webnovel

Terlalu Cepat

Hamid menatap dengan tatapan penuh curiga, seolah meminta Pram menjelaskan lebih lanjut lagi. Pram mengajaknya berjabat tangan, lalu ...

"Terima kasih, sudah memberi izin."

Izin apa? Kemana maksud Pram arah obrolan kali ini, Hamid masih tidak mengerti. Sebernarnya dia tahu, tapi ... itu tidak mungkin! Hamid menyambut tangan Pram.

"Gue suka sama Tala," imbuh Pram.

Degh!

Kenapa semua malah jadi begini. Setelah berhasil berakhir dengan Hariz, kini kenapa malah giliran Pram? Hamid melepas gengganman tangan dengan Pram.

"Bukan bermaksud ngerendahin, tapi gue tahu selera dia itu sepreti apa."

"Oh ya? kalau begitu, gue akan belajar dan cari cara supaya Tala bisa menerima gue dengan segala perasaan dan cinta yang gue punya."

Usai sudah, Hamid kehabisan kata-kata. Tidak tahu lagi bagaimana ingin melanjutkan. Tepatnya kini dia menjadi pasrah saja.

Tidak seperti sebelumnya, kali ini Hamid tidak melarang atau memberi saran atau bahkan melarang Tala. Jika memang dia ingin dekat dengan Pram, dia sudah pasrah. Lagipula, jika dia memang suka, mau bagaimanapun juga dia akan suka.

Saat tahu Tala sudah putus dengan Hariz, tidak hanya Pram yang gesit melancaarkan aksinya, tapi juga Akmal. Laki-laki yang pernah dia tolak cintanya mentah-mentah. Sejak pagi, mereka sibuk mencecar Hamid dengan berbagai macam pertanyaan tentang Tala. Mulai dari makanan apa yang Tala suka, atau apapun yang gadis itu benci. Saking kesalnya, Hamid rasanya ingin memaki mereka. Jika ingin tahu tentang Tala tanyakan sendiri kepada orangnya, bukan melalui dirinya.

"HAMID!" pekik Tala, hingga membuat laki-laki itu menutup kedua telinganya. Tumben sekali seorang Tala menyapa dengan riang seperti ini.

"Ada apa?" balas Hamid dingin.

Tala kesal sekali dengannya. Sudahlah sejak pagi tidak menemani atau sekadar menyapa, lalu kini membalas dengan dingin. Dia memberikan cubitan tipis di pinggang Hamid hingga membuatnya menjerit kesakitan.

"Sakit, La!"

"Siapa suruh lo cuek banget sama gue hari ini. Ada apaan sih?!"

"Gue Cuma—"

Belum juga Hamid menyelesaikan apa yang ingin dia katakan. Satu penggemar barunya sudah datang di tengah-tengah mereka. Apa lagi kali ini?!—gerutu Hamid dalam hati.

Akmal menyodorkan helm bogo berwarna biru nyentrik. "Mau pulang bareng?"

Tala terkejut. Tidak ada angin, tidak ada hujan, ada apa tiba-tiba Akmal mengajak pulang bersama. Padahal, dia sendiri tahu bahwa selama ini dia serinng pulang bersama Hamid.

"Lo kenapa sih, Mal? Habis berantem sama Laras ya?" tanya Tala lalu berlalu pergi meninggalkannya, tanpa menunggu jawaban apa yang Akmal berikan.

Sementara Hamid hanya mengindikan bahunya, seolah menjawab maksud dari tatapan Akmal. Lalu kemudian dia menuruti langkah Tala. Dua orang yang seperti perangko. Penderitaan Hamid belum berakhir sampai disitu saja, setibanya di parkiran, motor ninja miliknya bannya bocor.

"Sorry, La, gue enggak bisa nganterin lo."

"Enggak apa-apa, kalik. Ahelah gitu doang juga."

TIN TIN!

Suara klakson mobil hadir di tengah-tengah antar mereka berdua yang tengah sama-sama bingung. Kaca mobil itu terbuka, "ada apa, Mid?"

"Biasa, ban mobil gue bocor nih."

"Mau nebeng?"

"Tala aja deh, gue entaran aja soalnya mau ke bengkel dulu nih," balas Hamid.

"Beneran enggak apa-apa, gue tinggal sendiri?"

"Emang gue enak kecil?"

Pram segera turun lalu membukakan pintu mobil tepat di samping kursi sopir. Bagi Pram, penolakan yang diberikan oleh Hamid adalah tanda bahwa dia menyetujui mereka untuk saling dekat. Tanpa berlama-lama lagi, Tala pun menaiki mobil itu. Sembari berlalu, Pram mengedipkan mata pada Hamid sebagai tanda terima kasih.

"Thank you, Bro!" ucapnya nyaris tidak terdengar.

Tersadar, Hamid pun segera memasuki mobil bagian belakang. Sehari sebelumnnya dia telah berjanji akan merelakan apa saja yang akan dilakukan Tala. Tapi ... merelakan Tala begitu saja jelas tidak mudah baginya.

"Lo kok—"

"Sorry gue numpang ya, Pram. Motor gue biar di derek sama orang bengkel. Enggak apa-apa kan?"

Meski kesal mendengar pertanyaan itu, tapi Pram dengan terpaksa harus tetap memberi senyum. Dia tidak ingin reputasinya di hadapan Tala rusak. Pram lalu mengangguk tanpa menoleh sedikitpun ke arah Hamid. "Oke. Santai, Bro."

Mereka melaju membelah lalu lintas. Pram tidak bodoh, dia tahu pasti bahwa Hamid tidak rela dia begitu saja saat mengatakan ingin mendekati Tala. Sebenarnya selama perjalanan, tidak sesuatu istimewa yang terjadi. Hanya saja bagaimana cara Pram menatap Tala membuat Hamid sedikit teganggu. Padahal, Tala merasa itu seuatu yang biasa saja.

"La ..."

"Kenapa, Pram?"

"Gue ... suka sama lo," tuturnya terhenti. Perkataan itu membuat Hamid kian terkejut. Masih tidak menyangka jika Pram akan begitu cepat menyatakan perasaanyya. Begitu pula dengan Tala.

"Akmal, ada bilang begitu sama lo?" lanjut Pram.

Hamid menggerutu dalam hati. Bagaimana bisa, dia mengatakan hal itu. untung saja Hamid tidak langsubng marah, jika tidak, entah apa yang akan terjadi kini?

"Oh, gue kira serius. Akmal pernah nembak gue sih dulunya, tapi enggak gue anggap serius. Jadi, anggap saja angin lalu."

"Kalau gue, gimana?"

Degh! Serangan untuk kedua kalinya. Sekeetika Hamid menyesal, andai saja sebelum mobil ini berangkat, Hamid meminta Tala untuk menemaninya duduk di kursi belakang.Tiba-tiba saja Pram menepikan mobil lalu ban mobil mendecitkan suara dengan nyaring akibat rem yang dia injak. Hingga membuat Hamid nyaris berpindah tempat duduk di kursi depan.

"Gumana kalau gue juga mau serius sama lo, La? Gue ... cewmburu lihat lo dekat sama Akmal." tanya Pram. Dia akhirnya mengutarakan perasaan yang sejak lama dia pendam seorang diri.

"Kok lo suka sama gue?" tanya Tala tidak menyangka.

"Lo enggak percaya?"

"Enggak. Kalaupun lo anggap gue temen, harusnya lo simpen perasaan itu rapat-rapat."

"Lo mau bukti?" tanya Pram dengan tatapan tajam.

Tala menatap balik dengan tatapan penuh tanda tanya, apalagi kini yang akan pria ini lakukan?!—batin Tala. Pram mendekatkan wajahnya pada Tala lalu berbisik di telinganya. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Karena Hamid dengan sigap mendorong tubuh Pram menjauh darinya. Setelah itu, dia menarik paksa tubuh gadis itu keluar dari mobil Pram. Setelah memastikan Tala dan Hamid berlalu pergi, dia tersenyum senang. Karena akhirnya dia dapat membuktikan sesuatu. Dia menghubungi seseorang dari gawai untuk tersambung dengan panggilan telepon. "Halo, Sayang. Aku sudah berhasil membuktikan seperti apa yang kamu minta." Setelah mengucapkan kata itu, dia kembali melaju membelah lalu lintas untuk menuju rumah.

Sementara Hamid merasa risau selama di dalam mobil. Pikirnya, jika tidak dia tidak mendorong tubuh Pram untuk menjauh, entah apa yang akan terjadi padanya kini. Mungkin saja dia akan merasakan trauma.