webnovel

TERTANGKAP BASAH

Oma Siska akhirnya mendatangi rumah Eliza. Eliza yang baru saja pulang dari rumah sakit pun dikejutkan kehadiran Oma yang sudah dianggapnya seperti Omanya sendiri.

"Eliza!" panggil Oma Siska dengan wajah ketus.

"Oma," sahut Eliza menyambut kedatangan Oma Amaliya itu.

"Eliza! Kamu sudah merusak hati Amaliya. Jangan kamu rusak lagi hati Malik. Oma tidak setuju dengan pernikahan kamu dan Malik hanya untuk menutupi aib kamu dan Mihran," pekik Oma Siska tegas.

"Malik terlalu baik buat kamu," bentak Oma Siska. Eliza hanya tertunduk malu.

"Oma ingat persahabatan kalian bertiga. Kamu itu anak yang baik. Lantas, kenapa jadi begini? Mungkin akibat pergaulan kamu di luar negeri yang salah," sindir Oma Siska.

Oma Siska pun akhirnya memilih pergi setelah meluapkan rasa kecewanya pada Eliza. Anak yang sudah ia anggap cucunya sendiri.

"Dosa yang sudah kubuat telah menghancurkan nama dan reputasi aku di depan keluarga Amaliya," lirih Eliza.

-------

"Alia, kita mau ke mana ini sebenarnya?" tanya Amaliya.

Alia mengajak sang Bunda ke sebuah bukit. Di sanalah Alia ingin menghibur sang Bunda yang beberapa hari terakhir ini selalu bersedih.

"Alia enggak mau Bunda sedih terus. Jadinya Alia ajak ke sini deh," celetuk Alia.

"Itu tenda siapa? Kita mau kemping di sini?" sahut Amaliya.

"Iya. Bunda jangan terkejut gitu dong. Alia masih ada kejutan lainnya," seru Alia yang langsung membuka tenda itu perlahan.

Mihran pun akhirnya keluar dari tenda. Amaliya pun kaget dan ia menyangka jika Mihran ada di balik semua ini.

"Pokoknya hari ini Alia sama Bunda dan Ayah bakal happy. Makanannya juga udah ada," ucap Alia tersenyum.

"Mihran pasti yang sudah mempersiapkan semuanya dan dia meminta bantuan Alia. Tidak semudah itu aku memaafkan kamu, Mihran," batin Alia.

Alia pun menarik kedua orang tuanya ke sebuah danau di belakang bukit yang indah itu. Gadis cilik berusia 7 tahun itu tahu jika kedua orang tuanya sedang bertengkar hebat.

"Bun, ayo dong senyum sama Ayah. Bunda masih ingat nggak sama cincin ini?" ujar Alia memperlihatkan sebuah kotak berisi sepasang cincin mainan yang pernah diberikan Mihran dulu.

Amaliya pun flashback ke beberapa tahun silam. Saat Mihran memberikan cincin itu ketika masa di mana ia menyatakan cintanya dan melamarnya dulu.

"Pasti Mihran deh yang kasih tahu soal cincin ini ke Alia," batin Amaliya. Matanya pun melirik ke arah Mihran yang berdiri di samping Alia.

"Apa sih maunya? Manfaatin anak buat baikan," gerutu Amaliya dalam hatinya.

"Nah, sekarang Ayah sama Bunda harus baikan. Harus saling memaafkan," goda Alia.

"Ayah tuh yang banyak salahnya sama Bunda," sindir Amaliya.

"Aku minta maaf ya. Please, akunya dimaafin ya," ujar Mihran meminta maaf dengan tulus.

"Ayo, Yah. Pasangkan cincinnya dijari Bunda dong," celetuk Alia.

Mihran pun mengambil cincin kenangan itu dan memasangkannya di hari manis kanan tangan Amaliya yang lentik itu.

"Aku mohon, buka pintu maaf kamu buat aku ya. Aku akan mencintai dan menyayangi kamu selamanya," ucap Mihran dengan penuh harap.

"Sekarang gantian. Bunda yang pasangkan cincin ini ke jari Ayah," ujar Alia tertawa.

Amaliya menatap sinis Mihran

"Ayo, pasangin," tekan Alia.

Amaliya pun akhirnya mengambil cincin itu dan memasangkan ke jari Mihran dengan wajah yang masih sinis.

"Sekarang Bunda cium tangan Ayah," pinta Alia membuat Amaliya terkejut.

Wajah Amaliya yang masih kesal pun tidak dapat ia sembunyikan. Mihran hanya tersenyum. Amaliya pun akhirnya mencium tangan sang suami.

"Horee ... sekarang Ayah sama Bunda sudah baikan. Makasih ya Allah, udah dengarkan doa Alia," ucap Alia bahagia.

Mihran pun memeluk istri dan anak yang begitu ia cintai. Akhirnya, usahanya mengajak Alia pun membuahkan hasil. Walau Amaliya masih belum sempurna memaafkannya.

"Kita selamanya akan selalu bersama, tidak akan terpisahkan. Hanya maut yang akan memisahkan kita," bisik Mihran.

"Maut itu sudah ada. Maut itu sahabatku sendiri," batin Amaliya. Matanya pun nanar, menahan tangis.

Malam itu Alia bersama kedua orang tuanya menghabiskan waktu di dalam tenda. Mihran pun mengajak Alia dan Amaliya makan jagung bakar. Dinginnya malam pun begitu menghangatkan ketika jagung bakar dan segelas kopi disantap.

Alia pun akhirnya mengantuk. Ia pun masuk ke dalam tenda. Saat bersamaan, Amaliya dan Mihran kembali menjauh.

"Kirain kita udah baikan?" tanya Mihran saat Amaliya duduk menjauh darinya.

"Aku hanya enggak mau melihat Alia sedih. Apalagi ketika mendengar doa dia yang ingin kita bersama lagi. Aku cuma nggak mau Alia sedih," jawab Amaliya.

"Kamu mau kan wujudkan doanya Alia?" tanya Mihran.

"Tidak semudah itu aku memaafkan kesalahan kamu, Mihran. Kamu sudah terlalu menyakiti aku. Aku tidak bisa tidur satu tenda sama kamu," balas Amaliya.

"Tapi, Amaliya ...."

"Lebih baik kamu masuk sekarang. Kamu temani Alia sekarang," pinta Amaliya yang berusaha menahan bulir bening itu agar tidak jatuh.

"Di sini itu dingin. Kamu saja yang di dalam, temani Alia," pinta Mihran.

Amaliya pun akhirnya masuk ke dalam tenda dan membiarkan Mihran duduk di luar tenda.

Ketika tengah malam, Amaliya pun terbangun karena dinginnya cuaca malam itu. Membuatnya sulit tertidur.

"Kalau aku saja yang di dalam kedinginan, bagaimana dengan Mihran yang tidur di luar?" gumam Amaliya.

Amaliya pun memutuskan keluar membawa selimut. Ia melihat Mihran sudah tertidur hanya beralaskan daun pisang.

"Ya Allah, aku begitu sakit hati atas apa yang sudah terjadi. Tapi, kenapa aku tidak bisa melihat dia menderita.

Amaliya pun menutup tubuh suaminya itu dengan selimut tebal dan beranjak pergi. Namun, langkahnya terhenti saat Mihran menarik paksa tangannya.

"Sayang, lihat deh!" Mihran pun menunjuk ke langit malam itu yang dihiasi banyak bintang.

Kini Amaliya pun duduk di samping Mihran. Menatap langit yang sama. Langit yang dipenuhi cahaya bintang.

"Dulu itu kita paling senang banget lihat bintang.

"Terus aku cerita deh sama kamu dan berhubungan dengan bintang itu," ujar Mihran mengenggam tangan Amaliya erat.

"Malam ini, aku mau cerita buat kamu."

Amaliya terbawa perasaan. Rasa yang di mana ia dulu begitu bahagia memiliki suami seperti Mihran. Bulir bening itu terus memaksa keluar.

Namun, Amaliya memilih melepaskan genggaman Mihran. Ia masuk ke dalam tenda dan menumpahkan tangisnya sendiri. Tanpa harus Mihran tahu tentang luka hatinya yang belum sembuh.

Mihran tetap tidak menyerah. Ia berusaha mengingatkan Amaliya pada masa indah yang pernah dijalani. Tentang banyak cinta dan kata indah yang selalu ia berikan padanya dulu.

"Kamu ingat nggak, Amaliya, puisi Sapadi Joko Dimono yang pernah aku berikan ke kamu saat kita pacaran dan aku bacain pas kemping. Di depan api unggun dan di depan kamu," ucap Mihran.

Amaliya pun terduduk kembali di dalam tendanya. Membiarkan bulir bening membasahi pipinya.

"Aku ingin mencintai kamu dengan sederhana. Dengan kata yang tidak sempat disampaikan kayu pada api, yang menjadikannya abu ...."

Amaliya pun menangis. Hatinya perih mengingat kenangan indahnya bersama Mihran.

"Aku minta maaf, Amaliya. Aku sudah membakar api cinta kamu menjadi abu. Aku juga minta maaf kalau airmata kamu sudah menghapus kenangan indah kita menjadi tiada," lirih Mihran menahan tangisnya.

"Tapi sampai kapanpun, aku janji. Aku akan tetap berjuang untuk cinta kita. Meskipun pada akhirnya aku sadar, mencintai kamu tidak akan selesai ...." sambung Mihran.

Amaliya hanya bisa menahan tangisnya. Ia tidak ingin Mihran tahu, ada banyak luka dan airmata, bukan lagi kenangan indah.

-------

Mihran pun pulang mengantar Amaliya dan Alia pulang ke.rumah kembali setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama.

"Makasih ya, Yah. Alia senang banget."

"Iya, Sayang. Ayah pergi ke kantor dulu ya," pamitnya pada Alia. Alia pun mencium tangan sang Ayah dan masuk ke dalam rumahnya.

"Aku ke kantor dulu ya," pamit Mihran pada Amaliya. Namun, istrinya itu masih diam membisu.

"Bahkan Amaliya pun belum mau aku cium," gumamnya.

Mihran pun memilih pergi

"Mudah-mudahan seiring berjalannya waktu Amaliya bisa memaafkan aku. Bagaimanapun juga, aku tidak mau pisah dari dia," ucap Mihran di dalam mobil.

Di dalam perjalanan, Mihran pun melihat Eliza sedang berhenti dengan mobilnya di sebuah jalan.

"Loh, Eliza?"

Mihran pun menghentikan kendaraannya di depan mobil Eliza yang sedang mogok.

"Eliza ...." sapa Mihran. Eliza pun kaget melihat Mihran kini sudah ada di belakangnya.

"Aku bantu ya," seru Mihran.

"Enggak usah!" jawab Eliza ketus.

Mihran yang melihat Eliza yang kesusahan akhirnya membantunya mengganti bannya yang bocor.

"El, biar aku saja. Kamu kan lagi hamil, tidak baik kerja berat begini," tegur Mihran.

Saat Mihran sedang mengganti ban mobilnya tiba-tiba Eliza merasakan perutnya sakit. Ia mengalami kontraksi hebat hingga akhirnya Eliza nyaris pingsan. Mihran yang menyadarinya pun langsung membawa Eliza ke dalam mobilnya dan membawanya ke rumah sakit.

30 menit kemudian

Mihran sampai di rumah sakit. Eliza pun langsung ditangani di ruang UGD dan Mihran diminta menunggu di luar. Setelah dipindahkan ke ruang perawatan, Mihran pun diijinkan masuk.

"Dok, gimana keadaan Eliza?" tanya Mihran.

"Kondisi istri Bapak masih rentan. Harus dijaga ketat. Ibu Eliza harus bed rest. jangan sampai stres ya," pesan sang dokter.

"Tuh kan, kamu itu kan lagi hamil. Harus banyak istirahat ya. Aku akan jaga kamu. Kalau kamu ada apa-apa, jangan sungkan beritahu aku," pesan Mihran.

Mihran pun duduk di samping ranjang Eliza. Ia pun meminta pada sahabat baiknya itu agar mau terbuka padanya. Bagaimanapun, anak yang dikandungnya adalah darah dagingnya. Ia harus bertanggungjawab.

"Kamu enggak perlu buang waktu kamu untuk jagain aku. Aku bisa menjaga diri aku sendiri dan anak ini," sahut Eliza ketus.

"Eliza, anak yang kamu kandung itu adalah anakku. Jadi aku harus tahu apa yang terjadi. Please El, jangan keraskan hatimu. Kita sudah berbuat dosa. Jangan kamu tambah lagi. Anak itu tidak salah apapun," dalih Mihran. Eliza pun hanya diam membisu

"Aku tidak ingin kehilangan anakku. Kamu juga tidak mau kan kehilangan anak kamu," ucap Mihran.

"Mihran hanya ingin menjaga anaknya. Dia selamanya hanya akan mencintai Amaliya.Dia melakukan ini bukan untukku. Hal sudah sangat kusadari, tapi tetap saja menyakitkan," batin Eliza.

-------

Ibu Arumi mengantarkan Pak Taher ke rumah sakit. Sejak mengetahui permasalahan yang terjadi antara Mihran dan Amaliya, penyakit darah tinggi Pak Taher kambuh.

"Pa, jangan marah-marah terus ya. Ingat kata dokter, jangan stres," seru Bu Arumi.

"Ya gimana nggak stres, Ma. Melihat Amaliya disakiti begitu sama Mihran," tegas Pak Taher.

Saat berjalan menuju pintu keluar, Pak Taher melihat di sebuah ruangan Mihran yang sedang menemani Eliza di dalam kamar perawatan yang pintunya terbuka. Nampak jelas, Mihran sedang menyuapi Eliza yang sedang mengandung darah dagingnya.

Pak Taher pun murka. Ia datang menghampiri Mihran dan Eliza di dalam kamar perawatan. Ibu Arumi menyusul agar tidak terjadi pertengkaran.

Pak Taher pun langsung mendorong Mihran dengan kasar hingga membuat Eliza terduduk.

"Dasar laki-laki tidak tahu diri!" hardik Pak Taher. Ia murka melihat Mihran justru menemani Eliza di rumah sakit.

"Tidak tahu diri kamu. Setelah Amaliya mengangkat derajat kamu, kamu khianati dia. Kamu sukses juga berkat Amaliya. Sekarang apa? Setelah kamu sukses, kamu justru menghamili perempuan lain. Sahabat Amaliya sendiri," hardik Pak Taher yang murka.

Hati Pak Taher begitu terluka. Ia sungguh tersakiti ketika mengetahui putri kesayangannya itu dikhianati.

Eliza hanya diam tertunduk. Bu Arumi yang berusaha merelai pertengkaran itupun tidak dapat berbuat banyak.

"Selama ini saya sangat membenci kamu. Tapi, Amaliya selalu menahan. Karena dia mengira kamu lelaki yang baik. Tapi berjalannya waktu semua kecurigaan saya terbukti. Kamu laki-laki busuk dan tidak tahu diri!" hardik Pak Taher.

Pak Taher yang hendak memukul Mihran pun dicegah oleh Eliza. Ibu Arumi pun terpaksa menarik paksa suaminya.

"Sudah, Pa. Nanti Sarah tinggi Papa akan naik," sergah Mama Amaliya itu.

"Biar saya hajar laki-laki tidak tahu diri ini," teriak Pak Taher.

"Saya pastikan kamu dan Amaliya berpisah. Awas kamu!" bentak Pak Taher.

Ibu Arumi pun akhirnya berhasil membawa suaminya itu keluar dari kamar perawatan Eliza. Mihran dan Eliza yang syok pun hanya diam membisu.

"Mihran, kamu enggak apa-apa?" tanya Eliza.

"Aku enggak apa-apa kok," jawab Mihran.

"Mihran, sebaiknya kamu pulang aja deh," pinta Eliza yang khawatir jika ancaman Pak Taher menjadi kenyataan.

"Eliza, aku sudah janji sama diri aku sendiri kalau aku akan menjaga anak ini dengan baik. Aku tidak mau kehilangan anakku lagi," timpal Mihran.

"Kehilangan anak kamu lagi?" selidik Eliza.

Mihran pun mencoba mengalihkan pembicaraannya. Ia tidak ingin peristiwa beberapa tahun lalu diketahui orang lain, termasuk Eliza.

"Ya sudah. Kamu istirahat saja ya. Enggak usah dipikirkan kata-kata tadi. Ingat kata dokter, kamu enggak boleh capek dan stres," seru Mihran. Mihran pun membantu Eliza naik ke atas ranjang tempat tidurnya.

------

Rumah Amaliya

Di teras rumahnya, Amaliya yang sedang melamun memikirkan nasib rumah tangganya pun dihampiri Oma Siska yang malam itu sedang menginap menemani cicit kesayangannya, Alia.

"Amaliya, kamu sudah memaafkan Mihran? Secepat itu?" desak Oma Siska.

Amaliya hanya menangis. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Amaliya kembali teringat bagaimana Mihran berjuang untuk bicara dan meminta maaf padanya. Melawan alergi kucingnya yang parah demi sebuah kata maaf.

"Aku sudah berusaha Oma. Aku sudah berusaha untuk membenci Mihran. Tapi, aku nggak bisa, Oma ...." rintih Amaliya yang menangis.

"Setelah Mihran mengakui kesalahannya, rasa cinta aku yang begitu besar tidak bisa hilang dari hati aku," lirihnya.

"Oma mengerti perasaan kamu. Karena hal itu pernah Oma alami. Saat Oma tahu Opa kamu selingkuh dengan sahabat Oma. Itu sangat menyakitkan," seru Oma Siska.

"Makanya dulu Oma memperingatkan kamu karena Oma tidak mau kamu mengalami hal yang Oma alami dulu," lanjut Oma Siska terisak.

"Oma juga tahu kalau kamu masih mencintai suamimu. Tapi, kadang-kadang Oma selalu kesal sama Mihran. Karena dia jahat sama kamu. Tapi, Oma sedih melihat kondisi kamu dan Alia. Oma berharap, kamu bisa mempertahankan pernikahan kamu," pesan Oma Siska.

"Pertahankan suami kamu. Dan jangan pedulikan wanita perusak rumah tangga kamu," lanjut Oma kesal. Amaliya hanya bisa menangis, airmata itu membasahi pipinya.

"Kamu pasti bisa mempertahankan suamimu, pernikahanmu seperti Oma dulu," tegas Oma Siska.

Oma Siska pun mencium kening Amaliya. Ia pun memeluknya erat. Oma Siska tahu, ini berat untuk Amaliya.

"Kamu masih mau mempertahankan pernikahan kamu, Amaliya. Mau sampai kapan kamu sadar?" hardik Pak Taher yang tiba-tiba masuk bersama Ibu Arumi.

"Papa, tenang dulu. Kita bicarakan baik-baik. Nanti Papa bisa sakit," sergah Ibu Arumi. Oma Siska dan Amaliya pun terkejut melihat kemarahan Pak Taher.

"Selama ini kamu dibutakan oleh cinta. Selama ini Mihran bermain manis di belakang kamu. Sementara di belakang kamu, dia bermanis-manis dengan perempuan lain," serang Pak Taher.

Kalau kamu tidak percaya, silakan kamu datang ke rumah sakit langganan Papa. Kamu lihat sendiri bagaimana Mihran bermesraan dengan perempuan itu!" bentak Pak Taher.

"Mihran bermesraan dengan Eliza?" batin Amaliya.

bersambung ....