webnovel

Bagaimana Mungkin Aku Adalah Raja Iblis?

Seorang siswa SMA bernama Devan Steviano menjalani kehidupan sekolahnya yang monoton. Ia menyukai kehidupan klise yang ia jalani setiap harinya. Suasana damai adalah yang ia nikmati. Merasakan damai dengan setiap bagian dari tubuhnya. Namun, itu semua berakhir. Seorang pria datang berlutut di hadapannya. Mengatakan kalau ia adalah Yang Mulia dan sudah ditunggu kebangkitannya. Bukan itu saja, tujuh orang siswa tiba-tiba berpindah ke sekolahannya. Semua rahasia akhirnya terungkap. Mereka mengatakan kalau ia adalah Raja Iblis. Apa yang terjadi pada Devan? Apa dia akan mengambil takhtanya sebagai Raja Iblis?

Fatahin_Haqi · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
5 Chs

Chapter 5. Olahraga Yang Kacau

Semua siswa berbaris di lapangan yang luas ini.  Tiga puluh enam siswa membentuk enam barisan dengan 6 orang di masing-masing barisan. Aku berada di barisan kenam diurutan ketiga. Ini menurutku tempat berdiri yang pas. Karena di atasku ada sebuah pohon yang menghalangi sinar matahari. Jadi, aku tidak perlu repot-repot kepanasan.

Di depan, belakang, dan sampingku adalah murid-murid pindahan. Entah kenapa, mereka semua seperti menempel padaku. Terutama Desi yang berada persis di samping. Ia berdiri di sampingku, sangat menempel hingga membuatku heran. Bukan itu saja, Desi mendekap lenganku di payudaranya. Ya, aku menyukai ini. Tapi, bukan waktunya untuk menikmati payudara wanita.

"Desi! Bukankah kau terlalu menempel padanya?" tanya Bella yang berada di belakang Desi.

Seperti biasa, Bella nampak lesu. Kantung matanya yang hitam menutupi kecantikan wajahnya. Itu mengingatkanku dengan karakter utama anime yang suka bermalas-malasan. Tapi, karakter utama itu laki-laki, sedangkan Bella perempuan. Apalagi, Bella ke lapangan digendong oleh Feri. Itu mirip seperti karakter utama anime itu.

"Benar. Kau seperti l*nte yang sedang merayu om-om," timpal Viani yang berada di belakangku.

Oke, sekarang aku dianggap sebagai om-om. Selanjutnya apa?

Akhirnya, Desi melepaskan lenganku dan berbaris seperti orang lain ketika guru datang. Tapi, wajahnya nampak menggambarkan ketidaksenangan karena diganggu oleh temannya. Aku bisa merasakan bulu kudukku berdiri ketika Desi menatap temannya itu dengan tatapan membunuh. Walau aku tidak bisa melihatnya, nampaknya aku bisa merasakan aura membunuh keluar dari Desi. Jelas sekali dia marah karena ucapan temannya. Aku bisa merasakan itu di setiap pori-pori kulitku.

"Pada dasarnya, Desi itu nenek moyang dari l*nte," tambah Feri dengan percaya diri.

Kenapa kau menambahkan bensin ketika api membara, idiot? Kau mau mati, kah?

Perlahan, kepala Desi bergerak dengan kaku. Itu mirip robot. Entah mengapa itu menyeramkan. Apalagi, senyum mengerikan yang dikeluarkan oleh Desi sangat-sangat mengerikan. Setiap bulu kudukku nampak menjerit dan ingin pergi dari kulitku. Ya, aku bisa merasakan aura membunuh yang keluar dari Desi seperti badai yang mengamuk. Namun, Desi hanya menatap teman-temannya sambil tersenyum. Itu cukup untuk membungkam mulut ketiga temannya itu.

Guru olahraga memasuki lapangan. Di tangan kanannya terdapat bola voli dan di tangan kirinya terdapat peluit berwarna hijau. Tidak lupa, ia menyuruh siswanya untuk membawakan kertas penilaiannya. Seperti biasa, itu tugas ketua kelas untuk membawa kertas penilaiannya itu. Tapi, kali ini gurunya berbeda. Ini guru baru dengan tubuh kekar berotot. Wajahnya cukup tampan untuk usia sekitar empat puluh tahunan. Malah, wajahnya terlihat muda.

"Oke, saya guru baru di sekolah ini. Perkenalkan, nama saya Zevan." Guru itu memperkenalkan dirinya. Namanya Zevan Trusisno. Ia merupakan guru pindahan dari sekolah antah berantah yang tidak ku ketahui dan tidak ada di Indonesia. Itu seperti sekolah yang berada di dunia lain. "Hari ini, kita akan mengambil nilai permainan bola voli. Tim berisi masing-masing empat orang."

Dengan kecepatan cahaya, tim mulai terbentuk. Orang-orang sudah membentuk perkumpulan sejak awal, jadi membentuk kelompok ketika disuruh membuat kelompok adalah hal yang mudah. Walau, terkadang ada seseorang yang tidak masuk ke dalam perkumpulan itu. Seperti diriku. Saat ini, aku tidak memiliki kelompok sama sekali. Ya, aku bukanlah orang yang suka bergaul dengan yang lain.

Tapi, ini adalah sesuatu yang di luar perkiraanku. Saat damai ketika aku tidak memiliki kelompok, kini nampaknya telah berakhir. Aku berakhir di sebuah kelompok yang buruk. Entah mengapa, aku bisa berakhir begitu saja di kelompok ini. Seakan diriku tertarik oleh arus yang tidak bisa diatasi tubuhku. Ini buruk.

Kelompok ini berisikan tiga murid pindahan ditambah diriku. Anggotanya adalah aku, Desi, Tania, dan Firman. Sedangkan murid pindahan lainnya membentuk kelompok baru yang nampaknya cukup kuat. Anggotanya adalah Feri, Bella, Viani, dan Zebian. Kelompok itu secara alami menjadi rival kelompok kami. Itu bisa aku rasakan dari tatapan yang lain. Terutama tatapan Tania yang seakan tidak mau kalah.

"Yang pertama adalah kelompok Devan melawan kelompok Feri," ujar Zevan sembari melihat kertas penilaian.

Seakan itu adalah hal alami, kami semua langsung berada di posisi masing-masing. Semua orang langsung membentuk formasi. Aku yang tidak memahami permainan voli, ditempatkan di tengah oleh Tania. Desi dan Firman berada di depan dan Tania akan berjaga di belakang. Entah ini formasi yang bagus atau tidak, aku yakin kami bisa menang.

"Kalau tahu akan seperti ini, seharusnya aku menonton anime Haikyuu," gumamku mengeluh terhadap situasi saat ini.

Di sisi lain, kelompok yang kami lawan membentuk formasi yang sama dengan kami. Viani dan Zebian berada di depan, Bella berada di tengah, dan Feri berada di belakang. Itu secara alami membentuk pertahan yang kuat sekaligus lemah. Bagian tengah bisa dibilang lemah karena dijaga oleh Bella yang terlihat malas mengikuti pertandingan ini. Pertahanan di depan kuat karena dijaga oleh Viani dan Zebian yang cukup antusias. Sedangkan untuk belakang, tidak perlu dipertanyakan lagi. Yang berjaga di sana adalah Feri, ia sangat percaya diri dengan pertahanannya.

Pritt!

Pertandingan dimulai. Kami langsung berada dalam posisi siaga. Servis dimulai dari tim kami. Yang akan melakukan servis tentu saja adalah Tania. Semangatnya terlihat sangat membara dan seperti tidak akan kalah dari siapapun. Apalagi, lawan yang dihadapinya adalah Feri yang merupakan saudaranya sendiri. Ia pasti tidak mau kalah dari Feri.

"Aku ngga bakal kalah darimu, kakak!" ujar Tania mengangkat bola voli tinggi-tinggi.

Itu adalah servis yang sangat kuat. Tapi, itu juga servis yang sangat indah. Mungkin itu karena lekuk tubuh Tania yang bagus. Ia lompat dengan sangat tinggi dan memukul bola dengan sangat keras. Senyuman terlukis di bibir mungil merah mudanya. Itu mungkin tanda kemenangan untuknya. Karena bola itu mulai mengeluarkan api.

"Pukulan Amarah!" teriak Tania sembari memukul bola itu.

Buk!

Bola voli itu melesat dengan kecepatan yang melebihi suara. Bola yang bisa dibilang ringan itu dengan cepat melalui wilayah kami dan bersiap masuk ke dalam wilayah musuh. Api membara keluar dari bola itu. Nampak berbahaya, tapi sepertinya baik-baik saja. Itu mungkin karena efek CGI yang diterapkan oleh otakku.

Viani yang melihat itu tersenyum. Ia nampaknya sudah menduga ini akan terjadi. Dengan cepat, Viani melompat sembari mengangkat kedua tangannya. Ia nampak berniat menghalangi bola api itu. Aku harap tulangnya baik-baik saja. Aku berdoa untuk keselamatan Viani.

"Halangan Cemburu!"

Sukses! Viani berhasil menghalangi bola itu dengan sangat baik. Kini, bola itu siap jatuh ke wilayah depan kami. Firman yang melihat itu langsung bertindak. Ia mengulurkan tangannya ke arah bola yang akan jatuh. Tidak lupa, senyuman percaya diri juga muncul di wajahnya.

"Desi, bersiap!" ujar Firman kepada Desi yang sedari tadi sudah siap.

Bola itu berhasil di atasi oleh Firman dan kini sedang menuju ke Desi. Desi melompat tinggi. Memperlihatkan perut mulusnya. Bahkan, aku dapat melihat lagi bra berwarna hitam yang dikenakan oleh Desi. Itu memperlihatkan tonjolan indah yang membuatku hampir mimisan. Dan Desi bersiap memukul bola itu.

"Pukulan Penuh Nafsu!"

Itu adalah smash yang indah sekaligus menjijikan. Indah karena Desi melakukan smash dengan sangat sempurna. Dari posisinya sampai tekniknya. Lekuk tubuhnya menambah keindahan smash itu. Namun, itu menjijikan karena teriakan yang dikeluarkan oleh Desi. Entah aku berhalusinasi atau tidak, pukulan itu memunculkan efek love-love yang muncul ketika tangan Desi memukul bola.

Lagi, bola itu melaju dengan kecepatan yang melebihi suara. Bola itu menuju wilayah teritori yang dijaga oleh Feri. Feri yang melihat itu dengan jelas, tersenyum dengan penuh percaya diri. Seakan kemenangan adalah miliknya, ia mulai mengarahkan pukulannya ke arah jatuhnya bola.

"Pukulan Penuh Kesombongan!"

Buk!

Bola itu kembali berapi dan melaju dengan kecepatan cahaya. Dengan cepat, bola itu menghantam wilayah kami dan menghancurkan tanah sekitar. Itu membuatku terkejut. Ini bukanlah permainan voli yang biasa kumainkan. Ini lebih seperti tragedi voli yang mungkin akan menyebabkan kehilangan nyawa jika lawannya adalah orang biasa. Untungnya, lawannya bukanlah orang biasa.

Dengan begitu, kami tidak diperbolehkan berolahraga lagi. Kami semua dihukum karena bermain terlalu bersemangat. Untungnya, hukuman yang kami alami cukup ringan. Hanya membersihkan toilet. Aku cukup bersyukur, namun juga kesal. Entah mengapa, aku dibawa ke dalam situasi ini. Satu hal yang pasti, kedamaianku sudah berakhir.