"Senjata?" Zein menatap tajam Ryu. "Lo sengaja bikin senjata buat ngancam Keira?" ucapnya ketus. Sepertinya Zein sudah tidak suka Ryu sejak pertama kali melihatnya, di mana ia melempar bola basket ke kepalanya waktu itu.
"Sori, tapi ini nggak ada urusannya sama lo." Ryu memasukkan ponselnya ke saku kemudian bergegas pergi dari hadapan mereka.
Senjata.
Kata itu terus terngiang di kepala Keira. Haruskah ia biarkan seluruh sekolah tahu kegemaran nyentriknya? Haruskah ia biarkan Ryu terus mengancam dengan foto rockernya?
"Hey, malah bengong di tengah jalan." Zein menyenggol bahu Keira karena beberapa detik sudah berlalu ia masih bergeming di tempat.
"Ryu punya senjatanya," gumam Keira tanpa menatap Zein. Mukanya tampak begitu murung. Tanpa banyak suara ia pun melanjutkan langkahnya yang tertunda.
"Senjata apa sih sebenarnya?" Oki yang ikut mendengar pembicaraan Keira dengan Ryu menanyai Zein.
"Jangan-jangan foto sexy Keira. Kalau nggak ya video pas dia lagi ngapain gitu. Huhu," Alvin cengengesan sampai Zein melototinya. "Bukannya itu masuk akal, Bos? Senjata pasti sesuatu yang memalukan atau rahasia, kan?"
Zein tak menjawab. Ia hanya termenung sesaat sebelum mengajak keduanya untuk pergi ke kelas. Lagipula bel berakhirnya istirahat juga sudah berbunyi.
"Lo masih mikirin ancaman anak Bahasa tadi?" Zein yang telah tiba di kelas duduk di bangku Milli, menjejeri Keira. "Emang sebegitu rahasianya foto itu buat lo?"
"Lo pernah lihat sendiri, kan?" jawab Keira, hampir depresi. "Seharusnya itu sangat rahasia," keluhnya.
"Ya gue cuma lihat sebentar, sih. Emang itu beneran lo ya?" tanya Zein penasaran. Namun bukannya menjawab, Keira malah menatapnya sebal.
"Eh, Zein! Kok lo di sini, sih? Bu Rani udah mau masuk tuh. Minggir, minggir! Gue mau duduk!" Milli yang baru datang langsung mengusir Zein.
"Lo aja yang pindah belakang," sahut Zein cuek. Ia justru mengepang kaki, mengisyaratkan bahwa ia tak mau pergi.
"Udah, Mil, sini aja! Biarin mereka pacaran. Kan baru aja jadian." Alvin berseru dari belakang.
"APA??! JADIAN??!"
Tak cuma Milli yang kaget, seisi kelaspun dibuat kaget besar-besaran.
"Lo kurang kerjaan banget, sih? Tukang provokasi lo!" Keira melempar buku ke kepala Alvin karena jengkel dengan omongan asalnya.
"Santai dong, Kei!" Alvin yang berhasil menghindar malah senang melihat reaksi cewek itu. "Lagian, lo sendiri kan yang bilang suka Zein duluan?" tambahnya lalu cekikikan.
"Apa? Keira nembak duluan?" Shella dan teman-temannya pun berteriak heboh.
"Lo...?" Keira mengepalkan tangan, bersiap mengamuk Alvin. "Dasar...."
"Alvin cuma bercanda teman-teman. Jangan dengerin dia!" Namun perkataan keras Zein menghentikan niat Keira. Semua anak yang ribut pun terdiam dibuatnya.
"Kalaupun benar gue sama Keira jadian, pastinya gue yang nembak duluan," lanjut Zein, sukses membuat Keira melebarkan mata. Zein sendiri cuma tersenyum simpul melihat ekspresi itu.
"Jadi cuma bercanda? Kirain beneran."
"Emang rasanya nggak masuk akal, sih. Masa Keira nembak Zein duluan?"
Sebentar saja anak-anak di kelas IPS-3 mulai berbisik-bisik lagi.
"Bos boleh juga." Dari bangku belakang Alvin berkomentar.
"Yah, kadang-kadang gue pengen jadi cewek biar bisa jadi pacar dia," Oki menyahutinya.
"Hah, seriusan?" Alvin melirik tak percaya. "Lo jadi pacar gue aja gimana?"
"Lo kurang keren. Sori, gue nggak begitu selera sama tipe cowok bongsor kayak lo," tanggap Oki, sok jual mahal.
"Eh, akika nggak bongsor, Cin. Akika sexy, Bo! Sexy mandraguna!" Alvin berlagak centil hingga Oki memeletkan lidah ke arahnya.
"Ya ampun, jadi kalian..." Milli yang akan memakai bangku Zein tak sengaja mendengar percakapan mereka menganga takjub. "Jeruk makan jeruk?"
***
Selama pelajaran Bahasa Indonesia, Zein dan Keira duduk bersebelahan. Keduanya memang hampir tak pernah berbicara, tapi berkali-kali Keira harus mati-matian menahan pandangannya. Entah kenapa ia selalu ingin melihat ke arah Zein. Ia sampai tak bisa fokus dengan materi yang sedang diterangkan. Seolah-olah Zein lebih membuatnya penasaran daripada memahami pelajaran.
"Keira, kamu bisa ulangi apa yang baru Ibu ajarkan?" Bu Rani tiba-tiba memanggilnya.
"Mm-maaf, Bu?" Karena tak begitu mendengar penjelasan Bu Rani Keira jadi gugup.
"Soal jenis paragraf berdasarkan letak intinya, bisa kamu sebutkan seperti yang baru saja saya terangkan?" kata Bu Rani tegas.
"Ooh," Keira mengerling sebentar. Beruntung saja tadi malam ia sudah mempelajari lebih dulu materi yang akan dibahas hari ini. "Jadi berdasarkan letak intinya, paragraf dibagi menjadi tiga macam. Yaitu paragraf deduksi, induksi, dan paragraf indeduksi. Paragraf deduksi adalah paragraf yang intinya terletak di awal paragraf. Sedangkan paragraf induksi adalah paragraf yang letak intinya berada di akhir paragraf."
"Cukup!" Bu Rani memotong sebelum Keira menyelesaikan penjelasannya. "Zein, kamu bisa lanjutkan?"
Anak yang kini duduk di sebelah Keira itu mengangguk. "Yang terakhir adalah paragraf indeduksi," ucap Zein, berjeda beberapa detik. "Adalah paragraf yang letak isinya menyebar. Intinya bisa berada di awal dan di akhir, atau bisa juga ada di tengah-tengah paragraf. Bahkan bisa jadi seluruh kalimat dari bagian paragraf tersebut adalah isi dari paragraf itu sendiri."
"Bagus, kalian sudah mengerti." Bu Rani tampak puas dengan jawaban dua anak itu. "Tapi usahakan mata kalian fokus ke depan. Saya kira kalian tidak memperhatikan penjelasan saya sejak tadi."
Keira melirik tak nyaman Zein. Sejujurnya ia memang tidak memperhatikan penjelasan Bu Rani seutuhnya. Ia tidak menyangka jika Zein masih sempat mendengarkan jalannya pelajaran.
"Sekarang kalian buka lembar kerja kalian di halaman 25! Kerjakan soal-soalnya lalu buat juga di buku tugas kalian contoh paragraf berdasarkan letak isinya. Kumpulkan buku kalian sebelum jam pelajaran berakhir. Kamu Milli, sebagai ketua kelas, nanti bawa buku anak-anak ke meja saya," perintah Bu Rani sebelum sibuk dengan laptopnya.
Anak-anak pun mulai membuka buku tugas mereka. Sedangkan Keira, ia justru sedang kesal sendiri. Memalukan sekali dirinya kepergok wali kelas saat sedang tidak fokus di kelas. Bodohnya Keira, sekali lagi ia masih saja coba menoleh ke arah Zein.
"Apa lagi?" Zein yang semenjak tadi tak berkomentar akhirnya bersuara. "Nggak bosan-bosan juga lihatin muka gue, ya?"
Keira merasa tersudut oleh perkataan itu. "Lo sebaiknya pindah ke bangku lo yang biasanya."
"Kenapa?" sahut Zein santai. "Kalaupun gue duduk di belakang, lo juga bakal tetap ngelihatin gue, kan?"
Keira mati kutu. Ia memang sudah ketahuan. "Nggak usah kegeeran, deh. Gue cuma penasaran sama lo."
"Penasaran?" Zein mengangkat kedua alisnya, menatap Keira. "Kirain karena lo suka gue beneran."
"Zein," Keira menendang kakinya. "Lo pasti tahu itu cuma alasan gue buat nolak Kak Febri. Gue cuma cari aman."
"Oh, ya?" Zein menyangga dagu. "Terus kenapa nama gue yang disebut saat lo bilang ada cowok yang lo suka?"
"Gue nggak berniat nyebut nama lo kok," timpal Keira cepat-cepat. "Orang Kak Febri yang nebak duluan. Jadi gue iyain aja dari pada ribet nyari alasan. Itu kan jawaban mudah dan masuk akal buat nolak seseorang."
"Wah, sayang banget," ucap Zein tiba-tiba. "Padahal gue udah senang kalau lo suka gue beneran."
Keira terkejut mendengar kalimat terakhir Zein. Mendadak hatinya jadi berdebar-debar tak tenang. Tangannya pun entah kenapa menjadi dingin dan gemetaran. "Zein," ia lalu memberanikan diri memanggilnya meskipun dengan suara pelan. "Lo beneran bukan Zein yang pernah gue kenal, kan?"
"Apa?" Zein yang telah menoleh pada Keira tampak keheranan.
"Lo dulu siswa SMP Harapan, ketua kelas 8-D yang pindah keluar kota sebelum ujian semester pertama bukan?" tanya Keira lagi.
Zein terdiam untuk beberapa lama sebelum mau kembali bersuara. "Zein, ketua kelas 8-D SMP Harapan?" mulutnya bergumam, dan Keira tanpa sadar menganggukinya. "Sebentar, sebentar. Sebenarnya apa alasan lo nanyain itu ke gue? Apa dia cinta pertama lo?"
Keira menjatuhkan kedua bahu, mengembus napas kecewa. Ia sudah sangat serius menantikan jawaban Zein tapi justru pertanyaan konyol seperti itu yang ia dapatkan. "Ayolah, Zein, gue serius!"
Zein tertawa. "Jadi itu yang bikin lo penasaran? Lo dari awal suka ngelihatin gue melulu cuma mau mastiin gue cinta pertama lo apa bukan?"
"Apaan sih? Dia bukan cinta pertama gue, oke?" bantah Keira geregetan.
Lagi-lagi Zein tertawa. "Terus dia siapa kalau sampai bisa bikin lo sebegini penasaran?"
"Ya kalau lo Zein yang dulu baru gue bakal kasih tahu masalahnya," jawab Keira, seakan memancing Zein untuk mengakui siapa dirinya.
Zein membuang napas sambil tersenyum masam. "Sayang banget, Keira. Tapi gue bukan orang yang lo bicarakan."
Desah putus asa keluar dari mulut Keira. Memang jika dipikir-pikir lagi Zein di 11-IPS 3 tidak ada mirip-miripnya dengan Zein yang dulu di 8D. Hanya pandangan gelap mata mereka yang sama. Tapi tetap saja, Keira masih dilanda bimbang. Lagipula dia juga tak ingat betul bagaimana rupa Zein teman SMPnya dulu.
"Oh iya, gue ingat hari pertama gue masuk kelas ini," kata Keira seraya menulis jawaban untuk soal nomor tiga. "Waktu itu gue yakin di antara lo dan anak-anak cowok yang duduk di belakang ada yang tahu nama gue. Dia juga tahu gue dari kelas 10-3. Lo ingat nggak, Zein, siapa yang bilang waktu itu?"
"Waktu itu kapan?" Zein yang baru membaca soal menoleh sedikit.
"Hari pertama kita masuk kelas 11," kata Keira tak sabar. Sekali lagi ia mengingatkan pada Zein tentang kejadian hari itu.
"Oohh itu," Zein pun sepertinya mulai bisa mengingat. "Gue juga nggak tahu waktu itu siapa yang ngomong. Tapi setelah gue ingat-ingat lagi, dia cuma anak yang salah masuk kelas. Dia...." Tiba-tiba Zein menghentikan ucapannya dan melebarkan mata.
"Dia kenapa?" desak Keira.
"Anak Bahasa yang bilang punya senjata buat ngancam lo."
***
"Hai, Ryu!" sapa Keira begitu melihat Ryu keluar dari kelasnya.
"Ada apa?" sahut Ryu heran. Baginya tumben Keira menyapa lebih dulu.
"Nggak ada apa-apa. Cuma menuhin janji yang pernah gue buat," Keira mengibas tangan, lalu berlalu dari hadapannya.
"Eh, lo pikir gue apaan?" Ryu menahan kepergian cewek itu dengan cara menarik rambut panjangnya yang tergerai.
"Hey, lepasin! Aduuh, apa sih lo?" Keira langsung bergerak melepaskan diri.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Ryu sambil tetap memegang sebagian rambutnya.
"Iih, gue bilang nggak ada apa-apa, kok," jawab Keira kesal. "Lepasin nggak?"
"Terus janji apa yang lo maksud barusan?"
Keira mendengus. "Gini ya. Gue cuma pernah bikin janji, kalau ada yang tahu nama lengkap gue, gue bakal menyapa dia."
Ryu mengernyit. "Maksud lo?"
"Nah, udah gue bilang kan ini bukan apa-apa karena nggak ada urusannya sama lo. Dijelasin pun susah. Udah lepasin, gue mau pulang!"
"Lo mau main-main sama gue?" Sekali lagi Ryu menarik rambut Keira.
"Ngomong apa sih?" Keira yang berhasil membebaskan diri mendecak sebal. "Dari pada main-main sama lo mending juga ngapalin buku Sejarah."
"Sadis amat sih," Ryu berkomentar. "Padahal gue kan selalu suka sama lo."
"Nggak usah bohong. Lo nggak suka gue," balas Keira bosan.
"Itu kan menurut lo. Gue suka kok sama lo. Udah lama malah," tandas Ryu, tak seperti sedang sekedar menggoda.
"Nah, padahal kita kenal aja belum begitu lama. Kelihatan banget lo bohongnya!" tuduh Keira sengit.
"Kata siapa? Gue udah lama kenal lo kok. Lo aja yang nggak tahu," Ryu mengejek, bahkan sampai memutar mata.
"Yah, terserah lo. Sekarang biarin gue pulang, oke?" pinta Keira.
"Ikut boleh nggak? Kita bisa duet lagi ngomong-ngomong."
"Nggak perlu. Lo nggak cocok nyanyi bareng gue," Keira menolaknya mentah-mentah. "Gue mau pulang sendiri. Makasih."
"Kenapa sih lo nggak pernah suka gue? Lo nggak tertarik sedikit pun sama gue apa?" tanya Ryu sambil mengamati sikap ketus Keira.
"Ya jelas nggak lah. Lo rese sih. Lo kepo. Lo juga kadang sok manis," jawab Keira terang-terangan.
Ryu tersenyum menyudut. "Jadi cowok yang menurut lo menarik itu seperti apa? Lo sukanya cowok model gimana?"
"Yang jelas, gue nggak suka cowok yang mengandalkan tampang doang," kata Keira, dengan sengaja menatap Ryu remeh. "Gue lebih suka cowok yang pintar."
"Lo nggak lagi ngomongin gue lagi, kan?" Zein yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang Keira menyambung.
"Eh, apa sih?" kaget Keira.
"Gue kira lo bakal sebut nama gue lagi di saat-saat begini," celetuk Zein kepedean.
"Jangan ngarep lo!" ceplos Keira sambil menahan rasa malu. "Udah, gue mau pulang," katanya, segera membalik badan.
"Terus tugas Bahasa Inggrisnya gimana? Setelah hari Sabtu kan Minggu, terus Seninnya tugas harus sudah dikumpulkan. Lo mau Minggu-minggu kita belajar kelompok?" Zein tumben-tumbenan memperingatkan soal pelajaran.
"Eh, iya juga." Keira hampir saja lupa. "Tapi gue nggak bawa bukunya. Hari ini kan nggak ada pelajaran Bahasa Inggris."
"Sama, tapi gue masih ingat kerjaan kita yang kemarin kok. Kita bisa tulis dulu di kertas," Zein mengusulkan.
"Oke deh." Keira pun mengangguk setuju. "Bye, Ryu! Gue pulang duluan."
Ryu cuma memandang Keira yang beranjak pergi dari hadapannya. Ia lalu mengamati Zein. Ryu merasa jika cowok urakan itu mulai tertarik dengan Keira. Haruskah ia bersaing dengannya? Lebih penting, mungkinkah ia mampu membuat Keira tertarik kepadanya?