webnovel

Aku Gak Punya Nama

Bab 4: Aku gak punya nama

Langkahku terbata-bata ragu, namun ini pasti waktu yang tepat untuk menemui Tuhan.

Dari gerak-gerik seorang wanita muda, kuperhatikan bagaimana ia mengambil wudhu.

Ingin rasanya bertanya. Namun malu bukan kepalang. Hanya menyimak gerak-gerik setiap orang yang tertangkap mata ini yang tengah shalat. Hidup dalam kemewahan dimasa lalu, telah membuatku lupa bagaimana doa-doa dalam shalat.

Usai wudhu beberapa orang wanita muda pun berdatangan, syukurlah. Ini adalah jalan untukku agar meniru shalat mereka. Menjadi makmum.

Aku pun melakukan hal yang sama dari arah belakang. Meniru gerakan demi gerakan mereka. Semoga Tuhan memaklumi diriku yang hanya terdiam dalam shalatnya. Karena aku sungguh lupa doa dan ucapan apa saja yang mesti kuucapkan selain alfatihah.

Usai shalat, air mataku mengalir deras meski tanpa suara. Namun, batinku terasa tenang dan damai. Lalu para Gadis itu pun pergi dari hadapanku.

Aku hanya terdiam aku menangis sejadi-jadinya. Meluapkan emosi yang membendung hati dan pikiranku.

Setelah puas menangis, aku pun hendak pergi meninggalkan mesjid. Tiba-tiba saja jiwaku terasa damai dan sejuk, padahal shalat yang kulakukan hanya membaca doa yang kuingat, paling tajam alfatihah. Selebihnya aku banyak diam. Namun, efeknya terasa dihati dan dipikiran ini. Akh, sepertinya besok pagi aku harus pergi ke mesjid lagi.

Pelan kaki ini melangkah, perutku terasa perih akibat lapar. Ini adalah hari pertama bagiku mencari sesuap nasi. Karena di lapas, ada jatah dan jadwal setiap harinya untuk mengisi perut.

Meski lapar, tapi hatiku merasa lebih luas. Seperti ada sebuah cahaya kecil yang memasuki ruang hatiku. Mungkin karena kebebasan yang saat ini kembali menjadi milikku.

Hanya uang Rp100.000 yang saat ini ada dalam genggamanku. Pastinya sehemat mungkin harus ku pergunakan uang ini. Meski lapar, ada yang lebih terasa saat ini. Yaitu mengantuk. Mataku terasa sayu, tubuhku pun terasa begitu lelah. Entah dimana kini tubuh ini harus di istirahatkan.

Entah harus dimana ku pejamkan mata ini.

Dimana kira-kira tempat yang sudah tak dipakai lagi orang lain?

Gedung kosong? Duh, itu sepertinya terlalu menantang adrenalin. Bisa jadi telah dihuni oleh makhluk halus. Banyak yang bilang bahwa jika sebuah tempat terlalu lama ditinggalkan, maka akan dihuni bangsa lain.

Di emperan toko? Gak! Aku gak ingin menjadi benalu untuk tempat orang lain. Belum tentu pemilik toko rela sebagian tempatnya ku tiduri.

Melewati sebuah warung. Aku pun membeli dua potong roti. Untuk saat ini, dan mungkin untuk esok pagi satu.

Aku pun terduduk berpikir. Seraya mengunyah perlahan roti. Tiba seorang anak kecil yang menatapku nanar. Tepatnya menatap roti yang ku makan.

"Sini duduk!" ajakku padanya. Menepuk bagian pinggir ku.

Ia pun duduk di sampingku. Ku sodorkan roti itu padanya. "Nih!" ucapku. Matanya berbinar ceria.

"Makasih Mba," balasnya seraya membuka plastik pembungkus roti tersebut. Ku anggukan kepala saja.

"Mba lagi ngapain?" Anak itu tahu aku tengah kebingungan. Terdiam sesaat.

"Mba sedang cari tempat yang kosong, yang gak dimiliki orang. Untuk tempat tinggal," jujur ku ungkapkan tujuanku.

"Aku ada tempat. Tapi kumuh dan gak layak huni. Mau?" anak itu menawarkan bantuan. Sedangkan ekspresinya masih santai berfokus mengunyah makanannya.

"Bayar?" tanyaku ragu.

"Gratis!" jawabnya.

"Mba mau," ku terima tawarannya.

"Yuk!" ajaknya seraya bangkit dari tempat duduknya. Aku pun mengekori langkah anak itu. Berharap ia jujur dan dapat dipercaya.

Langkahnya penuh semangat meski ia bahkan tak memakai sandal, menyanyi ria.

Aku tersenyum melihatnya, ia terlihat senang, seolah ia begitu menikmati keindahan dunia ini. Masa kecil memang indah. Dan Aku rindu masa kecilku.

Setelah belasan menit, bocah itu membawaku pada tempat lama yang ternyata benar-benar kumur. Yaitu gerbong kereta api bekas.

Disini, ada begitu banyak orang. Beberapa dari mereka ada juga yang tengah bermain.

Aku ingin bertanya, dari mana anak-anak ini berasal? Akh, untuk apa aku bertanya demikian, takutnya melukai perasaan mereka, aku juga tidak ingin bertanya. Toh aku juga tidak ingin ditanyain dari mana aku berasal, karena pertanyaan itu seperti pisau untuk batinku.

"Aku Juki!" bocah itu mengenalkan dirinya padaku.

Aku tersenyum, "Makasih Juki," balasku. Aku tak ingin mengenalkan diri pada bocah itu.

"Ini tempat yang kosong! Mau?" Juki bertanya lagi. Aku mengangguk setuju.

Tak ada pilihan lain.

"Makasih ya!" ucapku lagi.

Juki mengangguk, "itu rumah Juki dan emaknya Juki," bocah itu menunjuk ke arah sebuah gerbong yang lain. Aku pun mengangguk paham.

"Juki pergi dulu ya!" Pamitnya riang. Aku hanya mengangguk pasrah.

Malam ini mataku enggan untuk terpejam. Ada banyak hal yang membebani pikiranku.

Aku mengerjap terkejut kala mendengar suara terjatuh sebuah benda, atau apalah ...

Secepatnya kulihat ke luar, mataku membulat saat kutemukan sebuah sosok yang yang saat ini tak sadarkan diri. Tubuhnya terbujur lemas tepat didepan tempat tinggal baruku.

Bingung namun sedikit takut. Tapi tak mungkin juga kubiarkan orang tersebut tergeletak begitu saja disini.

Dengan susah payah kubawa orang tersebut ke dalam tempat tinggalku. Ada banyak luka kecil ditubuhnya.

Hal pertama yang kulakukan adalah membalut luka-luka kecil di tubuhnya. Dengan kain seadanya. Yaitu baju gantiku sendiri. Yang ku potong menjadi bagian kecil-kecil.

Beruntungnya sebelum keluar dari lapas, aku diberikan beberapa pegangan obat, di antaranya, P3K dan obat-obatan untuk beberapa hari yang bisa digunakan.

Obat itu diberikan oleh petugas bagian klinik yang berteman baik denganku. Aku pernah membantunya menangani pasien napi, yang keguguran di lapas akibat pasien tersebut terlalu stress, beberapa kali aku pun membantu para napi untuk melakukan pemeriksaan atau perawatan luka kecil, atau ketika mereka sakit atau terluka akibat terjatuh di sebuah tempat, hingga aku sudah sering bertemu dengan perawat di tempat klinik tersebut.

Aku pun memberikan perawatan pada orang itu, banyak luka lebam di tubuhnya. Memberikan alkohol dan memaksa agar orang tersebut meminum paracetamol dan ibuprofen, semoga dia segera sembuh dan segera terbangun dari pingsannya.

Benar saja, paginya ia terbangun dan langsung mengerjap kaget.

"Kamu siapa?" tanyanya terkejut langsung terbangun dari posisi berbaring.

"Aku ... Aku ya aku!" jawabku kebingungan.

"Kenapa aku ada disini?" tanyanya masih kebingungan.

"Kamu pingsan semalam didepan tempat tinggalku, aku bawa ke sini," jawabku.

Cahaya matahari semakin terbit menyinari bumi. Saat pagi tiba, wajahnya terlihat lebih jelas, ternyata dia sangat terlihat tampan rupawan, dan terlihat cukup berwibawa. Aku tak berani bertanya siapa dia, bukan urusanku.

Kusodorkan roti padanya, roti yang kubeli beberapa menit lalu, di tempat semalam yang kubeli, juga di tempat bertemu dengan Juki.

"Nih!" ucapku, tapi dia sepertinya enggan menerima pemberianku.

"Roti ini nggak beracun, kamu harus segera sembuh, mungkin keluarga kamu sedang nyariin kamu," ucapku meyakinkan dia.

Sesaat dia tertegun melihat beberapa bagian lukanya, yang ku balut dengan potongan-potongan kecil bajuku, bahkan di pergelangan tangannya ia mengerutkan keningnya.

"Aku nggak punya plester yang banyak, aku juga nggak punya perban, jadi maaf cuma pakai kain pakaianku saja, yang ku potong-potong," ucapku menjelaskan kebingungannya.

"Makasih," ucapnya pelan.

Aku hanya mengangguk.

"Apa aku masih boleh menginap di sini?" tanyanya.

"Ini gerbong kereta api," ucapku mengingatkannya.

"Iya aku tau, ini bukan hotel," balasnya.

"Ya silahkan kalau nyaman, tapi ini bukan rumah, mungkin keluarga kamu sedang nyariin kamu," ucapku.

"Aku masih ingin beristirahat," ucapnya.

"Kalau gitu makan dulu rotinya," pesanku.

Dengan perlahan pria itu pun membuka plastik roti tersebut, sepertinya tangannya masih kaku, ku raih kembali roti tersebut.

"Bukannya itu untukku ya!" protes.

"Iya ini emang untuk kamu, aku mau cuma bukain doang, kayaknya kamu susah banget untuk sekedar buka plastiknya," ujarku seraya membuka plastik lalu kembali menyodorkannya pada pria itu.

"Makasih," ucapnya lagi.

"Kamu tahu nggak siapa aku?" tanyanya sambil mengunyah roti tersebut.

"Nggak tahu! dan nggak mau tau!" balasku dingin.

"Oh!" jawabnya irit, seraya kembali mengunyah.

Juki pun tiba-tiba masuk ke gerbong ku.

"Mba! aku mau ngajak Mba kerja!" ucap Juki ceria.

Aku tersenyum padanya, "Juki sarapan dulu ya!" kusodorkan sebuah roti padanya.

"Makasih!" ucapnya ceria, aku pun mengangguk.

Saat membuka roti tersebut, Juki terkejut karena melihat sosok pria yang juga sama-sama tengah mengunyah roti.

"Itu siapa?" tanyanya menunjuk pada pria itu.

"Nggak tau! itu orang!" jawabku asal.

"Lah emang itu orang, tapi maksudnya siapa?" tanya Juki cerewet.

"Semalam Mbak nolongin orang ini, dia pingsan di depan gerbong Mba," jelasku.

"Kok mau-maunya nolongin orang? kalau orang jahat gimana?" celetuk Juki.

"Eh bocah tengik! mulut tuh dijaga!"

pria itu protes pada Juki. Mungkin dia tersinggung dicurigai oleh Juki.

Aku tersenyum kecil.

"Sudah ah, jangan bicara seperti itu, Mbak cuma nolongin orang kok. Mungkin siang atau sore ini dia juga pulang kerumahnya, kasihan dia, banyak terluka," pungkasku.

Juki menatap pria itu, "kenapa dia terluka, jangan-jangan dia orang yang lagi diburu polisi," lagi-lagi Juki nyeletuk.

"Bukan urusan Mba! urusan Mba cuma nolong dia," jawabku acuh.

Pria itu melotot pada Juki.

"Juki mau ngajak Mba kemana? kerja apa?" tanyaku.

"Mulung, kita cari plastik, terus kita jual, untuk makan, habis itu Mba traktir aku lagi," pintanya.

"Beres!"

Ucapku mengacungkan jempol pada Juki, aku senang karena anak kecil itu terlihat cepat akrab, bahkan pada aku yang baru dikenalnya semalam.

"Juki tunggu di depan ya!" ucapnya seraya pergi dari hadapanku.

Aku pun bersiap-siap untuk bekerja bersama Juki, ini hari pertamaku mencari sesuap nasi, aku harus menghemat uang yang diberikan Ridho untukku.

"Kamu dengar sendiri kan, hari ini aku mau kerja, kalau kamu mau istirahat, istirahatlah, aku tinggal dulu," ucapku pamit, dia hanya menatapku tanpa jawaban mengunyah roti dengan perlahan.

"Siapa nama kamu?" tanya dingin.

Aku menoleh padanya, "aku nggak punya nama!" jawabku tak kalah dingin.

Ia menatap tajam padaku.

Bersambung ...