webnovel

Karena Ku Yakin

BAB 16

Tanah Deli, awal Juni 1932

Tampak rumah Jacky Fernandi Yiandra yang juga tidak begitu besar di tengah-tengah Tanah Deli. Malam itu, rumah Jacky Fernandi menjadi tempat berkumpulnya tiga sahabat The Amazing Boys beserta pasangan masing-masing. Ibu Jacky Fernandi, Nyonya Gladys, menyiapkan jus kesukaan masing-masing. Tampak Nyonya Gladys sibuk mondar-mandir antara ruang dapur dan ruang depan.

"Jadi ceritanya sudah berapa bulan nih…?" Ivana meledek Belinda. Tampak Belinda tersipu malu.

"Baru tiga minggu, Ivana… Jangan meledekku begitu dong…" kata Belinda masih tersipu malu.

"Kubayangkan si Melva Cendana itu pasti akan gigit jari karena akhirnya kau bisa punya anak dari Kenny. Sejak awal dia memang ingin berebut perhatian Kenny denganmu kan?" tukas Valencia sedikit bersungut-sungut.

"Aku paling tidak suka dengan perempuan seperti itu deh! Teman masa kecil sih teman masa kecil… Tapi, masa hanya karena teman masa kecil, Kenny juga harus mencintainya dan memperistrinya… Ada-ada saja… Waktu bisa saja berlalu dan manusia bisa saja berubah kan?" tukas Ivana bersungut-sungut pula.

"Aku merasa bersalah padanya terkadang…" Belinda berujar dengan sedikit pandangan menerawang. "Tapi aku mencintai suamiku dan aku takkan merelakannya kepada siapa pun."

Ketiga gadis itu tertawa renyah sejenak.

"Bagaimana denganmu, Ivana? Undangan pernikahan kalian sudah kuterima… Bulan depan kau akan menjadi Nyonya Yiandra… Selamat ya…" Belinda memeluk Ivana dengan segenap kegirangan yang ada.

"Selamat ya, Ivana… Akhirnya bisa bersanding dengan sang penyair dan sastrawan hebat yang sudah kauidam-idamkan sejak awal…" Valencia juga memeluk Ivana dengan segenap kegembiraan yang ada.

"Terima kasih, Teman-teman… Aku bahagia sekali… Akhirnya Jacky melamarku dan bulan depan kami akan menjadi suami istri deh…"

"Bagaimana dengan temannya si Rio Augusto itu?" gantian Belinda yang meledek Ivana sekarang. "Kudengar dia juga terpikat padamu sejak di hari pertama ia bertemu denganmu dan mengenalmu."

"Aku merasa bersalah padanya, Teman-teman… Namun, kalian tahu kan? Cinta sama sekali tidak bisa dipaksakan. Aku hanya bisa minta maaf dan minta maaf padanya. Aku tidak bisa membalas cintanya. Aku hanya mencintai Jacky seorang." Ivana menunjukkan sedikit raut wajah bersalah.

"Apa sih bedanya antara Rio Augusto dan Jacky Fernandi, Ivana? Bahkan, Rio Augusto lebih tajir daripada Jackymu ini loh… Kenapa kau bisa tergila-gila pada Jacky Fernandi dan menolak Rio Augusto, Ivana?" Valencia sedikit meledek.

"Sama sepertimu yang menolak Terry Liandy mati-matian dan bersikukuh mengejar Boy Eddy sampai ke ujung dunia sekalipun, Valencia…" Ivana balas meledek Valencia.

Valencia menepuk jidatnya sebentar. "Aduh! Kau menyamakan pula dirimu dengan diriku. Jelas Terry Liandy tidak bisa menandingi Boy Eddyku, Ivana. Boy sangat gentleman, begitu lemah lembut, begitu perhatian, begitu bertanggung jawab terhadapku selama ini. Dunianya hanya aku. Aku adalah nomor satu baginya. Jelas aku tahu hal itu. Berbeda dengan Terry Liandy yang hanya bergantung penuh pada harta orang tuanya. Terry Liandy itu terkadang begitu egois dan jarang memprioritaskan aku… Jelas terlihat dari sikapnya yang ingin menang sendiri dan ingin aku selalu menurutinya… Aku tidak butuh cinta yang egois seperti itu!"

Valencia tampak sedikit bersungut-sungut.

"Sama dengan Rio Augusto kalau begitu, Valencia… Pernah sekali dia bercerita padaku dia tahu Jackyku bergabung dalam barisan pemberontakan terhadap pemerintah dan Rio Augusto ini menyuruhku segera meninggalkannya. Padahal waktu itu, Jacky sudah berterus-terang kepadaku dan aku memutuskan untuk tetap bersama dan menemaninya."

"Sama seperti Boy juga kalau begitu…" Valencia mangut-mangut. "Bagaimana dengan Kenny, Belinda? Apakah… Apakah ia pernah menceritakan bahwasanya dia dan dua sahabatnya adalah pemimpin dari kelompok pemberontak dan mereka mendalangi sejumlah perampokan dan kerusuhan yang terjadi di Tanah Deli lima tahun belakangan ini?"

"Iya… Di malam pertama pernikahan kami, dia sudah memperkenalkan dirinya dan menceritakan secara full kepadaku. Aku rasa memang negeri ini membutuhkan kemerdekaan. Apa pun yang terjadi di masa mendatang – apakah negeri ini akan merdeka atau tidak – aku akan tetap menemani Kenny. Karena aku adalah istrinya…" kata Belinda dengan segenap kemantapan hatinya.

"Iya… Belinda memang benar… Aku juga merasa tidak bisa selamanya negeri ini berada di bawah kendali Belanda terus. Kita harus memerdekakan diri. Kita harus mencari jati diri bangsa kita sendiri. Iya kan?" Ivana merasa sependapat.

Valencia hanya mangut-mangut. "Aku rasa negeri ini bisa merdeka nantinya, Teman-teman… Aku yakin…"

Baru saja Belinda dan Ivana mengangguk mantap, pintu depan sudah digedor-gedor oleh beberapa orang dari luar. Jacky Fernandi membuka pintu dan sedikit terperanjat kaget. Rio Augusto bertandang ke rumah Jacky Fernandi bersama-sama dengan kedua orang tua Ivana.

"Mana Ivana?" teriak Pak James Pangdani.

"Kau sembunyikan di mana anakku, Jacky?" suara Bu Olivia Pangdani terdengar naik beberapa oktaf. Panik menggelimuni raut wajah Bu Olivia malam itu.

"Ada apa, Yah, Bu?" Ivana sedikit mengerutkan dahinya, petanda sedikit heran. Jelas-jelas dia sudah berpamitan tadi mau ke rumah calon suaminya. Mengapa sekarang ayah ibunya mencarinya sampai ke rumah Jacky segala?

"Ikut Ayah pulang!" Pak James Pangdani menggandeng tangan anak perempuannya dan hendak membawanya keluar dari rumah Jacky Fernandi. Ivana buru-buru menepiskan tangan ayahnya.

"Apa yang terjadi, Ayah?" kerutan pada dahi Ivana semakin dalam. "Aku lagi berada di rumah calon suamiku, Ayah! Aku bukan berada di rumah siapa-siapa!"

"Dia bukan lagi calon suamimu! Ayah sudah membatalkan pernikahan kalian! Ayah dan Ibu sudah menjodohkanmu dengan Rio Augusto ini! Sekarang kau tidak boleh lagi berada di rumah laki-laki ini! Ayo ikut Ayah pulang sekarang!"

"Apa-apaan ini, Ayah, Ibu!" teriak Ivana sekarang. Segelintir air mata mulai terbit di pelupuk mata. "Aku hanya ingin menikah dengan Jacky, tidak dengan siapa pun! Memangnya aku ini barang yang bisa kalian oper-oper seenaknya!"

"Dia ini adalah pemberontak, Ivana! Mereka semuanya adalah pemberontak yang menjadi otak di balik sejumlah kerusuhan dan perampokan yang terjadi di Tanah Deli selama ini! Aku tidak ingin anakku menikah dengan seorang pemberontak dan berteman dengan kawanan pemberontak! Kau mengerti tidak sih, Ivana!" hardik Pak James Pangdani.

Kini Ivana Pangdani menatap Rio Augusto dengan sorot mata nanar.

"Aku tidak tahu dari mana kau mendapatkan informasi mengenai apa yang kami lakukan. Tapi, aku sudah memohon padamu untuk tutup mulut. Kau sendiri juga sudah berjanji untuk tutup mulut. Sekarang, kau melanggar janjimu, Rio Augusto…"

"Sorry sekali, Ivana… Aku tidak bisa memegang janjiku yang satu itu. Janji yang pada akhirnya nanti akan membuatmu menderita karena terjun ke dalam pelukan si pemberontak ini, aku tidak bisa memegangnya. Maafkan aku…" tampak sorot mata yang dingin dari Rio Augusto.

"Dan dengan memberitahukan jati diri kami semua ke orang tua Ivana, kau yakin kau bisa mendapatkan Ivana?" senyuman sinis menghiasi sudut bibir Kenny Herry sekarang.

"Tidak kusangka ternyata selama ini kau menyimpan rasa yang tidak kami ketahui, Rio Augusto…" kata Boy Eddy dengan pandangan nanar kepada Rio Augusto.

"Menikahlah denganku, Ivana… Dia jelas hanya mementingkan usaha pemberontakannya. Dia takkan bisa membahagiakanmu." Rio Augusto mendadak mencengkeram kedua tangan Ivana dan menariknya maju.

Kembali Ivana menepiskan kedua tangan Rio Augusto.

"Lepaskan aku! Lebih baik aku mati daripada aku harus menikah denganmu!" kata Ivana menepiskan kedua tangan Rio Augusto. Tampak ia bersembunyi di belakang Jacky Fernandi sekarang.

"Aku akan melaporkan kedok kalian kepada Jenderal Ambrose! Jenderal Ambrose akan meringkus kalian dan membubarkan klub korespondensi kalian! Lihat saja nanti!" teriakan Rio Augusto sudah membabi buta dan berkumandang ke segala arah.

"Laporkan jika kau ada bukti yang mengatakan bahwa kamilah otak di balik sejumlah perampokan dan kerusuhan yang terjadi di Tanah Deli ini selama ini…" senyuman sinis kini terlihat menghiasi wajah Jacky Fernandi yang tampan.

"Jelas-jelas kau tahu apa yang kuinginkan, Jacky. Jelas-jelas ketika aku meminta tolong kepadamu untuk menulis surat kepadanya, kau sudah tahu bagaimana perasaanku. Namun, kau sama sekali tidak peduli! Kau terjang terus… Kau mengabaikan perasaanku, kau mengabaikan posisiku, dan kau mengabaikan persahabatan kita! Oke…! Jangan salahkan aku! Jangan salahkan aku jika aku bisa melakukan sesuatu yang bisa membuat kalian semua menyesal nantinya! Aku tidak main-main!"

Rio Augusto mengundurkan diri. Dia menendang pintu depan sesaat sebelum akhirnya ia keluar dan menghilang dari pandangan mata mereka semua.

"Ayah dan ibu Rio kenal dekat dengan Jenderal Ambrose Vanderbilt, jenderal perang tertinggi di Tanah Deli ini. Dengan laporan dari Rio Augusto, Jenderal Ambrose Vanderbilt tidak memerlukan bukti untuk menangkap dan menghabisi kalian semua! Kalian takkan menang! Percayalah padaku! Apa yang kalian lakukan ini hanyalah segenggam garam di samudera yang luas itu! Takkan ada efeknya! Orang-orang Belanda berpengaruh tinggi di Tanah Deli ini! Takkan ada yang bisa mengalahkan mereka!" Pak James Pangdani merasa sedikit terperengah.

Bu Olivia Pangdani menarik tangan putrinya. "Sudahlah, Ivana… Hentikan semua ini, bisa kan! Ikut Ayah dan Ibu pulang… Semuanya ini hanya mimpi buruk sesaat… Semuanya ini akan berakhir begitu kita membuka mata esok pagi… Iya kan…? Iya kan…?"

Ivana menepiskan tangan ibunya. Dia menyeka ekor matanya yang berair.

"Aku ingin berada di samping Jacky, Yah, Bu… Aku juga tidak main-main dengan ucapanku ini. Bulan depan kami sudah mau menikah. Sekarang mendadak Ayah dan Ibu menyuruhku membatalkan pernikahan ini, menyuruhku menikah dengan Rio Augusto itu yang jelas-jelas telah mengkhianatiku, mengkhianati teman-temannya, dan mengkhianati kami semua! Sama saja Ayah & Ibu menyuruhku untuk mati! Kalian mengerti kan?"

Pak James dan Bu Olivia hanya terdiam. Ivana kini membuang muka dan berdiri membelakangi kedua orang tuanya.

"Aku ingin tinggal di sini malam ini, Yah, Bu… Tidak ada yang bisa kita bicarakan lagi… Ayah dan Ibu pulanglah… Sudah malam… Dan aku juga sudah lelah…"

Ivana berlalu begitu saja masuk ke dalam.

Tampak Nyonya Gladys yang bersembunyi di balik tirai mendengarkan percakapan mereka semua. Ivana hanya menganggukkan kepala kepada calon mertuanya sebelum akhirnya ia masuk lagi ke bagian dalam rumah.

"Sudahlah… Pelan-pelan nanti kita nasihati dia lagi… Kena angin malam selarut ini, nanti rematikmu kambuh lagi…" kata Bu Olivia kepada suaminya.

Pak James hanya menghela napas panjang dan mengurut dada.

"Sebelum Jenderal Ambrose Vanderbilt datang dan meringkus kalian semuanya, aku sarankan kalian sudah boleh menyudahi aksi pemberontakan kalian. Lebih baik hentikan sekarang juga sebelum semuanya terlambat…" kata Pak James Pangdani sebelum akhirnya juga berlalu dari rumah Jacky Fernandi.

"Jelas kalian takkan menghentikan dan membatalkan semua rencana kita bukan?" tanya Kenny Herry menatap lekat-lekat ke kedua rekannya.

"Tentu saja tidak…" Jacky Fernandi tersenyum santai.

"Kendati apa yang kita lakukan hanya seperti segenggam garam di samudera luas, itu lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa, atau daripada berdiri di pihak musuh dan menjadi pengkhianat bagi bangsa kita sendiri. Iya nggak?" tanya Boy kepada rekan-rekannya.

Semua mengulum senyuman masing-masing.

"Sudah malam juga… Belinda harus istirahat. Besok kita bertemu lagi dan teruskan lagi pembahasan langkah-langkah kita selanjutnya," kata Kenny Herry menepuk-nepuk bahu Jacky Fernandi. "Ivana sangat membutuhkanmu di sisinya malam ini."

Jacky Fernandi mengangguk. Boy datang menghampiri dan menepuk-nepuk ringan bahu sang sahabat.

"Temanilah Ivana dan yakinkan ia bahwasanya bersama-sama denganmu adalah pilihan yang paling tepat…" tukas Boy Eddy.

Jacky Fernandi hanya mengangguk mantap.

Dua sahabat dan pasangan mereka masing-masing berlalu dari rumah Jacky Fernandi. Jacky Fernandi menutup pintu dan hendak berjalan masuk ke bagian dalam rumah ketika akhirnya Nyonya Gladys keluar dan menghampiri anak laki-lakinya.

"Ibu sudah mendengarnya semua…" kata Nyonya Gladys dengan sorot mata nanar tertuju pada anak laki-lakinya.

Jacky Fernandi hanya terdiam dan sedikit menundukkan kepalanya. Nyonya Gladys menghampiri anak laki-lakinya. Tangan naik dan membelai kedua belahan pipi si anak laki-laki.

"Darah pejuang ayahmu mengalir dalam tubuhmu, Nak… Darah ayahmu telah menunjukkan eksistensinya… Darah ayahmu telah muncul ke permukaan… Ibu merasa… merasa bangga, sekaligus takut… sangat takut, Jacky… Ibu sangat takut, Jacky…"

Tangisan menganak sungai Nyonya Gladys bertumpah ruah dalam pelukan anak laki-lakinya. Jacky meraih sang ibu ke dalam pelukannya.

"Biarkan aku melakukan apa yang menjadi kebahagiaanku, Bu. Aku ingin melihat negeri ini merdeka, Bu. Aku tidak ingin hidup di bawah pengaruh orang-orang Belanda itu terus. Aku memiliki kemampuan kata-kata untuk melakukan hal itu. Aku juga ingin memberikan sedikit kontribusiku kepada negeri ini, Bu."

Nyonya Gladys hanya bisa mengangguk-nganggukkan kepalanya.

"Ibu takut… takut… takut kau akan berakhir sama seperti ayahmu… Kau harus senantiasa menjaga dirimu sendiri, Jacky. Ibu tak bisa terus berada di sampingmu. Kau harus berjanji pada Ibu kau akan senantiasa menjaga dirimu sendiri."

Tangisan Nyonya Gladys terus berkelanjutan.

"Aku yang akan menjaga dan melindunginya, Bu…" mendadak terdengar suara Ivana di belakang mereka.

Nyonya Gladys berpaling dan mendapati calon menantunya berdiri di belakangnya.

"Ivana…" panggil Jacky Fernandi.

"Ivana…" sambil menyeka ekor matanya, Nyonya Gladys memanggil calon menantunya.

Ivana mendekati mereka.

"Aku yang akan melindungi dan menjaganya. Ibu tidak usah khawatir. Hidup atau mati, tetap akan kami jalani bersama," kata Ivana dengan segenap kemantapan hatinya.

"Ibu percaya padamu, Ivana… Ibu percaya kau sangat mencintai Jacky. Ibu serahkan Jacky kepadamu, Nak… Apabila Jacky sudah memutuskan untuk mencintai seseorang, dia akan mencintai orang itu selamanya. Hargailah dia dan cintanya, Ivana… Dengan demikian, tidak ada lagi yang mesti Ibu khawatirkan di dunia ini…"

Ivana menggenggam erat kedua tangan calon ibu mertuanya dan menganggukkan kepalanya.

"Sudahlah… Kami akan baik-baik saja. Kami akan berhati-hati. Segalanya akan baik-baik saja. Ibu tidak usah khawatir… Sudah malam, Bu… Ibu sudah boleh beristirahat…" bisik Jacky Fernandi menenangkan.

Nyonya Gladys mengucapkan selamat malam sebelum akhirnya ia menghilang ke dalam kamar tidurnya. Tinggallah Jacky Fernandi dan Ivana. Keduanya saling bertatapan dengan penuh cinta. Keduanya terlihat menghela napas panjang pada saat yang bersamaan.

"Jika kau ingin bertanya padaku apakah aku akan mengundurkan diri atau tidak setelah ini, di sini akan kuberi jawabanku sekarang juga. Dulu, sekarang atau di masa mendatang nanti, aku takkan berubah pikiran. Jika kau tidak menyerah terhadap hubungan dan masa depan kita, aku takkan pernah berubah, Jack… Selamanya…"

Seperti anak kecil, Jacky Fernandi membuka kedua tangannya. Ivana langsung terjun masuk ke dalam pelukan tersebut.

"Aku mencintaimu, Ivana… Aku tahu aku telah bertemu dengan jodohku. Aku tahu aku telah menemukan belahan hati yang tepat."

Ivana hanya tersenyum lemah. Dia menenggelamkan diri ke dalam pelukan sang pangeran pujaan. Serasa ada bunyi-bunyian surgawi yang bergelitar di padang sanubari hati.

***

Medan, 22 Mei 2018

"Sudah bangun?" terdengar suara sang malaikat hijau.

Felisha Aurelia membuka matanya dan dia mendapati wajah tampan sang pangeran pujaan hati sedang tersenyum ke arahnya.

"Sudah pagi?" Felisha Aurelia melihat ke jam dinding yang ada di kamar. Sudah pukul tujuh pagi. Sungguh Selasa pagi yang sedikit mendung karena sinar matahari tidak menerobos masuk ke dalam kamarnya.

"Tentu saja… Kau ingin aku mengantarmu ke kantor kan pagi ini? Kemarin kau bilang pagi ini kau tidak ingin diantar ke kantor oleh sopir."

"Tentu saja… Kalau diantar sopir dan nanti ketika bertemu dengan si Hengky Fredieco itu, aku tidak ada alasan untuk menghindar. Dengan kau, aku memiliki beribu alasan untuk menghindarinya," terlihat sebersit senyuman nakal di sudut bibir Felisha Aurelia.

"Apakah Hengky Fredieco terlahir juga dengan semua ingatan mengenai kehidupan lampaunya?" tanya si malaikat hijau dengan sebersit senyuman kecut.

"Mungkin sama kayak aku, Boy… Hanya sebagian yang diingatnya, dan sebagian lagi dia juga sedang meraba-raba – sama sepertiku."

Boy Eddy mengangguk.

"Aku ingat lagi sebagian memori masa lampauku." Felisha Aurelia menceritakan mimpinya kemarin malam kepada sang malaikat hijau. Sang malaikat hijau mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Habis itu, Terry Liandy mencari kita lagi bukan? Dia tahu kalianlah yang telah membunuh Jenderal Ambrose Vanderbilt dan dia mengerahkan anak-anak buahnya untuk memisahkan kita. Apakah… Apakah kita terpisahkan?" tanya Felisha Aurelia sedikit gugup.

Boy Eddy Wangsa menggeleng lembut. Dia menatap Felisha Aurelia lekat-lekat.

"Tebak saja apa yang terjadi pada kita malam itu."

"Hah? Apakah kita… Apakah kita… Apakah kita…?" rona merah mulai terbit pada wajah dan leher Felisha Aurelia. Dia terlihat menutupi mukanya dengan kedua tangannya.

"Sudahlah… Sudah mau berangkat ke kantor. Aku tidak ingin lama-lama menunggumu di bawah. Kau harus siap-siap sekarang. Aku bawa kau pergi sarapan dulu sebelum mengantarmu ke kantor."

Sosok sang malaikat hijau menghilang setelah ia mengatakan hal itu. Felisha turun dari tempat tidur dan ia bergegas ke kamar mandi. Sejurus kemudian, terdengar guyuran air di kamar mandi.

***

Tanah Deli, pertengahan Agustus 1932

Bu Olivia Pangdani melangkahkan kedua kakinya turun dari tempat tidur. Jenderal Ambrose Vanderbilt melingkarkan kedua lengan kekarnya ke tubuh Bu Olivia Pangdani yang telanjang.

"Kok secepat ini, Sayang? Biasanya kau menemaniku empat hingga lima ronde sebelum kau pulang ke rumah. Suamimu tidak curiga apa-apa mengenai hubungan kita kan?"

Bu Olivia meledak dalam tawa renyahnya. "Tidak kok, Brose… Aku hanya ingin pulang karena aku ingin ke tempat Ivana sejenak. Dia baru saja menikah. Aku sedikit tidak tenang karena dia menikah dengan si pemberontak itu."

Jenderal Ambrose merapatkan kedua bibirnya. "Dengan salah satu dari tiga sahabat The Amazing Boys itu? Si Rio Augusto bilang padaku dia patah hati benaran deh… Jelas Rio Augusto ini lebih cocok bersanding dengan putrimu. Kenapa bahkan kau yang jadi ibu ini saja tidak bisa mengendalikan putrimu itu, Olivia?"

"Dia berkemauan keras – sama seperti ayahnya. Ayahnya saja tidak bisa mengendalikannya, apalagi aku. Lagipula, aku sudah bosan dengan keluarga Pangdani itu. Ivana sendiri sudah besar, sudah berumah tangga sendiri sekarang. Aku semakin malas mengurusi keluarga itu lagi. Aku kira tanggung jawabku sebagai ibu sudah selesai."

"Dan oleh sebab itulah, kau jangan cepat-cepat pulang dong, Olivia. Kau tidak sayang sama aku lagi?" terlihat sikap manja sang jenderal di depan wanita pujaannya.

"Sangat sayang padamu, Brose… Namun, aku tetap saja khawatir pada Ivana, Brose… Biarkan aku ke rumahnya dulu ya malam ini… Besok malam aku akan bilang pada James si tua bangka itu aku menginap di rumah salah satu teman arisanku. Maka dari itu, aku bisa menemanimu sampai dengan esok paginya jika itu yang kauinginkan."

Seorang pahlawan akhirnya takluk di bawah kuasa wanita cantik. Akhirnya Jenderal Ambrose Vanderbilt menganggukkan kepalanya.

"Oke deh… Aku mau check out juga. Akan kuantar kau ke rumah Ivana sekarang. Ku-drop off kau di persimpangan jalan yang menuju ke rumah Ivana itu ya…"

"Terserah kau, Sayang…" bisik Bu Olivia dengan segenap nafsu yang menguasai dan mendominasi suaranya.

Lima belas menit kemudian, tampak Bu Olivia dan sang jenderal sudah turun dari kamar mereka di lantai atas. Mereka akhirnya berada di keramaian bar yang ada di lantai dasar hotel mewah tersebut.

Alangkah terhenyaknya Bu Olivia dan Jenderal Ambrose tatkala mereka bertemu dengan tiga sahabat The Amazing Boys di bar lantai dasar hotel tersebut.

"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" tanya Jenderal Ambrose sedikit gelagapan.

"Wow… Sungguh suatu pemandangan yang tidak boleh dilewatkan, Jenderal Ambrose, Bu Olivia. Bagaimana kabarnya, Bu Olivia?" tanya Boy Eddy dengan kesinisan yang intens dalam raut wajahnya.

"Baik…" jawab Bu Olivia singkat, seraya membuang mukanya ke arah lain.

"Bagaimana kabar Ayah di rumah, Bu?" tanya Jacky Fernandi, juga dengan nada sinis yang teramat intens dalam suaranya.

"Dia baik-baik saja, terima kasih… Kau urus saja istrimu, tidak perlu mengurusi kami berdua…" Gugup semakin menggeligit kuncup pikiran Bu Olivia Pangdani.

"Ivana baik-baik saja… Namun, setelah ia mengetahui apa yang telah Ibu perbuat di sini, dia takkan baik-baik lagi." Tampak sorot mata nanar pada kedua bola mata Jacky Fernandi.

Bu Olivia menahan napasnya. Dia sadar Ivana sedang memperhatikannya dari jauh. Perselingkuhannya sudah ketahuan oleh anak perempuannya sendiri. Dia tidak mempunyai alasan untuk menjelaskan perselingkuhannya. Dia berjalan dengan cepat menghampiri anak perempuannya dan mencegat lengannya.

"Apa lagi yang mau Ibu jelaskan di sini! Aku sudah curiga dengan tindak-tanduk Ibu dua tiga bulan belakangan ini. Selalu keluar rumah jam-jam tujuhan begitu dan sampai di rumah jam-jam satu atau jam dua begitu. Malam ini aku meminta mereka bertiga untuk menguntit ke mana Ibu pergi. Ternyata dugaanku benar adanya…" suara Ivana Pangdani naik beberapa oktaf. Dia memandangi ibunya dengan beberapa tetesan air mata yang menggenangi pelupuk mata. Kelumun getir mulai meringkai semenanjung hatinya.

"Kau… Kau tidak berencana memberitahu ayahmu apa yang kaulihat malam ini bukan?" tanya Bu Olivia dengan pandangan menyelidik.

Ivana tersenyum sinis dan memandangi ibunya dengan sedikit jijik. "Enak sekali berselingkuh ya, Bu. Karena enak sekali, kenapa nggak Ibu sekalian saja terus terang kepada Ayah? Kan habis itu, Ibu bisa langsung meresmikan hubungan Ibu dengan si jenderal Belanda itu!"

Bu Olivia sungguh tidak tahan direndahkan dan dicerca oleh putri kandungnya habis-habisan seperti itu. "Pokoknya kau takkan memberitahu ayahmu apa yang kaulihat malam ini bukan? Aku masih membutuhkan status suami istri dengan ayahmu. Aku tidak ingin berstatus janda dan menanggung malu apabila ayahmu tahu tentang hal ini dan memutuskan untuk bercerai denganku. Mengerti kau kan, Ivana?"

Bu Olivia sedikit mengguncang kedua bahu anak perempuannya.

"Kau terlalu kejam, Bu! Kau sangat kejam! Pergilah dari hadapanku sekarang! Tenang saja… Aku takkan mengatakan pada Ayah apa yang aku lihat pada malam ini. Itu terlalu kejam dan aku tak bisa melakukannya. Tenang saja… Ibu masih aman dengan selingkuhan Ibu itu – si jenderal Belanda. Sampai jumpa, Ibu Pengkhianat!"

Bu Olivia tampak meneteskan beberapa bulir air matanya. Dia berbalik badan dan meninggalkan anak perempuannya. Maafkan Ibu, Ivana… Ibu memang tidak pernah menyetujui perjodohan Ibu dengan ayahmu oleh kakek nenekmu. Ibu sama sekali tidak mencintainya. Ketika bertemu dengan Ambrose Vanderbilt itu, ia benar-benar membuat Ibu merasa menjadi wanita sejati. Dia menghargai Ibu sebagai wanita, memberi Ibu uang, kekayaan, perhiasan, dan segala kenikmatan hidup yang tak bisa Ibu dapatkan ketika bersama ayahmu. Namun, Ibu juga tidak ingin menjadi janda dengan diceraikan ayahmu begitu saja. Ibu tak mau menanggung malu. Harus Ibu akui Ibu memang seorang wanita yang egois. Maafkan Ibu, Ivana… Maafkan Ibu…

Sementara itu, Jenderal Ambrose mulai kehilangan kesabarannya karena dicerca terus-terusan oleh tiga sahabat The Amazing Boys.

"Seorang jenderal Belanda lagi… Berselingkuh dengan seorang China yang sudah bersuami…" tampak senyuman skeptis Boy Eddy yang menghina.

"Kau ada pikir panjang tidak sih mengenai akibat dari perselingkuhan ini?" Kenny Herry juga mencerca Jenderal Ambrose habis-habisan.

"Aku adalah seorang jenderal petinggi di sini. Terlebih lagi, aku adalah laki-laki. Aku takkan menanggung malu apa-apa." Jenderal Ambrose masih berusaha tampil setenang mungkin di hadapan ketiga sahabat The Amazing Boys.

"Oke… Besok artikel mengenai perselingkuhanmu akan terbit di majalah dan koran Tanah Deli ini. Koran dan majalah itu bukan hanya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa Inggris dan Belanda. Kita lihat bagaimana reaksi orang-orang dari bangsamu sendiri jika mereka tahu kau sudah menghabiskan banyak kas negara untuk perempuan yang asli bumiputra negeri ini," terdengar tawa renyah Boy Eddy.

"Kau berani?" tampak gigi-gigi Jenderal Ambrose yang bergemelutuk.

"Kalian jangan macam-macam di sini! Aku akan segera menemukan bukti kalianlah dalang dari semua perampokan bank dan pabrik-pabrik kami! Kalian jugalah otak di balik kerusuhan yang terjadi di Tanah Deli selama ini. Aku akan segera menemukan bukti-buktinya dan kalian akan dijatuhi hukuman mati!"

"Meski ini hanya tanah jajahan, tetap perlu bukti untuk menangkap dan membinasakan seorang pemberontak bukan? Hati-hati jika bicara, Pak Jenderal… Kami bisa membuatmu kehilangan hak untuk memakai seragam yang sedang kaukenakan itu," tampak sebersit senyuman sinis di sudut bibir Kenny Herry lagi.

Jenderal Ambrose Vanderbilt terdiam seketika. Dia tahu posisi dan status Kenny Herry di antara golongan pengusaha yang menguasai jalur bisnis di Tanah Deli. Dia tidak berani bicara banyak lagi karena waktu itu dia masih belum memiliki sejumlah bukti konkret yang lengkap.

"Sebaliknya… Apakah beberapa foto ini bisa menjelaskan perselingkuhanmu dengan Bu Olivia?" Boy Eddy menyelipkan beberapa foto warna hitam putih ke dalam saku kemeja seragam Jenderal Ambrose.

Jenderal Ambrose mengeluarkan foto-foto itu lagi dan matanya seketika membelalak lebar melihat foto-foto adegan telanjangnya dengan Olivia Pangdani di dalam kamar hotel beberapa saat sebelumnya.

"Dari… Dari mana kalian mendapatkan foto-foto ini? Kalian bahkan memiliki modal untuk membeli kamera?" Jenderal Ambrose menyipitkan sepasang matanya. Dia sungguh tidak bisa percaya pada foto-foto yang ada dalam genggaman tangannya pada saat itu.

"Hah…? Brose! Brose! Foto ini… Foto ini…" Bu Olivia yang baru saja kembali kepada sang jenderal selingkuhannya juga terjengat di tempatnya karena kini tiga sahabat The Amazing Boys sudah memiliki sejumlah bukti konkret atas perselingkuhannya.

"Mau kalian apa sekarang?" tanya Jenderal Ambrose dengan nada dingin.

"Gampang saja… Dengan sistem barter saja…" Kenny Herry tersenyum sinis lagi.

"Apa maksudmu?" Jenderal Ambrose kurang bisa mengerti taktik pikiran Kenny Herry.

"Satu barang ditukar dengan satu barang lainnya. Rahasia kalian aman bersama kami. Kami pastikan takkan diketahui oleh masyarakat Tanah Deli ini. Namun, kalian harus menarik para prajurit dan polisi Belanda yang akhir-akhir ini berkeliaran di depan gedung 3P kami. Gampang kan?" Jacky Fernandi tersenyum ringan di depan Jenderal Ambrose dan Bu Olivia.

"Bagaimana ini, Brose? Jika sampai foto-foto ini tersebar ke koran atau majalah kita, habislah semuanya… Aku tak sanggup hidup menanggung malu, Brose. Bagaimana ini?" Bu Olivia mulai didera panik dan gelisah.

"Oke… Aku akan menarik semua prajurit dan polisi Belanda yang berpatroli di depan gedung 3P kalian. Namun, jika sempat saja kalian membocorkan rahasia hubungan kami ke masyarakat, kalian akan tahu sendiri apa akibatnya."

Sorot mata siaga memancar dari kedua bola mata Jenderal Ambrose yang mendelik tajam.

"Tidak masalah… Rahasia kalian aman di tangan kami…" sahut Jacky Fernandi.

"Asalkan kalian bisa bekerja sama, kami juga akan sekooperatif mungkin. Tenang saja, Pak Jenderal…" sambung Boy Eddy dengan nada antusiasme dan sinisme yang saling bercampur baur.

"Mari kita pergi dari sini, Olivia…" ujar Jenderal Ambrose.

Kedua sejoli selingkuhan itu berlalu begitu saja. Kenny Herry dan Boy Eddy kembali ke kerumunan masing-masing. Mereka tampak kembali berbaur dengan teman masing-masing dalam bar tersebut. Ivana melihat ibunya sudah keluar dari bar dengan si jenderal Belanda itu. Dia kembali menghampiri sang suami.

"Apa yang terjadi?" tanya Ivana sedikit cemas. "Si jenderal Belanda itu tidak bertindak apa-apa bukan? Mana tahu dalam keadaan terpojok, dia sempat kalap atau apa…"

Jacky Fernandi menggeleng lembut, "Dia tidak berani berbuat apa-apa terhadap kami, Sayang… Beberapa anggota 3P kita sempat mengambil beberapa foto mereka saat mereka sedang bermesraan di dalam kamar hotel tadi. Dengan foto-foto itu, kartu AS masih ada di tangan kita, Sayang…"

Ivana mengangguk agak tenang sekarang.

"Really really sorry, Ivana Sayang… Sorry… Sorry… Kami terpaksa menyimpan dulu foto bukti perselingkuhan Ibu. Jika tidak ada foto yang menjadi kartu AS kita itu, kita semua akan berada dalam bahaya, dan bahkan klub 3P kita juga akan berada dalam bahaya."

Ivana mengangguk menenangkan.

"Ku berdiri dalam termangu… Hidup kini dalam belenggu… Ku tak bisa menyalahkanmu… Karena kau juga memiliki alasanmu…" kata Ivana dengan sebersit senyuman hambar.

"Orang kaya bertemu orang kikir… Selalu menghina tidak berpikir… Akan ada pelangi setelah petir... Semua ini pasti akan berakhir…" balas sang suami dengan satu pantun yang begitu menenangkan.

Si istri hanya tersenyum hambar lagi. Dia menenggelamkan diri dalam pelukan sang suami. Memang pasangan suami istri baru itu diam-diam menjadi pusat perhatian para tamu yang ada dalam bar hotel mewah tersebut. Semuanya mengagumi kedekatan, romantisme dan cinta yang ada di antara pasangan suami istri tersebut.

Sayap-sayap cinta kembali menyelangkupi jiwa sanubari Jacky Fernandi & Ivana Pangdani.