webnovel

Biarkan Hati Yang Berbicara

kata orang semesta ini luas, tapi untukku tidak. karena dimana pun aku, kamu akan selalu berhasil menemukanku -rifza- kata orang cinta pertama itu susah dilupakan, tapi bagiku tidak. nyatanya, ketika bersamamu duniaku hanya akan diisi cerita tentangmu -disa-

Diana_Chanifa · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
11 Chs

disa 5

"mau sampe kapan dipandangin doang kotaknya? kita bertiga udah nungguin kamu cerita ini dari tadi." ujar acha sambil mengetuk meja untuk menyadarkanku.

"ini pasti ada hubungannya sama kamu yang tadi ke cafe kan?" acha bertanya kembali. aku tau bahwa sekarang aku tidak bisa menghindari mereka lagi. janji yang tadi aku ucapkan pada acha pun harus aku ungkapkan sekarang yang alvin dan beni juga berhak tau karna mereka sahabatku. aku mengangguk menjawab pertanyaan acha. alvin dan beni yang tidak mengerti hanya bisa diam menunggu aku menjelaskan semuanya.

sejak dulu kami selalu seperti ini, tidak pernah bisa terlalu lama menyembunyikan sesuatu, karna itu akan sia-sia. pada akhirnya semua akan terungkap dan kami akan saling menceritakannya satu sama lain.

dengan tarikan nafas panjang, aku menjelaskan semua ceritaku dengan rifza yang aku mulai dengan kejadian pada malam hari saat ada seorang lelaki yang memberiku sekotak susu pisang namun ia langsung melarikan diri.

kejadian demi kejadian yang rifza katakan padaku, kujelaskan kembali pada ketiga sahabatku. mereka tidak menyela aku bercerita. mereka hanya mendengarkan dan sesekali berkata 'terus?' dan 'lalu?'.

"dia sampai melakukan semua itu buat kamu? gila kali ya!" seru acha tidak habis fikir dengan apa yang telah rifza lakukan untukku.

"makanya aku menyebutnya lelaki aneh." aku menanggapi.

"sepertinya dia tertarik sama kamu. mungkin sudah bukan tertarik lagi, tapi suka." beni menimpali yang langsung mendapat anggukan setuju dari acha dan alvin. aku menggelengkan kepala ku.

"aku gak tau. bisa aja dia cuma ingin mengenalku." alvin menepuk pundakku pelan.

"apapun motivasi dia buat deketin kamu, semoga aja niatnya baik. aku liat dari ceritamu, kayaknya dia bukan cowok jahat." aku mengangguk setuju.

"dia memang aneh, tapi tidak jahat."

" tapi anehnya rifza bikin kamu senang." timpal beni yang kubalas dengan cubitan kecil ditangannya.

"apa sih, enggak kok." elakku yang langsung mendapatkan cibiran dari ketiga sahabatku.

"mulut bilang enggak, tapi hati bilang iya."

"gengsi nya disa terlalu besar buat ngakuin."

"gitu tuh si disa, senyum senyum gak jelas tapi sok bilang enggak suka."

"baru kali ini ngeliat disa senang dideketin cowok, kirain gak normal, haha" alvin dan acha pun ikut tertawa mendengar perkataan beni. aku hanya bisa mendengar ocehan mereka dalam diam sambil menatap kesal ketiga sahabatku karna menggodaku terus menerus.

dari dulu aku memang selalu cepat akrab dengan teman-temanku. entah laki-laki ataupun perempuan, aku selalu bersikap sama. namun entah kenapa, terkadang beberapa diantara mereka salah paham dengan sikapku dan menganggap bahwa aku menyukai mereka. akhirnya ketika mereka menunjukkan bahwa mereka menyukaiku, aku pun bersikap tidak senang dan terkadang sedikit memberi jarak.

alvin dan beni sempat memperingatkanku untuk tidak bersikap terlalu ramah dan dekat pada teman lelaki ku selain mereka berdua. mereka bilang, sikapku yang seperti itu bisa menimbulkan kesalah pahaman. namun, aku tidak mengerti harus berubah seperti apa. ketiga sahabatku akhirnya sering memanggilku dengan sebutan 'disa si tukang tidak peka'.

oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa kali ini aku bersikap berbeda. aku terlihat tidak memberi jarak dan justru terlihat senang dan membiarkan rifza mendekatiku.

"bakal jadi cinta pertama dong dia.." ujar acha. aku terdiam tidak bisa menjawab.

"mungkin sekarang disa masih belum ada di tahap suka. tapi, dia masih dalam tahap mau membuka hatinya buat rifza." beni membenarkan.

"dis, kita gak tau rifza orangnya sebenarnya kayak apa. dari ceritamu, aku menilai dia baik. tapi kan tidak ada salahnya kamu berhati-hati, aku gak mau ngeliat kamu kecewa dan patah hati pada akhirnya. jadi, jangan terlalu cepat menyimpulkan semua hal. biarin waktu yang menuntun kamu mendapatkan jawabannya." kata alvin memberi nasihat padaku.

perkaraan alvin ada benarnya, aku memang tidak boleh terlalu cepat menyimpulkan semua hal. mungkin saja rifza hanya sekedar penasaran denganku dan ingin mengenalku lebih jauh sebagai teman. aku tau alvin bermaksud baik dan hanya ingin menjagaku. karena ketiga sahabatku adalag tempat aku bersandar ketika aku sedih maupun senang. berkat mereka, aku selalu bisa tersenyum dan melupakan semua masalahku.

"iya al, aku tau.." jawabku sambil tersenyum kearahnya. ia pun membalas dengan anggukan kepala.

"kita selalu ada buat kamu dis, kalau dia berani macem-macem awas aja! aku laporin dia sama ketiga penjagamu! bisa mampus nanti!" ancam beni sambil memasang wajah lucu. kami pun tertawa karenanya. ketiga penjaga yang beni maksud adalah papaku, bang kinan, kakak kandungku, dan asza adik kandungku. ketiga penjagaku inilah yang selalu memperingatiku untuk selalu berhati-hati terhadap laki-laki.

setelah bercanda dan mengobrol di cafe, kami melihat waktu sudah menunjukkan pukul 5.30 sore. kami pun memutuskan untuk pulang. saat kami ingin membayar, seorang pegawai cafe yang menjaga kasir mengatakan sesuatu yang membuat kami bingung dan hanya bisa saling menatap satu sama lain.

"tidak usah dibayar, semua sudah lunas."

"hah? gak salah mbak? eh siapa yang bayarin? kamu ya ben?" tanya acha bingung. beni yang ditanya menggelengkan kepalanya.

"bukan eh, bukan aku. alvin kali." alvin juga menggelengkan kepalanya.

"enggak, bukan aku, disa kali tuh." aku juga ikut mengatakan tidak, karna memang aku belum membayar. kami pun hanya bisa saling menatap bingung.

"terus siapa yang bayarin?" kataku yang mendepatkan respon keheningan dari ketiga sahabatku.

"siapa yang bayarin ya mbak?" tanya alvin pada pegawai itu.

"saya tidak tau mas, karna bang ega, yang punya cafe ini hanya meninggalkan catatan bahwa meja 5 sudah lunas dan tidak usah membayar."

"sekarang orangnya kemana ya mbak?" aku ikut bertanya.

"keluar mbak sama kedua temannya." jawabnya. aku berfikir mungkin pemilik cafe sedang pergi dengan dua orang lelaki yang tadi sempat tidak sengaja bertatapan denganku. kami pun berterima kasih dan meninggalkan cafe dalam kebingungan.

"katamu kan rifza kenal sama pemilik cafe, mungkin gak ya dia yang bayarin? dia kan juga ngasih kamu bingsoo itu." tanya acha yang disetujui oleh beni dan alvin.

"gak tau. mungkin iya." jawabku tidak jelas. karna aku juga masih bingung.

"coba kamu chat dia, tanya emang dia yang bayarin kita?" aku menghentikan langkahku dan menatap ketiga sahabatku yang juga melihatku karna aku tiba-tiba berhenti berjalan.

"kenapa?" tanya alvin bingung.

"aku gak punya kontaknya.." ketiga sahabatku terkejut karena perkataanku.

"kok bisa gak punya sih dis? dia gak nanyain?" tanya acha penasaran.

"enggak, dia gak nanya."

"terus kamu juga enggak nanya?" kujawab alvin dengen gelengan kepalaku. kudengar desahan nafas frustasi dari ketiga sahabatku.

aku juga baru terfikirkan sekarang, kalau aku tidak mempunyai kontak rifza sama sekali. betapa bodohnya aku karna terlalu sibuk mendengarkan rifza bercerita. tapi aku juga bertanya-tanya mengapa rifza tidak menanyakan kontakku? aku pun berjalan pulang dalam keadaan bingung dan bertanya-tanya.

'rifza, apakah kejadian ini juga ulahmu?'