webnovel

Mana Teman Mana Musuh

BAB 17

Medan, 22 Mei 2018

Sudah pukul enam pagi, tapi Carvany masih berada di bawah pengaruh alam mimpi.

Pesta pernikahan yang dirayakan ala kadarnya di rumah Jacky Fernandi baru saja usai. Di seisi rumah banyak dijumpai ornamen merah dan kertas-kertas warna merah yang ditempel di sana-sini. Ada banyak ornamen huruf China yang artinya 'kebahagiaan ganda' dijumpai di sana-sini. Resepsi pernikahan diadakan dengan adat China yang masih kental. Tamu-tamu undangan berdatangan dan memberi ucapan selamat kepada Tuan dan Nyonya Yiandra.

Ayah dan ibu Ivana juga datang. Meski dengan berat hati, Pak James Pangdani memberi ucapan selamat kepada putrinya juga dan merelakan putrinya menikah dengan menantunya yang sebenarnya kurang disetujuinya. Namun, Pak James sangat menyayangi putrinya dan ia hanya bisa merestui pernikahan putrinya dengan menantunya. Hanya Rio Augusto yang benar-benar sakit hati dan tidak memunculkan diri dalam resepsi pernikahan temannya dengan wanita yang sangat dicintainya. Dia memilih menghabiskan seharian itu dengan meneguk alkohol di dalam kamar pribadinya.

Malam akhirnya datang. Purnama sama sekali tidak menampakkan diri di malam awal musim gugur berdasarkan kalender penanggalan China. Namun, angin sepoi-sepoi sedikit bertiup dan menerobos masuk ke dalam kamar pengantin Ivana di mana sang pengantin wanita duduk sendirian menunggu sang pengantin pria untuk bersama-sama menyelami samudera cinta, melewatkan malam pertama mereka.

Ivana merasa sedikit pusing. Aduh! Di saat-saat malam pertamaku dengan Jacky, aku merasa pusing lagi. Mungkin karena aku minum terlalu banyak arak tadi. Kalau tahu begitu, aku takkan meminum banyak arak tadi.

Ivana hanya bisa terus mengoleskan minyak angin ke kepalanya guna menetralisir pusing yang terus mendera kepalanya.

Jacky Fernandi perlahan-lahan membuka pintu kamar pengantin mereka. Dia mencium bau minyak angin di seisi kamar mereka. Dia segera menghampiri sang istri yang wajahnya masih tertutup cadar pengantin warna merahnya. Dia segera membuka cadar yang menutupi wajah istrinya.

"Kau tidak membuka cadarku dengan tongkat sakti yang ada di atas meja itu, Jack?" sang istri masih berusaha berseloroh meski sedikit rasa pusing masih berdenyut-denyut dalam kepalanya.

"Itu hanya adat… Sama saja aku buka dengan kedua tanganku sendiri bukan?" kini kekhawatiran muncul pada wajah Jacky Fernandi. "Kau minum terlalu banyak arak tadi. Kau merasa pusing?"

"Sorry… Sorry… Really really sorry, Jack… Justru di malam pertama kita, aku merasa kurang enak badan dan tidak bisa menemanimu…" Ivana berusaha meraih leher sang suami dan merebahkan kepalanya ke leher sang suami.

Jacky Fernandi tidak berkata apa-apa. Dia mengambil botol minyak angin dari atas meja dan kemudian mengoleskannya ke kepala sang istri. Dengan pijatan lembut kedua tangan sang suami, Ivana benar-benar merasa santai malam itu. Perlahan-lahan rasa pusingnya mulai memudar dan dia kembali bersemangat untuk melewatkan malam pertamanya bersama sang suami.

Jacky Fernandi tampak diam-diam mengulum senyumannya.

"Ada apa sih, Jack? Kenapa diam-diam tertawa seperti itu? Kau memikirkan wanita lain ya…?" goda Ivana sembari tertawa renyah.

"Tidak, Sayang… Kau sudah sangat mengenalku. Kau pasti sudah tahu apa jawabanku terhadap pertanyaanmu itu."

"Aku ingin mendengarnya sekali lagi dari mulutmu, Jack…"

"Duniaku hanya seputar klub 3P dan kau, Sayang…" bisikan lembut di telinga sungguh membangkitkan gelora hati dan hasrat kewanitaan yang selama ini terpendam dalam sanubari Ivana Pangdani.

"Aku jadi berpikir apa yang akan terjadi seandainya yang menjadi pengantin pria malam ini bukan aku, melainkan si Rio Augusto itu… Kau akan bisa tinggal di rumah yang besar nan mewah… Kamar pengantinmu pasti akan besar nan elegan juga, tidak kecil mungil seperti kamar dan rumahku ini… Semuanya akan berbeda jika kau menikah dengannya, Ivana…"

"Jawabanku hanya satu… Jika yang menjadi pengantin priaku malam ini bukan kau, melainkan si Rio Augusto itu, kau takkan melihat yang namanya Ivana Pangdani lagi, Jack… Sebab, aku sudah akan berangkat ke kehidupanku yang selanjutnya. Perlukah aku mengatakan lebih lanjut lagi?" senyuman nakal Ivana mulai menghiasi sudut bibirnya.

Jacky Fernandi menggeleng lembut. "Aku sudah tahu perasaan dan ketulusanmu padaku. Kau jangan mengulanginya lagi disertai dengan kemungkinan-kemungkinan yang mengerikan itu."

Ivana melingkarkan kedua lengannya ke leher sang suami. Dia mendaratkan satu kecupan mesra ke bibir sang suami.

"Peluklah aku, Jack… Kau sudah berjanji kau takkan melepaskan pelukanmu padaku seumur hidupmu lagi kan?" suara sang istri mulai terdengar begitu lemah lembut dan menggoda.

Jacky Fernandi mengangguk mantap. Dia akhirnya menyerah terhadap panggilan kodrati laki-laki yang sedang dimabuk asmara. Selanjutnya, hanya insting anak manusia yang sedang jatuh cinta yang mengambil alih. Tiada kata-kata lagi, karena tindakan nyata berbicara dengan lebih keras dalam dunia cinta dan kebahagiaan.

Perlahan-lahan, Carvany membuka kedua matanya. Dia cepat-cepat turun dari tempat tidur. Dia memegangi kedua belahan pipinya yang masih memerah dan memanas. Segera dia bergegas ke kamar mandi dan sejurus kemudian sudah terdengar guyuran air di kamar mandi.

Carvany membasuh dirinya dengan air segar di pagi hari. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin. Kenapa aku merasa bahagia sekali dengan mimpi tadi? Kenapa aku sedikit merasa kecewa aku harus bangun justru pada saat-saat klimaks seperti itu? Oh, Jacky… Jacky Fernandi Yiandra… Aku sudah lama mencintaimu rupanya… Itulah sebabnya, aku selalu merasa aman, bahagia dan tenteram setiap kali kau hadir di sampingku. Aku hampir tidak bisa percaya… Ternyata kehidupan lampau itu memang ada…

Lima belas menit kemudian, Carvany turun dari lantai atas. Hanya tampak Bu Nickesia Chowin Chen. Pak Kenric Chen sendiri entah ke mana.

"Ayah sudah berangkat, Bu? Sepagi ini?" Carvany melirik jam tangannya sebentar. Baru pukul setengah tujuh ini…

"Masih tidur… Katanya dia hari ini mau bangun jam sembilan. Kemarin ada rapat di universitasnya sampai jam delapan malam. Capek katanya…" senyum Bu Nickesia Chowin Chen.

Carvany mengangguk dan sedikit bernapas lega. Setidaknya Ayah tidak bangun karena capek, bukan karena dia sudah tahu permainan kotor Ibu, dan memutuskan untuk tidak lagi berbicara denganku dan dengan Ibu…

"Lho…? Mana sarapanku, Bu?" tanya Carvany sedikit bingung begitu tidak menjumpai apa-apa di meja makan pagi itu.

"Itu si Red sudah menunggumu di ruang depan. Kau sudah berjanji akan sarapan dengannya di luar, masih pura-pura menanyakan soal sarapanmu kepada Ibu ya…" senyuman Bu Nickesia Chowin sedikit menggoda. "Astaga, Carvany… Sungguh kau pintar menggaet cowok ya… Sudah tajir, gantengnya itu lagi… Bisa bikin hati meleleh… Jika saja kita bukan ibu dan anak, Ibu sudah bersaing denganmu untuk mendapatkannya."

Bu Nickesia Chowin Chen mencolek dagu anaknya sebelum ia menghilang masuk ke dalam kamarnya sekali lagi. Ia tampaknya ingin mandi dulu sebelum berangkat mengajar pagi itu.

Carvany berjalan ke ruangan depan dengan perasaan deg-degan. Tampak sosok baju merah sudah duduk menunggunya dengan manis di ruang depan.

"Akhirnya siap juga kau, Carvany… Sudah terlambat setengah jam ya… Sudah hampir jam tujuh ya nih… Bagaimana kita bisa sarapan sebelum kau masuk kerja nih…?" Jacky Fernandi tampak sedikit bersungut-sungut.

"Kita… Kita… Kita bisa sarapan di kantin sekolah saja kalau begitu… Kau tidak bilang mau datang menjemput, jadi aku bangun pada jam enam seperti biasa…" kata Carvany sedikit gelagapan dan merasa panas dingin berada di depan sang malaikat merah.

"Ada apa? Kenapa wajahmu memerah seperti itu?" tanya Jacky Fernandi mendekatkan wajahnya ke wajah Carvany guna memeriksa apakah ada masalah yang terjadi pada sang putri pujaannya.

"Tidak kenapa-kenapa… Ayo kita berangkat sekarang…" kata Carvany hendak berlalu pergi.

Jacky Fernandi mencegat lengan sang putri pujaan. Kontan saja Carvany merasa panas dingin dan deg-degan lagi. Terbayang kembali adegan dalam mimpinya barusan.

"Dari merahnya wajahmu, aku kira aku bisa menebak apa yang sedang terjadi." Tampak sebersit senyuman nakal menghiasi wajah Jacky Fernandi.

"Jangan sembarangan menebak. Kau sama sekali tidak tahu apa yang sedang kumimpikan tadi pagi…" akhirnya Carvany menyadari ia telah keterlepasan bicara. Ia hanya bisa menepuk jidatnya sebentar.

Jacky Fernandi meledak dalam tawa renyahnya. "Kau sendiri yang bilang, Carvany… Bukan aku ya… Jadi… Jadi…"

"Jadi apa?" deg-degan dan panas dingin masih mendera Carvany.

"Jadi, apakah… apakah sekarang aku boleh mengulang adegan yang ada dalam mimpimu tadi…?" dengan sebersit senyuman nakal, Jacky Fernandi mulai mendekati Carvany. Carvany mundur selangkah demi selangkah sampai akhirnya tubuhnya menempel ke dinding. Carvany akhirnya hanya bisa memejamkan kedua matanya.

"Sebentar, Jack… Sebentar, Jack… Aku belum siap…" pekik Carvany lembut.

Jacky Fernandi hanya bisa meledak dalam tawa renyahnya, "Bercanda saja deh, Carvany… Kau tampak sangat gugup begitu…"

Jacky Fernandi kemudian mengelus-elus nan membelai-belai kepala sang putri pujaan dengan segenap cinta yang sudah meluap ke permukaan padang sanubarinya.

Tampak Carvany berusaha menenangkan napasnya yang tersengal-sengal.

"Kau tampak begitu gugup tadi. Bolehkah aku menyimpulkan kau begitu tertarik padaku dan tidak bisa menolak pesonaku?" senyuman imut Jacky Fernandi kali ini menghiasi sudut bibirnya. Ia menggandeng tangan Carvany dan mereka sama-sama keluar ke halaman depan rumah Carvany.

Carvany menutup pintu depan dan mengunci pintu pagar. "Kau percaya diri sekali. Dulu kau tidak sepercaya diri ini deh, Jack." Carvany tampak sedikit bersungut-sungut.

"Dulu jelas beda dong dengan sekarang… Sekarang aku memiliki segala kemampuan yang tidak kumiliki dulu. Sekarang aku lebih yakin lagi aku bisa membahagiakanmu…"

Carvany diam-diam saja… Dia berpaling keluar dan melihat pemandangan sepanjang jalan yang dilalui ketika sang malaikat merah mengantarnya ke sekolah.

"Astaganaga! Pacar Bu Carvany ternyata ganteng sekali…" teriak beberapa murid perempuan SMP dan SMA yang melihat Jacky Fernandi membukakan pintu untuk Carvany.

Carvany merasa sedikit risih ketika sang malaikat merah menggandeng tangannya dan mereka berdua masuk ke kantin sekolah pagi itu. Diam-diam banyak yang memperhatikan mereka berdua. Carvany berusaha untuk tampil setenang mungkin. Dia masih menyapa beberapa rekan kerjanya. Carvany memesan menu nasi lemak kesukaannya. Jacky Fernandi memesan mi pansit dan dua gelas teh manis dingin. Akhirnya, sang malaikat merah yang mengeluarkan uangnya untuk membayar makanan dan minuman mereka.

Carvany bersenandika dalam hati. Gila! Malaikat tetap saja malaikat… Dia bisa menciptakan apa saja hanya dengan kekuatan pikiran. Tentu saja uang takkan menjadi masalah baginya di kehidupan ini…

Mereka berdua duduk di tengah-tengah kantin. Murid-murid, rekan-rekan kerja dan bahkan orang-orang yang berjualan di kantin berkali-kali melirik ke mereka berdua.

"Gila! Pacar Bu Carvany ternyata ganteng sekali! Kayaknya mereka seumuran deh… Atau kalau tidak, palingan hanya beda dua atau tiga tahun…" terdengar satu komentar di sini.

"Bu Carvany tidak pernah memperkenalkannya kepada kita semua selama ini ya… Dari kedekatan mereka, jelas terlihat mereka sudah kenal lama sekali tuh…" terdengar komentar yang lain.

"Mereka cocok sih… Bu Carvany juga terkenal sebagai staff tercantik di sini. Jika pacarnya seganteng itu, ya aku tidak heran sih…" terdengar lagi komentar yang lain.

"Sayup-sayup sepertinya aku mendengar ada yang bilang kau ganteng, Jack…" kata Carvany sedikit meledek malaikat merahnya.

"Kenapa? Kau cemburu?" goda sang malaikat merah lagi.

"Nggak… Karena aku tahu mereka hanya bisa mengagumimu, tapi tidak bisa memilikimu…" kata Carvany meledak dalam tawa renyahnya.

"Kau pintar juga dalam merayu," kata sang malaikat merah.

Mereka meneruskan makanan masing-masing. Tiba-tiba, Carvany teringat ke satu hal mengenai ibunya.

"Aku juga sudah mengingat apa yang dilakukan Ibu di masa lampaunya, Jack… Dan juga apa yang dilakukan oleh Sandy Austeen Tulas di masa lampaunya, ketika dia masih terlahir sebagai Rio Augusto Wiranata. Apa yang ada di masa sekarang ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di masa lampau…" Carvany terdengar menghela napas panjang sesaat.

"Begitulah karma, Carvany… Semua yang ada di masa kini ditentukan oleh apa yang terjadi di masa lampau… Semuanya memiliki kaitan sebab akibat," tukas Jacky Fernandi dengan sebersit senyuman santai.

"Rio Augusto telah mengkhianatimu di masa lampau. Ketika kau bertemu dengannya sebagai Sandy Austeen Tulas di masa kini, tidakkah kau membencinya, Jack?" tanya Carvany dengan hati-hati.

Jacky Fernandi tersenyum lemah lembut lagi, "Dia sudah menerima karmanya bukan? Rencananya untuk menghancurkanku di masa lampau tetap saja gagal pada akhirnya. Rencananya untuk menghancurkan Kindy Zilian Honggowinata dan mengeruk semua kekayaannya juga gagal total di masa kini. Kau dan aku telah menggagalkan rencananya. Anggap saja itu sebagai pembalasan yang paling sempurna dariku. Iya nggak?"

"Iya… Dia sudah kena karmanya ya… Sama halnya dengan Ibu. Ternyata di masa lampau dia berselingkuh dengan si jenderal Belanda itu di belakang Ayah. Dan di masa kini, dia memungutku yang bukanlah anak kandungnya untuk membuat Ayah tetap berada di sampingnya." Carvany menghela napas panjang lagi.

"Memang sudah karma ayahmu untuk terus ditipu dan dibohonginya ya, Carvany… Mungkin mereka masih akan terus seperti itu sampai dengan kehidupan yang akan datang. Mungkin ya…" ujar Jacky Fernandi membuat suatu tebakan.

"Dan aku akan terus menjadi anak mereka, terus menjadi saksi dari drama dan kebohongan ibuku…" kata Carvany dengan sebersit senyuman hambar.

"Perananmu hanya sebagai saksi, Carvany… Tidak lebih… Kau hanya perlu duduk santai dan menonton… Seberapa banyak kehidupan yang harus kaujalani sebagai saksi dan penonton, sama sekali tidak ada masalah bagimu. Karena sudah ditentukan perananmu seperti itu, ya jalani saja deh kalau menurutku…" kata Jacky Fernandi menikmati makanannya dengan lahap.

Baru saja Carvany ingin membuka mulutnya menanggapi apa yang dituturkan oleh sang malaikat merah, terdengar suara Bertha Honggowinata di belakang mereka.

"Bu Carvany! Pak Malaikat!" kata Bertha Honggowinata sembari menggenggam dua kotak cokelat sambil berlari-lari kecil menghampiri Jacky Fernandi dan Carvany.

"Hai… Apa kabarnya, Bertha? Ibu sudah sembuh?"

"Masih istirahat di rumah sakit. Kata dokter besok sudah bisa keluar… Ini ada dua kotak cokelat untuk Bu Carvany dan Pak Malaikat. Ibu yang kasih… Untuk berterima kasih pada Bu Carvany dan Pak Malaikat karena telah menyelamatkan kami berdua…"

"Thanks very much, Bertha…" senyuman Jacky Fernandi benar-benar imut nan menawan.

"Makasih ya, Bertha…" Carvany menyibakkan rambutnya yang panjang ke belakang dan menerima cokelat tersebut dari Bertha.

Mendadak Bertha mendaratkan satu ciuman ke pipi Jacky Fernandi. Carvany pura-pura bersungut-sungut dan bertanya,

"Bertha tidak mencium Bu Carvany juga?"

"Ibu bilang ciuman hanya boleh antara laki-laki dan perempuan, tidak boleh antara sesama perempuan, Bu Carvany." Bertha hanya mencium kedua tangan Carvany. Habis itu, dia berlari keluar dari kantin dengan riang gembira.

"Kau tidak cemburu pada seorang anak kecil kan?" goda Jacky Fernandi lagi.

"Nggak… Kan aku sudah bilang… Dia hanya bisa mengagumi, tapi tak bisa memilikimu…"

Jacky Fernandi hanya bisa meledak dalam tawa renyahnya. Dia mengelus-elus dan membelai-belai kepala sang putri pujaan lagi. Kembali pasangan sejoli itu menjadi pusat perhatian seisi kantin pagi itu.

***

Selasa yang indah… Sudah pukul sepuluh… Les kedua tidak masuk… Angela cepat keluar kelas pagi ini. Dia mencari-cari Cindy. Tapi ternyata Cindy tidak datang… Dia hanya bisa bertandang ke kantin sendirian. Dikirimkannya sebuah pesan tertulis kepada Cindy. Namun, Cindy sama sekali tidak membaca pesan tertulis tersebut.

"Mau ke mana kau? Ayo duduk sini…" terdengar sebuah suara yang tidak asing di belakangnya. Angela berpaling dan mendapati Kenny Herry sudah duduk dengan santai di sana.

Kenny Herry tersenyum lebar kepada Angela. Angela merasa terpesona melihat senyuman sang malaikat birunya. Mau bagaimana pun, sang malaikat birunya tetap terlihat tampan. Apakah itu cinta yang membuat Kenny Herry selalu terlihat tampan di mata gadis yang benar-benar mencintainya?

"Oh, Ken… Kau membuatku terkejut saja…"

"Kenapa…? Kau berjalan sendirian ke kantin ini sambil melamun. Apa yang sedang kaupikirkan? Apakah kau sedang memikirkanku?" tanya Kenny Herry sedikit berkelakar.

"Aku sedang mencari-cari Cindy loh, Ken…" kata Angela dengan sebersit senyuman kecut di wajahnya. Kenny Herry pura-pura bersungut-sungut mendengar Angela ternyata mencari-cari Cindy Victoria.

"Kukira kau sedang mencari-cari aku… Ternyata aku sedang merindukan burung yang terbang di langit…" Kenny Herry masih menampilkan mukanya yang setengah masam.

"Ya… Ya… Aku juga menunggumu muncul dari tadi. Kemarin kau membiarkanku tidur seharian penuh. Hari ini sudah mau menjelang siang begitu, kau baru muncul di hadapanku. Kau puas…?" Angela tampak setengah cengengesan.

"Sorry… Really really sorry, Sayang… Kemarin kubiarkan kau tidur seharian saja. Kau pasti lelah…" kata Kenny Herry menarik Angela untuk duduk di sampingnya. Angela meledak dalam tawa renyahnya dan duduk di samping sang malaikat pujaan. Angela terlihat merebahkan kepalanya ke bahu sang malaikat birunya.

"Terima kasih sudah kembali muncul di hidupku, Ken… Aku… Aku sangat berterima kasih padamu karena kau tidak pernah melupakan aku… Perasaanmu padaku tidak pernah berubah. Perasaanku padamu juga tidak pernah berubah. Aku rasa sejak dulu memang kita sudah ditakdirkan bersama. Menurutmu demikian tidak?"

"Tiba-tiba saja kau bisa mengatakan kata-kata yang romantis kepadaku, Gel. Ada apa…? Apakah… Apakah kau mengingat sesuatu lagi yang berhubungan dengan kehidupan lampaumu?"

Angela mengangguk dan kemudian dia menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Malu mulai berkecamuk dalam pesisir pantai pikirannya.

"Aduh! Aku malu sekali, Ken… Kau sudah tahu itu deh semuanya… Aku tidak perlu menceritakannya lagi semuanya kan? Tapi, meski aku merasa panas dingin setelah aku terbangun dari mimpiku, entah kenapa aku merasa bahagia setelah itu. Terkadang aku jadi bertanya-tanya, kehidupan lampau itu apakah benar-benar ada…?"

"Jodoh itu benar-benar ada… Kehidupan lampau itu juga benar-benar ada, Gel…" Kenny Herry mengangkat dagu Angela dengan lembut. "Kita memang ditakdirkan untuk bertemu lagi. Ketika aku meninggal pada detik itu, detik itu juga aku bertekad dalam hati suatu hari nanti aku akan bisa menemukanmu kembali. Detik itu sudah datang. Aku kembali bertemu denganmu. Pertemuan kita memang sudah diatur dari kehidupan lampaumu sebagai Belinda Yapardi."

Angela meraih leher sang malaikat biru ke dalam pelukan dan membisikkan,

"Oleh sebab itulah, aku merasa sangat berterima kasih padamu, Ken… Sangat berterima kasih dan sangat bersyukur karena dalam dua kehidupanku, ada kau yang begitu mengasihi dan mencintaiku… Dengan adanya cintamu, dengan adanya dirimu di sampingku, segalanya di dunia ini menjadi tidak tergantikan…"

"Kau sudah mengingat sebagian besar dari kehidupan lampaumu aku rasa," kata Kenny Herry sembari tertawa cengengesan.

Angela menganggukkan kepalanya dan kemudian ia melantunkan sepenggal cerita. Kenny Herry berkali-kali meledak dalam tawa renyahnya.

"Apakah nantinya anak kita lahir, Ken? Apakah dia laki-laki atau perempuan?" tanya Angela merasa begitu penasaran.

"Tentu saja laki-laki, Gel. Kau telah melahirkan seorang putra mahkota untuk keluarga Wangdinata… Begitu juga dengan Valencia yang melahirkan seorang putra mahkota penerus keluarga Wangsa. Dan begitu juga dengan Ivana yang melahirkan seorang putra mahkota penerus keluarga Yiandra… Sampai dengan sekarang…" belum sempat Kenny Herry menyelesaikan kalimatnya, Angela sudah lebih dulu menyelanya.

"Hah…? Jadi maksudmu garis keturunan tiga keluarga ini ada sampai sekarang…?" Angela terhenyak kaget sejenak.

"Aku tidak tahu lagi, Gel… Aku meninggal duluan daripada kau… Kau menyusulku dan meninggalkan anak kita pada kedua orang tuaku. Aku hanya tahu namanya adalah Xalvador Wangdinata. Memang aku menginginkan nama yang lain daripada yang lain dengan nama-nama anak yang lahir di zaman itu. Aku hanya tahu kakek neneknya yang membesarkannya dan setelah itu sudah masuk ke zaman penjajahan Jepang. Aku tidak tahu apa-apa lagi setelah itu karena waktu itu aku sudah mengunci diriku dalam swipoa kuno milikku sampai aku bertemu dengan mesin tik dan kartu-kartu tanda baca itu tempat Boy dan Jacky mengunci diri mereka. Dan pada tahun 1950, kami bertiga didatangi oleh Dewa 5 Unsur seperti yang pernah aku ceritakan padamu itu loh…"

Angela menghela napas panjang. "Berarti seandainya Xalvador anak kita masih hidup sekarang, bukankah seharusnya dia sudah berumur 80 tahun lebih?"

"Begitulah… Namun, sejak tahun 1950 itu ketika aku menerima tawaran menjadi malaikat penjemput nyawa, aku tidak lagi menelusuri garis keturunan kita. Aku sudah tidak tahu-menahu lagi ada di mana anak cucu kita, Gel… Kau ingin tahu?"

Angela Thema meledak dalam tawa santainya. "Tidak begitu juga sih, Ken… Hanya saja, aku merasa sedikit aneh saja… Bagaimana kalau suatu hari nanti kita bertemu dengan seseorang yang seumuran denganku, dan ternyata ia adalah cicit kita? Kan aneh jadinya ya…"

Kenny Herry juga ikut meledak dalam tawa renyahnya. "Dan orang itu akan memanggilku Kakek Buyut dan memanggilmu Nenek Buyut. Astaganaga! Lebih baik tidak usah dicari tahu lagi deh! Masing-masing akan membawa karma masing-masing. Dengan karma-karma baik yang kita lakukan baik di kehidupan ini maupun di kehidupan yang sebelumnya, aku yakin anak cucu kita akan hidup aman, damai, tenteram, sentosa."

Angela meledak dalam tawa renyahnya lagi. Dia masih merasa geli tak terjelaskan membayangkan ada gadis atau pemuda seumuran dengannya yang sekonyong-konyong memanggilnya dengan sebutan Nenek Buyut.

"Aku hanya geli… Mendadak ada seorang gadis atau pemuda yang tampak sebaya denganku, dan tiba-tiba saja gadis atau pemuda itu memanggilku dengan sebutan Nenek Buyut."

Kenny Herry dan Angela meledak dalam tawa pada saat yang bersamaan.

"Memang semua manusia bisa saja kerabat dekat atau orang tua atau sanak keluarga kita. Di situlah misteri kehidupan. Makanya kita harus senantiasa berbuat baik pada semua orang. Iya nggak? Jika ditilik dari segi kehidupan lampau, sesungguhnya semua manusia di dunia ini bersaudara. Iya tidak, Gel?" kata sang malaikat biru.

Angela mengangguk-ngangguk mantap. Baru saja ia ingin membuka mulutnya menanggapi perkataan sang malaikat birunya, mendadak pintu belakang kantin terbuka dan muncullah Calista Permata Halim dan Irene Ivy di sana.

Sang malaikat biru bisa mencium adanya gelagat yang tidak baik dari kedua gadis itu. Dengan hanya menjentikkan jari, sang malaikat biru bisa membuat dirinya dan Angela sama sekali tidak terlihat oleh Calista dan Irene Ivy.

"Si Angela Thema itu juga tidak ada di kantin, Irene. Biasanya ini tempat nongkrongnya. Kau yakin kau melihatnya masuk kelas tadi pagi?" tampak Calista Permata Halim sedikit menyipitkan matanya.

"Yakin dong, Calista. Tadi pagi aku lihat tuh si Angela Thema memasuki ruangan kelas. Pakai kaus putih dan jeans biru gelap. Kok bisa secepat itu pulang ya…?" Irene Ivy sendiri merasa sedikit kebingungan.

"Jadi kita tidak bisa menanyainya kenapa Cindy Victoria bisa tidak datang ke kampus hari ini. Angela itu adalah teman dekat si Cindy Victoria Kosim, jadi seharusnya dia tahu kenapa gadis itu bisa berhalangan dan di mana rumahnya. Aku akan datangi rumahnya jika ternyata Cindy Victoria itu sedang bersama dengan Qomarku saat ini."

Tampak gigi-gigi Calista Permata Halim bergemelutuk menahan amarah. Kedua mata Angela juga membesar mendengar pernyataan Calista Permata Halim yang terakhir. Dia berbisik pada sang malaikat biru.

"Hah? Jadi si Qomar Shia Putra tidak datang juga ke kampus, Ken… Bisa jadi Cindy sedang bersama-sama dengan Qomar Shia Putra sekarang. Aku pernah lihat Cindy menyembunyikan chat-nya dengan Qomar dariku. Dan malam itu aku lihat dari jendela kamarku, Qomar mengantar Cindy pulang ke rumah. Mereka sepertinya habis kencan deh, Ken…"

"Kita dengarkan saja dulu perbincangan dua gadis ini. Mungkin saja mereka bisa memberi kita petunjuk lebih, Gel…" kata Kenny Herry menenangkan sang putri pujaan hatinya.

"Kau yakin Qomar tidak datang hari ini karena sedang bersama-sama dengan Cindy? Aku justru lebih curiga Qomar sedang bersama-sama dengan Angela. Dia terlihat jelas lebih sreg dengan Angela daripada dengan si Cindy yang bukan siapa-siapa itu. Buktinya sekarang Angela juga sudah tidak ada di kampus lagi kan?" tukas Irene Ivy Juswan sembari mengangkat kedua bahunya.

Calista berusaha menghubungi nomor ponsel Qomar Shia Putra, tapi dia hanya menerima pemberitahuan nomor itu sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Dia kesal sekali dan menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas.

"Aku yakin sekali dia sedang bersama-sama dengan si Cindy Victoria itu. Sudah dua atau tiga kali kulihat Cindy Victoria itu jalannya cepat sekali kalau pulang, Irene. Dan ternyata ia naiknya ke mobil Qomar yang tunggunya di depan simpang tiga sana. Bayangkan itu coba, Rene…!"

"Pantasan akhir-akhir ini Cindy selalu tidak terlihat lagi ketika les kedua bubaran. Di kantor dia juga sering terlihat menyibukkan diri dengan pekerjaannya dan jarang bicara denganku, Ken. Padahal kerjaannya itu tidak begitu menyibukkan. Ternyata begini perkaranya…" kata Angela memberi sedikit pembenaran terhadap asumsi Calista Permata Halim.

"Tidak bisa! Tidak bisa! Aku harus ke apartemen Qomar sekarang! Aku harus memastikan sendiri dengan mata kepalaku bahwa Qomar tidak sedang bersama-sama dengan Cindy Victoria Kosim sekarang!"

"Kita ikuti dia saja, Gel… Ayo…" kata Kenny Herry segera menarik tangan sang putri pujaan hati. Keduanya berlalu dari kantin, mengekori ke mana Calista Permata Halim dan Irene Ivy Juswan pergi.

***

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat. Meski demikian, sinar matahari tampak bersembunyi di balik awan kelabu. Cuaca sedikit mendung dengan angin sepoi-sepoi yang berhembus ada kalanya. Benar saja… Tampak Cindy Victoria duduk di tepian kolam renang, menunggui Qomar Shia Putra yang sedang meliuk-liukkan tubuhnya di dalam kolam.

Mendadak dia mengajakku bolos kuliah bersama, menjemputku dari rumah tadi pagi, membawaku jalan-jalan ke pantai sebentar, mengajakku minum air kelapa bersama, dan akhirnya mengajakku berenang bersama. Jika saja aku tidak bilang aku tidak bisa berenang, mungkin kemesraanku dengannya sudah terjalin di dalam kolam renang itu. Qomar… Qomar… Siapa sesungguhnya yang sedang kaukejar? Dan Cindy… Cindy Victoria Kosim… Apa sebenarnya yang sedang kauharapkan di sini? Apa sebenarnya yang kautunggu di sini? Mungkinkah Qomar bisa berpaling dari Angela dan akhirnya melirikmu? Jelas kau sedang bermimpi, Cindy… Sudah saatnya kau bangun…

Namun, Cindy menyadari mimpi itu terlalu menyenangkan. Dia tidak ingin bangun secepat itu. Dia ingin terus bermimpi dan lari dari kenyataan.

"Tolong! Tolong aku, Cindy! Tolong aku!" mendadak terlihat tangan Qomar Shia Putra mengayun-ngayun keluar dari permukaan air. Dia terlihat melambai-lambaikan tangannya kepada Cindy karena di dalam kolam dan areal sekitar kolam, memang hanya ada Cindy di situ. Panik mulai menggelimuni.

"Ada apa, Qomar? Ada apa? Bukannya kau bisa berenang tadi? Kenapa mendadak sekarang kau tenggelam! Ada apa, Qomar?" Cindy Victoria hanya bisa berteriak-teriak di tepian kolam seperti orang gila. Dia memang tidak bisa berenang dan dia tidak berani terjun ke dalam kolam dan mengorbankan dirinya sejauh itu hanya demi laki-laki yang belum tentu akan membalas perasaannya.

Di tengah-tengah kepanikan, pandangan mata Cindy Victoria tertuju pada sapu panjang penyikat kolam yang menganggur di sudut areal kolam renang tersebut. Dengan susah payah, Cindy Victoria mengambil sapu panjang tersebut dan mencelupkannya ke dalam kolam. Tangan Qomar Shia Putra yang sejak tadi asyik meronta-ronta di dalam air akhirnya bisa menggapai sapu panjang itu. Dengan napas yang mulai tersengal-sengal, akhirnya Cindy bisa menyeret sapu panjang itu beserta tubuh Qomar Shia Putra ke pinggiran kolam. Tangan Qomar Shia Putra mencapai pinggiran kolam dan ia bisa naik dari kolam. Tampak Qomar Shia Putra duduk di pinggiran kolam juga dengan napasnya yang tersengal-sengal.

"Sorry… Sorry banget, Qomar… Aku tidak bisa berenang. Hanya itu yang bisa terpikirkan olehku untuk menarikmu ke pinggiran kolam. Sorry banget, Qomar…" Cindy Victoria sedikit menundukkan kepalanya karena merasa bersalah.

"Jangan berpikiran yang nggak-nggak… Aku saja tidak sempat berterima kasih padamu, masa masih mau menyalahkanmu… Ada-ada saja… Thanks banget, Cindy… Untung kau ada di sini melihatku berenang. Jika tidak, pada saat kakiku kram tadi, takkan ada yang tahu dan mungkin saja aku sudah tewas tenggelam."

Qomar menaikkan tangan kanannya dan hendak membelai-belai kepala Cindy Victoria. Akan tetapi, Cindy Victoria hanya terlihat tersenyum hambar dan menghindarkan kepalanya dari belaian tangan Qomar.

"Oke… Temani aku naik ke atas ya… Kakiku masih kram dan aku tidak bisa berjalan sendiri nih…" Qomar melihat adanya suatu kesempatan dalam kesempitan.

Sesaat sebelum keluar dari areal kolam renang, Qomar menoleh ke arah kolam sekali lagi. Jelas sekali ada tangan yang muncul entah dari mana, menarik kaki kiriku dan membuat kakiku kram seketika! Astaganaga! Tangan itu langsung menghilang setelah aku berhasil menggapai sapu panjang dari Cindy tadi. Ada tangan di dalam kolam… Mungkinkah?

Qomar berusaha menepiskan kengerian yang sempat menyelisir dalam muara pikirannya. Dia berjalan ke arah lift dituntun oleh Cindy Victoria. Keduanya tampak masuk ke dalam lift. Lift naik ke lantai lima belas, di mana apartemen Qomar Shia Putra terletak.

"Cindy… Maaf karena telah merepotkanmu harus membawaku sampai ke apartemenku ini. Bisakah kau bantu aku mengompres kakiku yang kram ini dengan air panas? Di kamar mandi ada keran air panas Cindy…"

"Okelah kalau begitu…" mulai terlihat senyuman cerah dari Cindy Victoria. Dia meminta tolong padaku untuk bantu mengompres kakinya. Dia menunjukkan padaku bahwa dia begitu membutuhkanku. Astaga…! Aku senang aku masih bisa melakukan sesuatu untuknya… Aku senang karena aku masih menempati satu posisi di hati Qomar Shia Putra…

Air panas disiapkan dalam sebuah baskom. Perlahan-lahan, dengan lemah lembut handuk dicelupkan ke air panas yang dicampur dengan sedikit air dingin dan kemudian diletakkan di atas kaki Qomar yang kram. Tatapan kedua orang itu saling bertemu. Qomar melemparkan sebersit senyuman hangat kepada Cindy Victoria. Runtuhlah seluruh benteng pertahanan Cindy Victoria. Dia meleleh ke dalam gelora cintanya sendiri.

"Aku merasa… merasa… merasa aku seolah-olah mengabaikan burung yang selalu hinggap di jendela kamarku setiap pagi. Aku merasa seolah-olah aku selalu merindukan burung yang terbang di langit selama ini. Kau selalu bersama-sama dengan Angela selama ini, Cindy. Aku terlalu getol ingin mendapatkan Angela sampai-sampai aku mengabaikan keberadaan dan perasaanmu. Maafkan aku ya… Maafkan aku…"

Perlahan-lahan, tangan naik dan membelai wajah Cindy Victoria. Cindy Victoria tidak bisa membendung air matanya lagi. Dibiarkannya air mata itu bergulir turun dengan bebas. Tangan Qomar Shia Putra mulai menyeka ekor mata Cindy Victoria.

Mendadak bel pintu berbunyi. Ada tamu yang mengganggu kemesraan Cindy Victoria yang baru saja dimulai. Cindy merasa kesal sekali. Namun, di hadapan Qomar Shia Putra, dia menyembunyikan kekesalan itu dengan sebersit senyuman lemah lembut.

"Aku saja yang buka, Qomar…" kata Cindy Victoria mulai berdiri dan berjalan ke arah pintu apartemen. Begitu pintu dibuka, Cindy Victoria terperanjat kaget sesaat. Di luar, tampak Calista dan Irene sedang tersenyum sinis ke arahnya.

Mereka melangkah masuk tanpa dipersilakan. Qomar Shia Putra juga terhenyak kaget kenapa mendadak dua tamu tak diundang ini bisa datang ke apartemennya tanpa meneleponnya terlebih dahulu. Ia kemudian teringat ia sudah tidak mengaktifkan ponselnya sejak ia menjemput Cindy Victoria dari rumah dan mengajaknya kencan tadi pagi.

"Apakah aku mengganggu?" senyuman sinis Calista Permata Halim terpancar dari wajahnya yang memang tampak sangat cantik dengan dandanannya yang serba mahal.

"Ada apa kau ke sini?" Qomar berusaha tersenyum santai dan tampil setenang mungkin.

"Ada apa dengan kakimu?" tanya Calista duduk di samping sang pangeran pujaannya. Irene Ivy duduk di sofa panjang di hadapan mereka berdua. Tampak Cindy Victoria Kosim berdiri di belakang si Irene Ivy dan sedikit menundukkan kepalanya.

"Kakiku sedikit kram ketika berenang tadi. Cindy ada di tempat dan dia menolongku keluar dari kolam dan membantuku mengompres kakiku, Calista…" kata Qomar menunjukkan sikap manja di samping Calista. Kembali perasaan Cindy Victoria hancur lebur dan ia kembali terpuruk dalam ribuan duka nestapa.

"Sekarang kakimu sudah baikan?" tanya Calista dengan sorot mata cemas. Qomar mengangguk mantap.

Cindy Victoria Kosim menatap Qomar Shia Putra dengan segenap kebingungan yang terpancar dari sorot matanya.

"Baguslah… Terima kasih sudah membantu mengompres kaki Qomar yang kram ya, Cindy Victoria Kosim…" Calista menghampiri Cindy Victoria Kosim dengan sebersit senyuman hangat. "Karena kau sudah ada di sini, kita makan siang sama-sama saja yuk… Qomar… Bisa belikan kita berempat nasi padang yang enak dari seberang apartemenmu ini tidak? Enak sekali nasi padang itu. Kita pernah makan nasi padang itu beberapa bulan yang lalu. Kau masih ingat kan?"

"Oke deh… Nasi padang boleh juga untuk menu makan siang ini… Kalian tunggu sebentar di sini ya… Akan kubelikan nasi padang empat bungkus dulu…" Qomar Shia Putra berdiri dengan penuh semangat dan segera keluar dari apartemennya.

Cindy Victoria melihat gaya jalan Qomar Shia Putra yang begitu penuh semangat dan antusiasme. Jelas-jelas tadi kakinya masih kram dan jalannya pun terpincang-pincang ketika kutuntun dia masuk sampai ke apartemen ini. Kenapa sekarang langsung sembuh kramnya? Jangan-jangan tidak pernah ada kram… Dia hanya mempergunakan alasan itu untuk menipuku dan mempermainkan perasaanku…

Begitu Qomar sudah ada di luar, pintu apartemen langsung ditutup oleh Irene Ivy dengan rapat. Calista langsung menghampiri Cindy Victoria dan satu tamparan keras mendarat di wajah gadis muda itu. Cindy Victoria tidak berteriak. Dia hanya mundur beberapa langkah secara sempoyongan.

"Berani kau menggoda-goda Qomar kesayanganku! Dengan si Angela itu, okelah… Aku mengalah… Dia ratu kampus juga… Aku tidak ingin nama baikku rusak jika aku berani berselisih dengan seorang ratu kampus… Dengan kau yang sama sekali bukan siapa-siapa, jangan harap aku akan diam saja memberimu muka ya! Gadis Tolol! Kau kira Qomar benar-benar menyukaimu? Dia hanya menjadikanmu alat untuk mendapatkan Angela Thema itu, asal kau tahu saja ya!"

Tamparan, dorongan, dan jambakan rambut diberikan oleh Calista Permata Halim kepada Cindy Victoria secara bertubi-tubi. Irene Ivy mengisi air keran ke dalam gelas dan menyiramkannya ke wajah Cindy Victoria selama beberapa kali juga. Tetap Cindy Victoria bertahan dan tidak berteriak sekali pun.

"Ingin bersanding dengan Qomar Shia Putra milik Calista kami? Bercermin dulu sana!" Irene Ivy menyiramkan air ke wajah dan sekujur tubuh Cindy Victoria. Setiap kali air mengenai wajah dan tubuh Cindy Victoria, terdengar ia meledak dalam tawa yang terbahak-bahak.

"Mau bersanding dengan Qomarku? Hahaha… Jangan bermimpi! Kau 20% mendekati kriteriaku dan kriteria Angela saja tidak ada! Kau lebih cocok menjadi wanita penghibur di tengah jalan sana! Bercermin dulu dong sana sebelum kau mengambil langkah berani bersaing denganku dalam mendapatkan Qomar! Kok bisa ada sih seorang gadis yang tidak tahu diri yang mau bersaing denganku dalam mendapatkan Qomar!" teriak Calista di puncak kemarahannya sembari menuangkan saus cabai ke wajah Cindy Victoria. Kali ini, saus cabai mengenai mata Cindy Victoria dan terdengar ia memekik perlahan.

Cindy Victoria mundur terus secara sempoyongan karena kedua matanya sudah terkena saus cabai. Dia mundur terus dan akhirnya tubuhnya menempel pada tempat pencucian piring yang berada di bagian dapur ruangan apartemen tersebut. Dilihatnya ada sebilah pisau sayur yang bertengger pada rak pencucian piring. Kali ini Irene Ivy mengisi air panas dari kamar mandi dan menyiramkannya ke wajah dan sekujur tubuh Cindy Victoria. Terdengar Cindy Victoria yang memekik tertahan begitu air panas mengenai tubuhnya.

"Nih kuberi kau sedikit kesegaran supaya kau bisa sadar, supaya kau bisa berpikir jernih apakah kau cocok bersanding dengan Qomar Shia Putra atau tidak… Ada-ada saja… Gadis dengan perawakan tubuh dan modal wajah bak inang-inang seperti ini mau merebut Qomar dari Calista kami? Sangat menggelikan, Calista… Ini adalah drama komedi terlucu yang pernah aku saksikan…" Irene Ivy meledak dalam tawa renyahnya yang sinis nan menghina.

Calista Permata Halim juga tertawa terbahak-bahak dan menunjuk-nunjuk ke Cindy Victoria dengan sikap penghinaan yang benar-benar keterlaluan.

Kedua mata Cindy sudah terbebaskan dari rasa pedas saus cabai tadi. Air panas yang disiramkan ke wajah dan sekujur tubuhnya tadi sudah membersihkan wajah dan kedua matanya dari saus cabai tadi. Kali ini dia bisa melihat dengan jelas. Tangan menyambar sebuah piring keramik yang juga bertengger di rak pencucian piring. Piring keramik dihantamkan ke kepala Irene Ivy. Piring pecah berkeping-keping di lantai. Irene Ivy ambruk ke lantai dengan darah merah segar yang mulai menetes-netes dari kepalanya. Terdengar jeritan Irene Ivy yang melengking tinggi.

Juga terdengar lengkingan tinggi dari Calista Permata Halim. Namun, sebelum ia pulih dari kekagetannya, pisau disambar dari rak pencucian piring dan ditusukkan ke perut dan dadanya berkali-kali dan bertubi-tubi.

"Aku tidak pantas mendapatkan Qomar ya… Coba bilang itu sekali lagi! Bilang itu sekali lagi! Aku pantas mendapatkan Qomar kan! Aku pantas mendapatkan Qomar kan! Aku pantas, kau mengerti kan? Kau sangat mengerti kan? Aku sangat pantas mendapatkan Qomar Shia Putra! Kau dengar itu!"

Pisau dicabut dari perut Calista Permata Halim. Darah merah segar segera menggenangi lantai keramik yang putih bersih. Tubuh Calista Permata Halim segera roboh ke lantai dengan darah merah segar yang bercucuran dari mulut, perut, dan dadanya. Tampak kedua bola matanya yang membelalak hampa ketika ia menemui ajalnya di lantai.

Irene Ivy menjerit dalam kengerian tatkala ia melihat apa yang terjadi pada temannya. Ia merangkak di lantai menuju ke pintu apartemen. Tangan Cindy Victoria segera menyambar kain lap yang juga terdapat pada tempat pencucian piring. Kain lap segera dilingkarkan ke leher Irene Ivy. Dia menyeret tubuh Irene Ivy di lantai. Tampak kedua kaki Irene Ivy yang terus meronta-ronta tiada henti.

Cindy Victoria terus menyeret tubuh Irene Ivy sampai ke bagian dapur ruangan apartemen tersebut, di mana mayat Calista Permata Halim terbujur kaku dengan genangan darah merah segar di sekitarnya.

"Katakan bahwa aku pantas bersanding dengan Qomar Shia Putra! Katakan aku pantas bersanding dengannya! Ayo katakan! Ayo katakan!" teriak Cindy Victoria Kosim sembari menghantamkan kepala Irene Ivy ke dinding keramik berkali-kali.

Terdengar jeritan melengking tinggi nan tidak berdaya dari Irene Ivy. Noda darah di dinding keramik semakin jelas dan semakin jelas. Jeritan melengking tinggi Irene Ivy semakin lemah dan semakin lemah dan akhirnya lenyap tertelan dalam kesunyian dan kesenyapan. Tampak Cindy Victoria masih terus membenturkan kepala Irene Ivy yang sudah menjadi mayat ke dinding keramik berkali-kali.

Menyadari Irene Ivy sudah menjadi mayat, dengan sekuat tenaganya Cindy Victoria memberdirikan mayat Irene Ivy. Dengan sisa-sisa kekuatannya, dia menghantamkan kepala Irene Ivy ke akuarium kecil yang terletak di samping kulkas dalam ruangan dapur apartemen tersebut. Akuarium pecah berkeping-keping dan ikan-ikan yang ada di dalamnya berhamburan ke segala arah. Air mulai menggenangi lantai apartemen. Mayat Irene Ivy tergeletak kaku di lantai dengan kepingan-kepingan kaca dan ikan-ikan yang mengejang dan melompat-lompat sebagai latar belakangnya, dengan kedua bola matanya yang membelalak hampa. Bau amis campuran antara mayat ikan, mayat manusia dan darah manusia telah menyergap hidung dan menyebar ke seisi apartemen.

Cindy Victoria terduduk lemas di lantai. Dia tidak tahu mesti berbuat apa. Jalan satu-satunya hanyalah mengakhiri hidupnya juga. Dia sudah pasti tidak bisa mendapatkan Qomar Shia Putra lagi. Lelaki itu pasti akan lari tunggang-langgang begitu mengetahui perbuatan keji Cindy Victoria terhadap dua perempuan yang telah mem-bully-nya.

Cindy Victoria Kosim berjalan ke arah sakelar lampu apartemen. Dengan sekali tekan, lampu apartemen padam total. Mendung di luar sudah berganti menjadi hujan deras siang itu. Sesekali guntur menggelegar dan kilat tampak sambar-menyambar. Cindy Victoria terduduk lemas ke lantai sembari bersandar di dinding. Dia menunggu sampai Qomar Shia Putra kembali dan rencananya akan mengakhiri hidupnya dalam pelukan lelaki itu.

Kembali guntur bergemuruh nan menggelegar di angkasa raya. Rintik-rintik hujan mengguyur turun – tiada batas, tiada tepi. Kilat tampak sambar-menyambar menerangi awan yang gelap pekat.