webnovel

Lagi-lagi Gibran

Dari jauh nampak seorang laki-laki berjalan menuju Tala. Mengenakan hoodie hitam favoritnya dan celana abu-abu SMA.

"Hai, La. Udah?"

"Udah nih, Pram. Eh lo nggak gerah ya pakai hoodie siang-siang gini?"

"Kan ada lo, La."

"Apa hubungannya kalau ada gue sama enggak?"

"Kan lo pinter mencairkan suasana. Eh, gitu nggak sih cara gombal? Hahaha."

Mereka terkekeh bersama.

Tidak jauh dari situ ada Laras yang memperhatikan mereka tanpa henti.

Beberapa hari sebelumnya...

Laras dan Pram sedang piket kelas bersama.

"Pram nanti bisa tungguin gue nggak? ada hal penting yang mau gue bahas sama lo."

"Oke, Ras," sahutnya mengacungkan jempol.

Pram menunggu Laras di depan kelas setelah menyelesaikan tugas piketnya.

Sementara Laras sedang menumpuk sapu-sapu itu di sudut kelas. Laras duduk di samping Pram di teras kelas kursi panjang itu.

"Pram...."

"Eh,iya maaf. Udah, Ras?" tanya Pram lalu berhenti memainkan game dari ponselnya.

"Iyah, udah...."

"Katanya tadi lo mau ngomong sesuatu, mau ngomong apaan?"

Laras tampak ragu.

"Gue pingin ngomong jujur ng-nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa dong, malah bagus kalau lo mau jujur sama gue."

"Gue...."

Laras tiba-tiba tidak melanjutkan omongannya.

"Oh gue mau tanya dulu. Lo... punya pacar nggak?"

"Pacar ya? nggak sih, Ras. Tapi, gue punya seseorang yang gue suka," jawabnya sembari tersenyum malu seolah gadis itu sedang ada di hadapannya.

"Siapa, Pram? spill ke gue dong?"

"Lo kenal kok sama dia. Dia cantik, gemesin terus juga anaknya sopan. Gitu deh," lanjut Pram.

"Gue, Pram?" tanya Laras lagi memberanikan diri.

Pram tertawa lebar dan sukses membuat senyum Laras lenyap dari wajahnya.

"Bukanlah, Ras. Kan kita temenan udah lama. Lo tahu sendiri."

Saat ini...

Laras terus menyipitkan mata menatap dua sejoli yang saling bercanda di hadapannya. Menatap dengan tatapan penuh curiga.

"Apa cewek yang lo maksud itu dia, Pram?" gumam Laras.

"La, ke kelas bareng yuk!" ajak Pram.

"Iya─"

"Pram!!" teriak Laras.

"Jadi cewek yang lo maksud itu-"

"Ras, l-lo m-mau ngomongin tentang cewek yang gue suka dari film yang kita bahas kemarin ya?" pangkas Pram kikuk. Pram mengelap keringat yang menempel rambutnya karena panik.

"Ha? a-ah, iya itu maksud gue," jawab Laras mengerti kode Pram.

"Yaudah deh, kalau gitu gue duluan ya. Kalian lanjut aja, bye!" sahut Tala sembari berlalu meninggalkan mereka berdua. Pram menyeka dadanya lega.

"Lo jangan buat gue jantungan dong, Ras."

"Jadi, bener ya? cewek yang lo suka itu Tala?"

"Hmm," gumam Pram. Singkat, padat dan nyelekit.

***

Ada sebuah tote bag cokelat muda di atas meja Tala.

"Lah, ini punya siapa?" tanya Tala.

Tala tidak berani membuka. Namun, di sisi tote bag itu sama sekali tidak tertulis petunjuk di tujukan untuk siapa. Kelas masih sepi, para siswa sedang seliweran karena jam istirahat kedua belum berakhir.

Terdengar langkah kaki menuju kelas.

"La, nanti di kafe biasa ya jam tiga gue jemput!" ucap Hamid menghampiri Tala.

Tala hanya menjawab dengan dua kali anggukan.

"Eyy, lo dikadoin siapa nih?"

"Nggak tahu nih. Gue bahkan nggak tahu itu buat gue atau bukan."

"Nggak ada teruntuk siapa gitu?"

"Nggak ada, Mid."

Hamid ikut memperhatikan tote bag itu.

"Coba lo buka dulu siapa isinya apa gitu."

"Ih kok gitu, Mid. Nanti kalau ternyata itu punya orang lain dan bukan buat gue gimana?"

"Tapi, itu kan ada di atas meja lo. Salah dia lah kalau misal ini salah letak."

Tala membuka kado itu dengan ragu.

Ada sebuah tas kecil berbahan plastik putih bening berisi dress biru muda plisket. Lengkap dengan kartu ucapan putih segi empat.

*To: Tala. Hei, hope you like that blue gurl!

"Nah, ada namanya kan?"

***

Hamid dan Tala bertemu di kafe langganan mereka seperti biasa.

"Lo sih lama kalau dandan, Mid."

"Heh, yang dandan itu Anda, Ibu. Mohon maaf nih."

Tala terkekeh. Sengaja meledek Hamid yang sejak tadi menggerutu kesal karenanya.

Mereka menduduki diantara meja bulat itu. Hari ini Tala berjanji mengajari Hamid matematika. Pelajaran yang paling dibenci semua orang, termasuk Hamid. Mereka bahkan sengaja memilih outdoor agar lebih santai.

"La, lo dress baru ya?"

"Perhatian amat lo sama gue, sampai tahu mana dress lama dan baru."

"Iya dong. Meski hampir semua dress lo warnanya sama. Nggak bosen lo?"

Tala menurunkan lalu mengunci ponselnya dan menghentikan aktivitas mengetik. Lalu menatap Hamid malas,

"Gue lebih bosen lihat lo pakai sweater yang sama sih. Dari jaman purba kagak pernah ganti," balasnya pedas.

"YaAllah, La. Lo kalau ngomong nyelikit bener."

"Lo yang mulai, Wlee," balas Tala memeletkan lidah.

"Namanya juga kesayangan jadi gue nggak ganti lah."

"Udah, udah. Mana buku lo? terus bagian mana yang lo nggak paham? siapa tahu gue bisa."

Hamid segera mengeluarkan buku paket matematika tebal dan satu buku tulis dari ransel hitam miliknya.

Prakk! Hamid menghempas buku itu.

"Semuanya, La."

"Y-ya, ngg..."

Tala menghela napas sembari memejamkan matanya lalu membukanya kembali perlahan.

"Nggak semuanya jugalah, Suherman!"

"Kan gue nggak ngerti. Ya lo jelasin lah!"

Tala menggeram kesal sembari menghela napas lagi.

Saat mereka baru membuka halaman demi per demi diantara kertas putih itu. Tiba-tiba saja datanglah seorang laki-laki yang tidak asing. Laki-laki yang pernah sangat dibenci oleh Tala.

"Eh, ada mantan gue. Haaai!" ucapnya menyapa dengan senyum sinisnya.

"Mau ngapain lagi sih lo, Gibran?"

"Oh ini Hamid ya? yang waktu itu lo kabur gara-gara lihat gue?" ucapnya lagi masih dengan ekspresi yang sama. Ia lalu duduk diantara mereka tanpa dipersilakan.

"Lo siapanya Tala? cowoknya ya? Waktu itu udah jadian lagi tuh pas habis putus dari gue," ucapnya menatap Hamid.

"Ya gimana dong? habisnya dia kan cewek gampangan jadi ya gitu deh," sambungnya.

Tala tidak tahan hampir saja satu tamparan melayang di pipi mulusnya. Hamid menahan tangan Tala.

"Apaan sih, Mid? lo kok-"

"Nggak usah repot-reoot Tala cantik. Nanti tangan lo kotor kalau nyentuh SAM-PAH," balas Hamid yang sukses membuat Gibran meradang.

"Apa lo bilang?! coba lo ulang sekali lagi?!!!" ucapnya lantang membuat pengunjung kafe menoleh ke arah suara.

"Sampah. Lo budeg ya?" jawab Hamid datar.

Dilayangkannya satu tonjokan yang tepat mengenai pipi Hamid. Tepat sasaran, sudut bibir Hamid meneteskan sedikit cairan merah.

Hamid jatuh tersungkur. Bukannya menjerit ia justru tertawa menyepelekan Gibran.

"Ganteng doang, dipanasin balik main hantam. Dasar lemah!" sahut Hamid lagi.

"SATPAAAM! SATPAAAM!!" teriak Tala sembari membantu Hamid bangun dari duduknya.

Datalanglah seorang pria berseragam satpam.

"Pak, orang ini udah mukulin temen saya sampai luka. Usir aja, pak, tolong ya," pinta Tala.

Satpam itu mengusir paksa Gibran yang terus mengumpat kesal pada Hamid dan Tala.