"Sudah, sudah! Tenang semuanya!" seru Bu Rani kemudian. "Zein, Ibu serius. Tolong jangan malah bercanda!"
"Saya kan cuma punya keinginan, Bu. Kalau Keira nggak mau ya saya nggak bakal maksa," jawab Zein, nyengir.
Di mejanya Keira cuma diam. Perasaannya kesal sekali. Ia malu. Zein telah membuatnya ditertawai anak-anak sekelas. Bahkan oleh Bu Rani.
"Memang Keira bisa nyanyi, ya? Maksud Ibu, suara kamu bagus, Kei?" tanya Bu Rani membuat sekelas menaruh perhatian pada Keira.
"Nggak kok, Bu. Suara saya biasa aja. Saya kan... bukan penyanyi," jawab Keira, agak gugup.
"Setelah diingat-ingat gue belum pernah dengar Keira nyanyi deh," celetuk Boby, si gendut di 11 IPS-3.
"Iya juga. Kei emang nggak pernah nyanyi di kelas. Jadi penasaran," Shella menyahut. "Nyanyi dong, Kei!" serunya. Anak-anak lain juga mulai menyuruhnya bernyanyi.
"Nggak bisa! Gue nggak bisa nyanyi!" Keira langsung menolaknya.
"Nyanyi dong, Genius! Penasaran nih sama suara lo. Kok Zein bisa milih lo jadi vokalisnya sih? Jangan-jangan lo cuma mau nyanyi di depan Zein, ya?" celetuk Alvin. Tak ayal, semua anak langsung menggodanya.
"Nggak gitu..." Muka Keira sampai tak ada bedanya dengan tomat tua. Zeeeiiin, awas lo ya! Ia menggeram dalam hati.
"Ya sudah, Anak-anak. Jangan paksa Keira kalau dia tidak mau," tenang Bu Rani. "Kalau gitu kita putuskan Shella dan kelompoknya yang mewakili kelas kita. Latihan yang serius dan jangan lupa jaga kesehatan. Waktu kita cuma beberapa hari sampai pentas seninya."
"Siiip, Bu!" sahut Shella semangat. Ia memang sangat menyukai dance. Grupnya juga sudah sering tampil di berbagai kegiatan luar sekolah.
***
"Kok cemberut aja sih? Lagi bete kenapa?" tanya Ryu saat mengekori Keira pergi ke kantin.
Keira tak mau menjawab. Ia masih marah saja gara-gara Zein. Suasana hatinya jadi gelap. Sepanjang hari setelah kejadian itu ia mulai mengacuhkan Zein. Keira ingin menunjukkan bahwa rasa kesalnya tidak main-main.
"Kei, abis ini temenin gue ke toko kaset, yuk! Gue mau nyari kaset baru band favorit gue. Sekalian nyari angin juga. Entar gue traktir apapun makanan yang lo suka."
"Jangan mau, Kei. Modus!" ceplos Milli yang berjalan di sebelah Keira.
"Lo siapa nyahut seenaknya? Kabel juga nggak ada." Ryu melirik cewek itu sebal. Tampaknya Ryu sudah tidak suka Milli semenjak tahu dia tak tertarik dengannya. Ryu juga benci dengan cewek lagak cowok sepertinya.
"Gue sobatnya Keira," jawab Milli tegas. "Dan asal lo tahu, gue ketua kelas 11-IPS-3. Jadi Keira masuk dalam wilayah perlindungan gue. Nggak akan gue biarin anak buah gue jatuh ke cowok playboy macam lo."
"Dengan alasan apa lo bisa nyebut gue playboy?" Ryu hampir naik pitam disebut begitu. "Kasar banget jadi cewek. Pas sih dengan gaya lo yang sok jago. Norak!"
"Gue emang jago kali. Lo nggak tahu kalau gue ini masih sedarah sama Chris John?" kata Milli, menyebut dirinya sebagai saudara petinju profesional Indonesia.
"Pantesan mirip," sahut Ryu cepat. "Sama sarung tinjunya!"
"Waahh, nyolot juga lo!" Milli tertawa membahana. Tentu bukan tawa senang, tapi tawa kesal karena sudah diremehkan.
"Udah lah, Mil. Gue lagi suntuk. Kayaknya nggak pa-pa gue ikut Ryu. Gue juga lagi pengen nyari pemandangan sama lihat-lihat kaset baru." Keira akhirnya buka suara karena cekcok mereka. Ryu pun menyunggingkan senyum lantas menjulurkan lidahnya.
"Anggap aja hari ini lo lagi beruntung. Tapi setiap langkah lo buat deketin Keira, gue bakal patahin seperti ini." Milli menunjukkan bekas tusuk sate yang dipotong-potong di tangannya, kemudian ia sebar ke udara. Namun Ryu tersenyum masam melihatnya.
***
Hari pun kembali berganti. Keira tak bisa memejamkan matanya malam ini. Sudah jam setengah 12 malam, tapi Keira masih juga terjaga di kamar.
Bosan bermain game di ponsel, Keira melihat-lihat kontak list. Entah kenapa Keira kepikiran Zein lagi di saat insomnia melanda. Padahal sudah 2 hari Keira marah dengannya. Ia tidak mau dekat-dekat dengan Zein sejak hari di mana Keira jadi bulan-bulanan anak sekelas. Dua hari tidak mengobrol dengan Zein—dan Keira selalu menghindarinya.
Dering tanda panggilan masuk berbunyi di ponsel Keira. Siapa malam-malam begini mau telpon? pikirnya heran. Keira terhenyak melihat nama Zein yang muncul. "Huh, mau apa sih dia?" gerutunya walau baru saja ia sedang memikirkannya. "Nggak bakal gue angkat. Nggak sudi ngomong sama dia."
"Halo?" Namun detik berikutnya Keira justru sudah memencet tombol hijau.
"Hai. Belum tidur ya?" tanya Zein dari seberang sana.
"Kalau udah tidur kenapa? Gue juga bakal bangun kan kalau denger HP gue bunyi terus?" jawab Keira ketus.
"Tapi suara lo kayak belum tidur deh. Nggak bisa merem ya?" Zein menebak, tanpa peduli Keira yang jutek padanya.
"Hm. Insomnia kali," ucap Keira, asal.
"Nggak karena mikirin gue lagi, kan?" Zein coba menggodanya.
"Harapan lo kelewat tinggi. Yang ada lo yang nggak bisa tidur makanya nelpon gue. Iya, kan? Kangen, ya?"
"Iya." Jawaban pendek Zein membuat Keira menahan napas. "Lo belum ngantuk, kan?" tanya Zein kemudian.
"Kenapa?" jawab Keira, masih saja jutek.
"Masih marah sama gue ya?"
"Pikir aja sendiri," jawab Keira malas.
"Ya oke, gue minta maaf deh," kata Zein dengan suara melembut. "Maafin gue, Keira. Sori udah kelewatan bercanda. Tapi serius, gue nggak ada maksud jelek kok."
Keira diam saja walau senyum telah mengembang di bibirnya. Jarang-jarang ia mendengar Zein bersuara lembut seperti itu.
"Kei, lo mau maafin gue, kan? Gue males lihat lo ngindarin gue mulu. Udah dua hari, lho! Ingat pelajaran agama, nggak? Ada hadist yang bilang, mendiamkan sesama lebih dari tiga hari itu dosa. Lo mau masuk golongan orang kafir cuma gara-gara diemin gue?"
"Cckkk, lo preman sekolah aja sok-sok ceramah agama. Nggak cocok. Lucu, tau?" Keira pun tak kuasa menahan tawa mendengar Zein menceramahinya.
"Ya preman kan cuma julukan lo doang," sahut Zein. "Preman di sekolah bukan berarti nggak tahu agama, kan?"
"Suka-suka lo aja deh," sahut Keira, kembali tertawa.
"Jadi lo udah maafin gue, kan?" tanya Zein kemudian.
"Belum sepenuhnya. Lo harus bikin gue ngantuk dulu. Baru gue maafin."
"Minta dinina bobokin?"
"Yah, cerita dong. Cerita apa gitu, Zein. Yang menyedihkan. Mengharukan," pinta Keira.
"Ya elah. Kata lo gue preman? Mana ada preman cerita mengharukan?"
"Ya makanya itu lo ada-adain," paksa Keira.
"Apa ya?"
"Ah, kalau gitu gue tanya sesuatu aja deh. Tapi lo harus jawab jujur ya?"
"Tanya apaan nih?" selidik Zein.
"Ya janji dulu lo bakal jawab jujur."
"Okee," Zein menyanggupinya meski agak terpaksa.
"Kenapa waktu itu lo bilang nggak mau terlibat hubungan cinta?"
"Hah?" Zein tampaknya terkejut atas lontaran itu. Beberapa lama ia tak lagi menimbulkan suara.
"Emm, kalau lo keberatan ya udah nggak usah dijawab nggak apa-apa. Gue tanya yang lain aja sebagai ganti," ucap Keira setelah menyadari ada yang tak beres.
"Oh, nggak apa-apa sih," tapi Zein segera menimpalinya. "Walaupun kelihatannya cuma asal ngomong, tapi sebenarnya gue serius nggak mau terlibat hubungan cinta. Itu karena orangtua gue."
"Eh?" Keira tentu kaget mendengarnya.
"Orangtua gue dulu adalah pasangan paling bahagia yang pernah gue tahu," Zein mulai bercerita. "Sebelum ngurus perusahaan Kakek kayak sekarang, Mama tadinya seorang dosen. Sementara Papa mendirikan tempat beladiri nggak jauh dari rumah. Mereka sangat memperhatikan gue dan kakak gue. Keluarga gue hidup normal dan jauh dari yang namanya keributan.
"Tapi suatu hari pas gue pulang sekolah, nggak sengaja gue lihat mereka bertengkar. Gue terkejut banget. Keluarga gue selalu baik-baik aja."
Jeda beberapa detik.
"Gue cuma tahu ada yang ngabarin Mama kalau Papa punya wanita lain di luar. Mama yang biasanya sabar nggak tahu kenapa hari itu bisa emosi banget dan memulai pertengkaran. Mereka ribut hebat, saling menyalahkan. Seumur hidup gue baru lihat Papa sama Mama ngucapin kata-kata sekasar itu."
Keira tak bisa bisa berkata apa-apa mendengar Zein bercerita tentang keluarganya. Ia tak menyangka jika pertanyaannya membawa Zein dalam suasana serius membahas keluarga.
"Gue lihat Mama nangis saat Papa pergi keluar setelah perdebatan hebat mereka. Gue nggak tahu harus berbuat apa. Gue cuma diam melihat dan mendengar semuanya. Sampai... sampai dua jam kemudian, Mama dapat telpon kalau mobil Papa mengalami kecelakaan. Papa gue... meninggal di tempat kejadian."
"A-apa?" Keira langsung menutup mulutnya. Perasaannya langsung tidak enak. "Ehm, maaf, Zein. Gue nggak tahu...."
"Jadi pertama kalinya Mama sama Papa bertengkar juga menjadi hari terakhir kami sekeluarga secara utuh dipertemukan. Kasih sayang kedua orangtua yang gue dapet dari lahir harus hilang dalam sekejap mata." Zein menghentikan ceritanya sebentar. Sepertinya ia sangat sedih mengingat almarhum ayahnya.
"Gue tahu, Mama sama Papa saling menyayangi. Mama sangat menyesal kenapa hari itu dia nggak percaya Papa dan malah kemakan gosip orang. Sampai hari ini Mama masih menyesal karena di hari terakhir bertemu Papa, Mama baru aja maki-maki dia. Apalagi beberapa bulan kemudian kami tahu bahwa wanita yang dianggap selingkuhan Papa ternyata anak angkat Kakek. Yah, itu cuma salah paham."
Keira ikut sedih mendengarnya. "Zein, maaf," ucapnya pelan.
"Kenapa minta maaf?" Zein menanggapinya ringan. "Ya intinya penyesalan Mama bikin gue takut mencintai seseorang. Mama sangat menyayangi Papa. Kehilangan seseorang yang sangat disayangi itu sangat menyakitkan. Makanya, sejak hari itu gue mikir nggak mau terlibat hubungan cinta. Gue takut jika gue mencintai seseorang dan suatu hari gue kehilangan dia..." Zein tak mampu meneruskan ucapannya.
Tanpa dilanjutkan Keira sudah tahu maksudnya. Zein tidak ingin berakhir sedih seperti Mamanya. Apalagi dengan kesan terakhir seperti itu.
"Kei," Zein menyebutnya tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Gue emang nggak mau jatuh cinta sama seseorang sejak hari itu," ucapnya usai mengambil napas sebentar. "Tapi mungkin, bagi lo itu pengecualian."
"A-apa?" Keira langsung berseru dengan hati berdebar-debar.
"Cerita gue udah cukup panjang. Lo pasti udah ngantuk, kan? Gue juga udah mulai ngantuk nih. Sampai besok!" Zein lalu tiba-tiba mematikan telponnya.
Tut. Tut. Tut.
Bagus. Zein mengakhiri obrolan dengan ucapan misterius seperti itu. Jadi bagaimana Keira bisa tidur sekarang? Hatinya juga jadi berdebar-debar tidak karuan, kan? Apa secara tak langsung Zein mengakui kalau dia sudah suka pada Keira. Keira ingin tersenyum dan bahkan ingin tertawa bahagia. Tidakkah menyenangkan jika cintanya tak bertepuk sebelah tangan?
***
Hari Sabtu akhirnya datang. SMA Pahlawan sudah ramai sedari pagi karena acara pentas seni yang diadakan. Sebuah panggung megah dibangun di dalam aula sekolah. Seluruh siswa dan para guru hadir di sana untuk menonton pertunjukan.
Nomor urut kelas yang akan tampil sudah ditentukan berdasarkan undian. Kelas 11-IPS-3 kebagian tampil nomor 7. Milli yang mengambil undiannya cukup senang karena urutan ke-7 menurutnya cukup aman. Tidak terlalu awal dan tidak juga terlalu akhir.
Undian pertama didapatkan oleh kelas 12-IPA-4. Itu merupakan Kelas Benny dan Febri. Mereka menunjukkan aksi kebisaan para personilnya. Pertunjukan karate diiringi musik hiphop, berkolaborasi dengan kemahiran Febri dalam memainkan bola basket. Cukup seru untuk pembukaan acara.
Nomor urut kedua dari kelas 10-5. Anak-anak dari kelas itu menunjukkan bakat permainan biola yang dilakukan empat cewek cantik dari kelas itu. Cukup mempesonakan para siswa dan guru-guru di sana.
"Mill... Milli! Milli!" Gina dan Maria tiba-tiba berteriak dari pintu ruang masuk aula. Mereka berdua tampak panik setengah mati. Dengan napas ngos-ngosan mereka menghampiri Milli dan anak-anak 11-IPS-3 lainnya.
"Ada apa? Kalian kayak dikejar setan aja, sih?" tanya Milli heran.
"Ini lebih gawat daripada dikejar setan, Mil. Ini sangat bahaya!" jawab Gina dengan muka pucat pasi.
"Ada apa emangnya?" tanya Milli penasaran.
"Shella, Mil. Shella...!" Gina sampai tak bisa meneruskan ucapannya.
"Shella kenapa?" tanya Milli curiga.
"Mobil yang ditumpangi Shella sama gengnya kecelakaan!" seru Maria.
"APA? KECELAKAAN?" Milli membelalakkan mata. "Serius?"
"Iya. Tadi Shella nelpon gue. Mobilnya keserempet bus. Shella bilang mereka nggak sampai luka parah sih, tapi mereka sekarang di rumah sakit. Bahkan Rully sama Anggit masih pingsan. Zoya juga kakinya luka. Shella bilang mustahil mereka bisa tampil kalau keadaan mereka seperti itu sekarang," terang Maria dengan suara gemetar.
Tak cuma Milli, kini semua anak 11-IPS-3 panik tidak karuan. Milli sebagai ketua kelas tentu saja yang paling kebingungan.
"Gimana, Mil, kita nggak mau dikirim ke pembuangan sampah selama liburan! Nggak mau!" Anak-anak ribut ketakutan.
"Aduh, gue juga nggak mau! Lagian kasihan Bu Rani. Bu Rani kan juga alergian," kata Gina, hampir menangis.
"Tenang semuanya. Tenang!" Milli menyuruh anak-anak untuk berhenti panik. Padahal ia sendiri juga kacau sebenarnya.
"Pasti di antara kalian ada yang punya kelebihan, kan?" tanya Milli.
"Gue, Mil!" seru Boby. "Gue punya kelebihan berat badan," jawabnya dengan polos.
Milli langsung memukul kepala anak itu. "Terus lo mau goyang lemak perut, hah?" semprotnya. Ia segera mengalihkan pandangan ke Zein dan gengnya.
"Apa? Lo nyuruh kami?" tanya Alvin saat sadar Milli juga menatapnya.
"Please, cuma kalian harapan kita satu-satunya. Ini demi kelas. Demi Bu Rani juga," pinta Milli. "Kalian udah sering latihan band, kan? Jadi kalian pasti bisa meskipun tampil dadakan."
Semua mata anak sekelas memohon penuh harap pada ketiganya.
"Ya udah lah, guys. Kita anggap aja kita kayak lagi latihan biasa," Zein pun dengan mudah menyanggupinya.
"Alhamdulillah, kita selamat! Kita selamat...!" Anak-anak sekelas berseru lega.
"Tapi seperti yang pernah gue omongin kemarin, kita butuh vokalisnya. Suara gue terlalu biasa untuk jadi vokal utama. Gue biasa jadi backing vocal doang. Band kita punya vokalis dari luar sekolah soalnya," terang Zein sambil mengarahkan pandangan ke Keira.
"Ja-jangan gue..." Keira langsung megap-megap.
"Please, Keira. Tolong kami. Ini demi kelas dan Bu Rani kita." Anak-anak lain langsung memohon-mohon padanya. Bahkan ada yang rela bersujud daripada dikirim ke tempat pembuangan akhir kota.
"Kei, kali ini aja. Gue yakin lo bisa kalau Zein aja berani nunjuk lo. Please, ini permintaan ketua kelas dan semua dari kita." Milli memegang pundak Keira dengan pandangan permohonan tulus.
Melihat semua mata anak sekelas tertuju padanya, Keira tak bisa menolak ataupun mengiyakannya. Ia tidak yakin bisa menyanyi di depan umum. Benar, Keira sering berkaraoke di rumah. Keira tahu menyesuaikan nada-nada lagu. Tapi hanya lagu-lagu band rock yang ia bisa. Hanya lagu-lagu band idolanya saja yang Keira hafal seluruh liriknya.
"Ayo, Kei! Gue percaya sama lo." Zein segera menarik Keira menuju belakang panggung. "Lo nggak mau jadi orang egois, kan? Ini demi kita semua."
"Ta-tapi...."
Zein tak mempedulikan penolakan Keira. Ia, Alvin dan Oki menggiringnya menuju backstage untuk mempersiapkan penampilan dadakan mereka. Seluruh siswa 11-IPS-3 menggantungkan harapan pada mereka. Hanya mereka dewa penolong kelas yang ada.
"Zein, tolong," ucap Keira dengan bingung dan gemetaran. Ia sadar ia tidak boleh egois, tapi bagaimana bisa ia tampil di depan seluruh sekolah? Sebagai rocker? Ya ampun, tolong aku Tuhan!