webnovel

5 - Pertemuan Tak Terduga

(POV Dika)

"Dika!! Tunggu!!" Raka mengejar Dika di sepanjang koridor perpustakaan.

"Kenapa sih, Rak? Emang mau baca buku?"

"Nggak. Ini punya lo ketinggalan. Tadi gue lihat jatuh dari buku yang lo bawa." Ia memberikan selebaran.

"Ouh... iya. Thanks, bro!"

"Mau ikut masuk nggak? Enak, lo."

"Apanya yang enak dari kegiatan ngebosenin liatin buku-buku? Mending cuci mata di kantin. Banyak cewe-cewe cantik!"

"Yee, jangan salah. Tau nggak, cewe yang suka baca buku itu, kecantikannya berlipat!"

"Hah?" Raka penasaran.

"Iya. Pokoknya cantiknya beda. Udah, ayo ikut masuk aja. Lagian, setaun di sini belum pernah kan masuk ke perpus?"

"Ehm, iya si... yaudah deh. Gue ikut." Mata Raka mencuri-curi pandangan dari berbagai siswi yang berlalu lalang keluar masuk perpustakaan.

"Apanya yang beda si? Mereka terlihat sama aja. Diam, baca buku, gitu-gitu aja. Ngebosenin." Rutuknya lirih.

"Udaah, cepetan."

"Mau langsung ke rak buku di sana atau nungguin gue disini? Mau balikkin buku dulu."

"Kurang kerjaan banget nungguin lo, Dik. Yaudah deh, gue ke sana dulu." Raka berjalan pelan. Menyusuri rak buku yang tak jauh dari sisi dindingnya. Di atas rak buku itu, tertulis banner motivasi. "Bacaan yang tak kan pernah habis dibaca adalah matamu."

"Hah? Motivasi membaca yang aneh. Siapa yang masang disitu si?" Lirihku..

"Aku." Tiba-tiba suara perempuan menjawabnya dari belakang.

"Kenapa? Emang jelek tulisannya?" Siswi berkulit kuning langsat dan berbola mata hitam itu menatapnya. Tak lain adalah Nadya.

Raka dibuatnya setengah takut.

"Eh, enggak. Bagus ko, bagus. Unik." Jawabnya gugup.

"Jangan mudah mengkritik karya orang lain, kalau kamu sendiri belum berkarya." Ucap Nadya seraya meninggalkan Raka.

"Ehm, aneh. Arrhgg." Gerutu Raka. Ia berbalik arah mencari Dika. Tak sengaja ia menabrak seorang siswi yang membawa beberapa buku.

"Eh, maaf, Mba. Maaf, saya gak sengaja."

Yang ditabraknya hanya terdiam. Entah kesal atau memang lemah. Tak bisa melawan.

"Sekali lagi maaf, ya. Maaf. Saya gak sengaja." Raka membantu mengambilkan buku-buku yang terjatuh.

Lalu perempuan yang ditabraknya itu mendekatiku. "Nad, ini buku-buku punyamu. Maaf, aku tadi menjatuhkannya. Tapi gak ada yang rusak, ko."

"Kamu ngejatuhin? Kenapa bisa?"

"Ehm... " Laras nampak gugup. Matanya sambil memandang seseorang di kejauhan. Entah siapa.

"Tidak. Aku tidak sengaja tersandung. Jadi jatuh deh. Udah, deh, Ras. Yang penting bukunya gak rusak. Ok, kamu udah nyarinya? Masih ada yang dicari?"

"Ouh gitu. Lain kali hati-hati. Aku masih nyari novel. Kamu duduk di sana dulu aja. Barangkali capek nungguin." Saran Laras.

"Ouh iya. Aku tunggu di sana, ya."

"Aneh! Siswi di sini aneh!" Celetuk Raka.

"Rak! Ngapain duduk di situ? Nggak coba nyari buku?"

"Nggak. Disini ngebosenin. Mana ada cewe cantik? Semuanya ngebosenin!" Suara kesalnya kian meninggi. Membuat berbagai pasang mata pengunjung perpustakaan menoleh kepadanya. Yang mayoritas adalah perempuan. Raka seperti diserbu pasukan super woman dalam sekali waktu. Sukses membuat lidahnya kelu. Hanya dalam satu tatapan dari berbagai pasang mata dalam satu waktu.

"Sssst... jangan berisik!" Tegurku sambil menutup mulutnya.

Aku menarik tangannya ke sebuah tempat duduk yang disediakan untuk membaca. Setiap kursi untuk satu orang saja. Mejanya disekat sedemikian rupa, agar antar satu pembaca dan lainnya tak terganggu. Nyaman untuk membaca.

"Kalau ngomong hati-hati. Dipikir dulu ngapa sih! Malu-maluin aja."

"Iya, sorry... lagian lo. Rese! Mana ada cewe cantik di tempat seperti ini? Yang ada gue nemuin dua cewe aneh super duper aneh dan ngeselin!"

"Hah?"

"Tuh... orangnya di rak buku fiksi. Kayaknya mereka sepasang sahabat." Tangan Raka menunjuk ke arah Nadya yang sedang mencari buku.

"Mana? Cuma satu orang? Bohong, ya?"

"Serius. Tadi ada dua orang. Sama-sama aneh. Ngeselin."

"Yaudah, gue kesana."

"Ngapain?!"

"Ya pengin kenalan lah."

"Apaan sih lo, Dik! Jangan!"

"Gue mau cari buku, Rak... kebetulan bukunya di rak fiksi. Jadi skalian kesana."

"Huuhh yaudah deh. Jangan lama-lama. Gue bosen di sini."

Aku berjalan pelan menuju rak buku fiksi. Kulihat dari samping, seorang siswi sedang asyik melihat buku. Jemarinya lentik mencari-cari. Entah apa yang dicarinya.

"Nyari buku apa, Mba?" Yang kusapa menoleh. Dan baru kusadari... itu adalah sahabatku sendiri: Nadya.

"Nadya?" Ucapku refleks.

"Dika?" Ia pun seperti mengikuti sapaanku.

"Lagi nyari buku apa?"

"Ouh... nyari novel perahu kertasnya Dee Lestari."

"Ouh, bukannya itu udah difilmkan? Kenapa masih nyari bukunya?"

"Ehm, emang ada yang melarang gitu, kalau sudah difilmkan, bukunya gak berhak dibaca?" Ia masih seperti Nadya sahabatku. Pendiam saat bersama orang tak dikenal, cerdas, dan paling suka mempertanyakan sesuatu.

"Tidak. Maksudku... itu buku lama. Emang belum baca?"

"Sudah, si. Tapi gatau. Kangen aja. Pengin baca."

"Kalau Filosofi Kopinya Dee, sudah?"

"Belum. Cuma pernah lihat."

"Naah, ini bukunya. Baca ini deh. Pas buat perempuan sepertimu. Isinya cerkas. Di dalamnya tak hanya cerpen. Tapi juga prosa. Jadi dalam satu buku, kamu bukan hanya bisa belajar nulis cerpen, tapi dihibur prosanya yang apik."

"Oh ya? Segitu menariknya kah?"

Aku mengangguk. "Yaudah, makasih ya, Dik. Aku mau baca buku ini."

"Aku duluan ya. Gaenak temenku sudah nungguin di sana." Nadya pamit.

"Eh, tunggu, Nad. Kamu nggak lupa lomba kemarin yang aku kasih 'kan?"

"Nggak dong. Thanks ya, infonya. Aku bakal latihan dengan buku ini." Nadya tersenyum. Bola matanya yang hitam pekat, terasa kian pekat saat ia tersenyum. Ia pun berjalan menemui temannya yang sudah menuggu di meja baca.

***

Di samping sekat meja baca Raka, ternyata telah lebih dulu duduk Laras. Ia rela menunggu Nadya di sana. Tentu bukan dengan membaca buku. Tapi mendengarkan headset yang ia bawa kemana-mana. Entah, apa yang didengarkannya. Tapi, tunggu. Tangannya memang tak memegang buku. Tapi kertas. Sedang menggambar apa dia atas kertas itu?

"Aneh! Cewe disini aneh-aneh." Celetuk Raka.

"Di perpus bukannya baca malah gambar sambil dengerin musik." Tak disangka, yang diomongin, telah mematikan suara di headsetnya. Laras pun mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Raka. Larqe mendorong kursinya sedikit ke belakang.

"Sepertinya bukan cewe-cewe di sini yang aneh. Tapi orang aneh yang ke perpus cuma nyari cewe."

Terkaget siapa suara yang tiba-tiba menjawab celetuknya, Raka menoleh ke samping.

"Kamu? Kamu siswi tadi yang gak sengaja ketabrak 'kan?"

"Kalau iya kenapa?"

"Ehm, enggak. Lanjutin aja bacanya. Maaf mengganggu. Raka kembali gugup.

"Aku daritadi sedang tak baca buku. Tapi dengerin audio lewat headset ponselku. Meski aku tak suka buku, aku bisa bersikap ramah dengannya."

"Maksudmu? Aku tak sopan tidak ramah dengan pembaca buku lainnya, karena aku mengganggu?"

"Ya. Sangat menganggu. Seperti anak kecil yang belum mengerti gimana caranya bersopan di hadapan orang lain."

Raka terdiam menyimaknya. Ia melihat tangan kanannya siswi itu memegang pensil. "Kamu lagi nggambar?"

"Ya. Ini salah satu caraku kalau bosen. Aku juga hampir sama sepertimu. Tak begitu suka suasana perpus. Tapi aku bisa menahan mulutku untuk tak mengganggu. Aku sebut itu tata krama kepada buku."

"Hum?"

"Kamu bisa memahaminya sendiri. Kamu bukan anak-anak lagi." Ucap siswi itu. Menarik kursinya ke depan, dan kembali dengan pena di atas kertas sketsanya.

"Eh, Rak. Yuk. Aku udah, nih."Aku menyapa kembali Raka yang terlihat melamun.

"Eh, akhirnya. Ayuk."

"Lo ga kenapa-napa kan, Rak? Kenapa melamun?" Raka hanya terdiam. Mengikuti langkah kaki Dika.

"Lo kenapa sih, Rak? Aneh banget!"