adalah pendidikan lanjutan. Kamu akan mempelajari suatu ilmu lebih dalam lagi, sehingga dalam hal itu diperlukan pilihan yang harus kamu pilih sebelum kuliah. Jika kita mengikuti pendapat masyarakat, mungkin kamu akan tersiksa dengan banyaknya materi dari ilmu kedokteran yang tidak kamu mengerti. Lalu apa yang kamu mengerti? Kita sebagai manusia pasti memiliki bakat masing-masing. Dan setiap orang memiliki bakat yang berbeda-beda, Nak. Bakatmu adalah kamu bisa dengan cepat paham dalam merangkai kata-kata menjadi satu kesatuan puisi indah. Skenario di otakmu juga banyak sekali yang menghasilkan adegan-adegan di dalam cerita pendek. Itu tandanya kamu memiliki bakat sastra. Tak masalah untuk tak mengikuti pendapat umum, sebab hidup bukan selalu mengenai orang lain, melainkan juga diri kita sendiri." Jelas Ayah panjang lebar.
Mendengar Ayah yang berkata sangat panjang itu membuat Sinta terharu, "Astaga, aku tidak menyangka jika Ayah begitu bijaksana." Ia memperagakan gerakan mengusap air mata di pipinya dan Ayah mencibirnya.
"Lalu kamu akan mendaftar di perguruan tinggi mana?" Tanya Ayah.
"Belum tahu."
"Kamu berencana untuk satu perguruan tinggi dengan Saka, ya?" Tanya Bunda. Dari percakapan mereka tadi sore, Bunda menyadari jika sepasang kekasih itu memiliki keinginan untuk berada di kampus yang sama.
"Tidak. Maksudku, aku belum memikirkan hal itu." Sebenarnya dirinya sangat ingin untuk masuk di perguruan tinggi yang sama dengan Saka. Sinta berencana untuk mengatakan hal tersebut kepada kedua orang tuanya, namun ia urungkan. Ia yang tahu respon Bunda pada saat Saka menceritakan tentang perguruan tinggi yang ada di Jawa Tengah dan menjadi ragu untuk berbicara kepada orang tuanya. Dirinya juga belum menyampaikan maksudnya kepada Ruri.
"Memangnya Saka mau masuk ke perguruan tinggi mana?" Tanya Ayah.
"Di Jawa Tengah." Jawab Sinta yang mengundang perhatian Ayah. Ayah menatap langsung ke manik mata anaknya itu. Dan seketika tidak ada lagi percakapan di hari itu.
Di hari-hari selanjutnya mereka masih bertemu satu sama lain. Bertatap muka seperti biasa, namun obrolan tak lagi sekaya dulu. Minim percakapan di kala pagi hingga siang hari, berjam-jam duduk bersama tidak menjadikan mereka senantiasa mengobrol seperti biasanya. Sinta yang menyadari itu pun mencoba untuk bertanya, ia bahkan mencoba untuk memperbaiki sesuatu yang bahkan dirinya tak tahu letak kesalahannya di mana.
Seperti biasa, Ruri datang ke rumah Sinta sepulang dari sekolah. Dirinya mengobrol tentang banyak hal dengan Sinta di kamarnya. Percakapan biasa yang mereka bicarakan pun lambat laun berubah menjadi percakapan serius.
"Ri, aku mau tanya, deh."
"Soal apa?"
"Menurutmu bagaimana jika aku mendaftarkan diri ke perguruan tinggi yang ada di Jawa Tengah?"
"Kamu ingin mendaftar ke perguruan tinggi yang sama dengan Saka?" Tanya Ruri dan Sinta mengangguk.
"Kalau boleh tahu, kenapa? Apa karena Saka yang memintamu untuk satu perguruan tinggi dengannya?" Tanya Ruri menyelidik.
"Tidak, dia tidak menyuruhku untuk melakukan itu, dia hanya mengajakku. Lalu sebenarnya aku juga mau untuk satu perguruan tinggi dengannya."
"Bagaimana dengan kedua orang tuamu? Kulihat, sewaktu kita mengobrol dengan Bunda sore hari itu, Bunda terlihat tidak menyetujuinya."
"Itu masalahnya, aku sudah pernah mengobrol mengenai itu dengan Ayah dan Bunda. Tapi mereka hanya diam saja sambil menatapku aneh."
"Lalu? Kamu tetap mau mewujudkan keinginanmu?" Sinta mengangguk.
"Kamu mau tidak membantuku untuk berbicara dengan Bunda dan Ayah?"
Ruri terdiam mendengar perkataan sahabatnya itu. Sinta pun berkata, "Respon Bunda dan Ayah sama sepertimu."
"Bukannya aku tak mau." Kata Ruri dengan menghela napas. Ia melanjutkan ucapannya, "Memberi restu kepada anak untuk pergi jauh itu sangat sulit dilakukan. Apalagi kedua orang tuamu yang sejak kamu kecil mereka sangat dekat denganmu, kamu anak tunggal yang membuat mereka semakin sulit untuk melepasmu, meskipun itu adalah urusan menuntut ilmu. Aku tak berani jika harus berbicara kepada mereka untuk itu." Ruri mencari alasan yang tepat untuk meyakinkan Sinta.
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" Sinta dan Ruri terdiam. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
"Memangnya jika kamu berkuliah di kota ini, kamu tidak mau?" Tanya Ruri dengan hati-hati.
"Bukannya tak mau." Kata Sinta menggantung. Ia terlihat tak mau melanjutkan ucapannya.
"Lalu kenapa?" Tanya Ruri dengan sedikit mendesak.
"Aku tak tahu nanti akan jadi seperti apa jika aku dan Saka berpisah. Maksudku, aku bukan orang yang bisa berada di suatu hubungan dengan orang lain. Tapi saat aku bertemu dengan Saka, rasanya dia bisa mengatasi masalahku itu. Ia membawaku mengenal romansa yang manis, dan dirinya pula yang membuatku tahu jika manisnya kisah cinta itu tak hanya bisa ditemui di novel-novel yang kubaca."
Ruri menatap mata sahabatnya itu dengan serius, sepertinya ia harus melakukan sesuatu.
"Aku tahu jika ini adalah kisah cinta pertamamu, Saka adalah orang yang bisa membuatmu bahagia dengan kehadirannya. Dan aku juga tahu jika hubungan jarak jauh sangat sulit untuk dilalui, meskipun aku belum pernah merasakannya, tapi aku juga tak bisa membayangkan jika Banu tak ada di dekatku. Tapi, jika harus egois melawan restu orang tua, aku tak yakin jika masalah itu tidak lebih serius dengan persoalan hubungan jarak jauhmu dengan Saka nanti." Sebenarnya Ruri ingin sekali memberitahu sahabatnya itu, tapi ia rasa saat ini bukanlah waktu yang tepat.
"Kamu benar, tapi aku bertanya kepadamu tentang suatu hal. Saat aku bertanya mengenai hal ini, kamu jangan salah paham dulu, ya." Ruri mengangguk.
"Selama kita membicarakan masalah perkuliahan, aku merasa jika kamu sangat sering menyinggung perguruan tinggi yang ada di kota ini. Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa, aku hanya berpikir jika kamu akan suka dengan perguruan tinggi yang ada di kota kita ini. Dan juga selama aku berbicara dengan orang tuamu, kedua orang tuamu sepertinya mendukungmu untuk tidak berkuliah jauh dari mereka. Maaf jika aku terkesan egois dengan mengarahkanmu untuk berkuliah di kota kita. Lagipula, jika hanya berdua dengan Saka di sana, tak ada yang mengawasi kalian berdua."
Sinta tertawa, "Saka tak akan berani macam-macam denganku."
Ruri terdiam beberapa saat, "Kita tak tahu dengan apapun yang ada di masa depan. Dan tak ada yang tahu persis mengenai orang lain selain orang yang bersangkutan itu sendiri." Kata Ruri dengan serius.
Sekarang giliran Sinta yang terdiam. Setelah itu ia bertanya, "Sejak percakapan kita sore itu dengan Bunda, kamu dan Saka terlihat berbeda. Apakah ada sesuatu yang tidak aku ketahui?"
Ruri terdiam beberapa saat, "Aku juga tak mengerti dengan apa yang terjadi. Tapi tolong, apapun yang terjadi nanti, tolong pertimbangkan lagi soal kuliahmu." Sejak saat itu Sinta tahu jika ada sesuatu yang tidak beres.
Keesokan harinya, Sinta datang ke rumah Saka untuk memberinya masakan Bunda di pagi Minggu yang cerah. Ia bertujuan untuk memberikan masakan Bunda sesuai dengan petunjuk Bunda. Namun dibalik itu semua, ia juga hendak bertanya tentang keanehan yang ia rasakan akhir-akhir ini. Perihal Saka yang tak banyak bicara serta perihal adanya jarak yang tak kasat mata diantara dirinya, Saka, serta Ruri.
Sinta mengetuk pintu dan beberapa saat kemudian, terlihat mama Saka membukakan dirinya pintu.
"Eh, ada Sinta." Sapa Mama.
"Tante, ini Sinta membawakan kari masakan Bunda."
"Wah, terima kasih. Jadi repot kamu mengantarkannya."
"Tidak kok, Tante."
Mama Saka tersenyum, "Ayo, masuk dulu. Saka ada di kamarnya, kamu langsung saja masuk. Tante buatkan kamu minuman."
"Iya, Tante. Terima kasih."
Sinta pun segera naik menuju kamar Saka. Saat di perjalanan, dirinya mendengar sayup-sayup suara lelaki berbincang.
"Memang hebat kamu, Sa. Usahamu tak sia-sia untuk mendapatkan Sinta sebagai kekasih." Ada seseorang yang berbicara dari arah kamar Prada. Seseorang yang berbicara itu mungkin adalah teman dari kakak Saka. Mendengar topik pembicaraan mereka tentang dirinya, Sinta pun mengurungkan niat untuk memanggil Saka.
"Tentu saja. Lagipula tak mungkin dia bisa menolak pesonaku." Kali ini giliran Saka yang berbicara dan dibalas oleh tawa beberapa orang di sana.
Sinta menaikkan satu alisnya ketika mendengar ucapan kekasihnya itu, "Bagaimana rasanya bisa menjadi kekasihnya selama ini?"
"Menyenangkan, banyak orang yang iri melihat kami." Kata Saka sambil tertawa.
"Oh, kalian menjadi pasangan populer di sekolah?"
Terdengar Saka tertawa, "Ya, bagaimana tidak, Sinta dulu dikejar-kejar oleh banyak lelaki. Dan lihat saat ini, bukan salah satu dari mereka yang berhasil mendapatkannya, melainkan justru sahabat baiknya sendiri."
Sinta sangat terkejut dengan ucapan Saka. Ternyata Ruri benar, kita tak akan pernah tahu keseluruhan diri dari orang lain. Selama ini, ia begitu bahagia dengan kehadiran Saka. Ia sangat berharap jika Saka adalah sosok yang baik untuk dirinya, sebab hanyalah Saka yang bisa membuat hatinya luluh. Ia percaya jika Saka tak akan mengecewakan dirinya.
Rencananya untuk menyelesaikan masalah diantara dirinya, Saka, dan Ruri justru menghasilkan masalah yang lain. Ia mungkin bisa memaafkan kekasihnya jika ia berbuat kesalahan seperti bertengkar dengannya, namun jika Saka hanya menganggapnya sebuah piala yang membuat dirinya terlihat lebih hebat dari yang lain, itu merupakan hal yang tidak bisa ia maafkan. Kesalahan itu tak bisa membuat hubungan mereka dilanjutkan.
"Lho, Sinta. Kok kamu berdiri saja di sini?" Tanya Mama kepada Sinta yang membuat percakapan lelaki di dalam kamar Prada berhenti. Terdengar suara langkah kaki seseorang keluar dari kamar, dia adalah Saka.
"Sinta? Kamu kok ada di sini?" Mendengar pertanyaan Saka, Sinta tersenyum.
"Sinta sejak tadi datang, kamu tidak tahu?" Kata Mama dan Saka terdiam.
"Terima kasih minumannya, Tante." Kata Sinta meraih minuman yang diberikan oleh Mama dan mama Saka pun segera turun ke lantai bawah lagi.
Sinta menatap ke arah Saka, "Sebenarnya ada yang mau aku tanyakan." Tanya Sinta yang mengundang tatapan tegang dari Saka.
"Apa?"
"Akhir-akhir ini kamu sepertinya berbeda denganku dan juga Ruri. Ada apa?"
Saka menghela napas panjang sebelum berkata, "Aku hanya kepikiran soal sesuatu."
"Soal apa?"
"Tunggu dulu, kamu tadi dengar pembicaraanku dengan teman-teman Mas Prada?"
"Jawab pertanyaanku dulu." Kata Sinta.
Saka menatap mata kekasihnya dengan seksama, "Aku hanya kepikiran soal kuliah kita. Kamu mau atau tidak satu perguruan tinggi denganku?"
"Aku mau, tapi sepertinya Bunda dan Ayah tidak mengizinkan."
"Apa karena Ruri?" Pertanyaan Saka mengundang tatapan terkejut Sinta.
"Apa maksudmu?"
"Kamu bilang jika Ruri memiliki misi untuk meyakinkan orang tuamu perkara jurusan kuliah. Apa dia juga membujuk orang tuamu untuk melarangmu berkuliah denganku?"
Sinta tertawa sinis, "Pertanyaanmu terlalu jauh, Sa. Kamu tahu sendiri bagaimana Ruri, kan? Selama dia berbicara dengan orang tuaku, dia tak pernah sekalipun menyinggung tentang pilihan perguruan tinggi kita." Sinta berbicara sambil meletakkan gelas minuman di meja yang ada di ruang tengah lantai dua.
"Lalu apa yang dia bicarakan?" Tanya Saka dingin.
"Dia hanya berbicara mengenai jurusan yang ingin aku pilih. Hanya itu."
Saka menatap lurus ke arah mata Sinta dan berkata, "Jika memang kamu tidak mau, katakan saja."
"Tidak mau apa? Aku sudah bilang jika aku mau satu perguruan tinggi denganmu, hanya saja Bunda dan Ayah tidak setuju."
"Lalu bujuk mereka. Kamu kan bisa berbicara dengan mereka, kalau perlu ajak Ruri untuk membujuk. Dia kan sahabatmu yang paling kamu percaya dan bisa diandalkan."
Sinta menggelengkan kepala tak percaya, "Aku tahu kamu sedang kesal, tapi tolong jangan libatkan Ruri di dalam perdebatan kita. Dia sama sekali tidak ada hubungannya dengan ini."
"Tidak ada hubungannya? Dia adalah orang yang menghasut kedua orang tuamu supaya tidak mengizinkanmu berkuliah di Jawa Tengah bersamaku. Kamu ingat ucapannya waktu itu? Dia sengaja membuatku berbicara tentang jurusan yang ada di perguruan tinggi kota ini. Dia sengaja melakukannya! Dia memanfaatkanku!"
"Kamu jangan bicara sembarangan! Ruri berkata demikian hanya untuk meyakinkan Bunda tentang jurusan kuliah, bukan tentang perguruan tinggi!" Sinta mencoba untuk menahan seruannya supaya tidak terlalu keras.
"Terus saja kamu membelanya! Bela terus dia sampai nanti dia juga menghasutmu untuk meninggalkanku!"
Sinta menatap Saka tak percaya, dia benar-benar tidak menyangka dengan ucapan Saka terhadap Ruri. Saat mendengar ucapan buruk Saka terhadap hubungannya, seharusnya yang merasa marah adalah dirinya, namun saat ini justru Saka yang emosi.
"Aku tak akan meninggalkanmu. Dan Ruri tidak akan melakukan itu." Kata Sinta tegas.
Saka tertawa sinis. "Dia akan melakukannya. Dia akan melakukan semuanya untuk menjauhkan siapapun darimu! Dia cemburu saat tahu kamu lebih dekat denganku! Dia hanya berpura-pura polos dan manis, padahal hatinya sangat busuk!"
Sinta benar-benar tak habis pikir dengan ucapan Saka, "Jangan. Libatkan. Dia. Di. Perdebatan. Kita."
"Lihat, bahkan kamu lebih mementingkan dirinya saat kita berdebat daripada kekasihmu!"
"Memangnya kenapa? Dia sahabatku, dan kamu hanyalah kekasih yang tidak tahu apa-apa! Kamu adalah kekasih yang merasa menang, sebab telah berhasil mendapatkanku!" Saka terdiam.
Sinta tertawa sinis, "Benar, kan? Kamu tidak mencintaiku dengan tulus! Kamu hanya ingin dipandang lebih unggul oleh orang lain. Kamu tahu, Sa? Mendapatkanku tak cukup untuk membuatmu unggul dari lelaki lain. Sebab nantinya kamu juga akan tahu rasanya aku tinggalkan karena rasa banggamu itu. Dan kamu akan segera tahu rasanya, sebab mulai saat ini, tidak ada lagi kita. Kita berakhir sampai di sini." Sinta berkata dengan berlari meninggalkan Saka yang mematung.