webnovel

Bab - 1

Peringatan: Alur cerita ini hanya fiksi semata, tidak ada kaitannya dengan dunia nyata.

Selamat membaca.

Rumania, 141 Masehi.

Setetes demi setetes air bening jatuh dari atas langit, awan hitam legam menyelimuti langit, menyebabkan Matahari tidak dapat memancarkan cahayanya. Pepohonan kering yang sudah tidak ditumbuhi deduanan bergoyang diterpa angin, diantaranya sudah tumbang lantaran akarnya sudah tidak kuat menopang.

Suara pedang beradu memekakkan telinga, dentingan besi tajam tersebut terdengar nyaring di penjuru kota. Bangunan-bangunan yang ada di sana terbakar habis, meninggalkan puing-puing bangunan yang warnanya sudah berubah kehitaman, beserta bau busuk menusuk indra penciuman. Sisa sedikit si jago merah yang masih membakar kayu, selebihnya sudah padam oleh air hujan.

Tanah yang ditumbuhi rerumputan halus basah akibat air yang jatuh dari atas langit dan darah kental yang bercampur, bau anyir cairan merah pekat sangat menyengat indra penciuman. Binatang ternak tidak bersalah ikut terkena imbasnya, mati mengenaskan karena tak kuasa menghirup bau tak sedap dan tidak sengaja terkena tebasan pedang yang menggila.

Sementara itu, ribuan makhluk hidup yang sedang melayangkan pedang ke arah musuh belum juga berhenti. Teriakan dan rintihan kesakitan terdengar dari orang yang sedang meregang nyawa sebelum menutup mata untuk selamanya. Masing-masing makhluk itu berpegang teguh pada prinsip mereka untuk tidak akan menyerah sampai kepala berpisah dari tubuh mereka.

Salah satu makhluk dengan netra merah menggeram, memperlihatkan gigi taringnya sebelum dirinya melesat dengan cepat, mengincar leher seorang manusia yang sedari tadi melayangkan pedangnya secara brutal pada rekannya.

Namun nahas, belum juga tujuannya tersampaikan, sebuah pedang bergagang hitam menusuk punggungnya hingga tembus ke perut , menyebabkan makhluk berkulit pucat itu menggerang kesakitan kemudian ambruk jatuh menimpa tanah yang telah basah oleh darah hitam miliknya.

Sang pelaku penikaman, pria bersurai putih juga wajah tampan yang mempesona, menarik pedangnya kembali. Netra merah menyala batu permata ruby, menatap dingin pria berparas persis dengannya yang berdiri tak jauh darinya.

"Menyerahlah, Delvaros. Pasukanmu telah menipis." Ucapnya angkuh.

Delavaros menatap nyalang ke arah saudaranya, marah mengetahui setengah pasukannya telah diberantas oleh manusia dan saudaranya sendiri.

"Apa maumu, Hermione? Mengapa kau terus menghalangiku?!" Delvaros menggeram sehingga dua taring cukup besar terlihat dari mulutnya, dia mengepalkan tangannya kuat, hingga kuku jarinya yang tajam menusuk kulit pucatnya, meminta jawaban sang saudara.

"Ini tidak benar, yang kau lakukan tidak benar. Seharusnya kaum kita dan manusia berteman baik, bukan perang!" jawab Hermione menyadarkan saudaranya yang kini sudah berubah. Tatapan pria itu berubah melembut.

"Aku tidak butuh berteman dengan makhluk lemah!"

Entah sejak kapan Delvaros berubah, yang pasti Hermione tidak menyadari perubahan sikap saudaranya.

"Delvaros, sebaiknya kita pergi sekarang, tidak memungkinkan untuk menang." Seorang pria yang juga begitu mirip dengan Hermione dan Delvaros datang, berdiri di samping Delvaros. Pedang panjangnya sudah basah oleh darah, sesekali darah hitam dan merah itu menetes.

"Baiklah, Fandarez. Suatu hari lagi kita akan kembali untuk menang." Balas Delvaros membalut belati miliknya menggunakan kain, kemudian melesat cepat dalam hitungan detik, lalu menghilang tanpa meninggalkan jejak.

"Aku masih tidak paham mengapa kau menjadi penghianat dan memilih membela kaum lemah manusia." Fandarez menyusul saudaranya setelah mengatakan kalimat tersebut untuk Hermione, terdapat raut kecewa di wajah tampan Fandarez yang dapat ditangkap Hermione.

Hermione menghela napas melihat dua saudaranya pergi begitu saja. Niatnya baik hanya untuk membangun tali persahabatan dengan manusia, namun dua saudaranya tiba-tiba memberontak. Menyerang bangsa Manusia yang tidak bersalah.

Jelas, mereka sudah melanggar aturan dari Dewa, aturan dilarang membuat kekacauan di muka bumi, dan sekarang ia sungguh merasa bersalah telah melanggar perintah dari Dewa.

"Hei, Nak. Apa kau masih hidup?"

Seorang pemuda dengan luka di sekujur tubuhnya perlahan membuka kelopak mata, walau terasa berat. Nampaklah manik hitamnya yang basah oleh air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Wajahnya begitu pucat.

Pemuda tersebut beringsut bangun dari posisinya yang tidur meringkuk, dia duduk memeluk lututnya, memandang takut beberapa manusia yang menatap penasaran di depannya. Badannya pun telah basah oleh air hujan bercampur darah.

"Mengapa anak muda sepertinya bisa berada di sini?" Pria bersurai merah dan memakai pakaian zirah bertanya kebingungan, sangat aneh mengetahui seorang lelaki muda berada di kota ini setelah seluruh penduduk telah dipindahkan ke tempat pengungsian sementara.

"Ada apa?" Hermione yang penasaran melihat orang-orang berkumpul mengerumuni seorang pemuda kucel, datang masuk ke kerumunan.

Para pria masih memegang pedang mereka yang berlumuran darah dan baju zirah kotor melekat di tubuh mereka, memberi jalan Hermione.

"Ada anak muda yang meringkuk di sini." Salah seorang dari manusia menunjuk pemuda dengan kondisi mengenaskan tersebut.

Hermione menatap pemuda yang kini juga menatapnya lekat, penampilan lelaki itu yang sangat patut dikasihani, membuatnya heran.

Luka sayatan pedang dan pukulan membiru tergambar di sekujur tubuhnya, pakaian dekil basah bercampur darah sudah tak layak dipakai, juga bau badannya yang busuk. Dan tubuh kurus kering tidak bernutrisi.

Hermione penasaran kenapa ada anak muda di sini ketika adanya peperangan hebat, tempat berbahaya seperti ini tak patut diduduki anak muda yang tidak ada keahlian berpedang atau memanah. Di tambah penampilannya yang tidak dapat di percaya untuk mengikuti perang.

"Siapa namamu?" tanya Hermione mendekatkan diri kepada pemuda bersurai hitam yang masih menatapnya takut.

"A-Aldrich." Ia menelan air liurnya, dengan gugup, Aldrich menjawab meski suaranya sempat tercekat.

"Aldrich? Nama yang bagus, mengapa kau ada di sini?"

Aldrich diam, bingung hendak menjawab apa. Raut wajahnya berubah cemas dan gundah. Pemuda itu menunduk dalam.

Pria bersurai putih itu mengalihkan tatapannya kepada para prajurit yang masih berada di sekeliling Aldrich. "Apakah ada yang mengirimnya untuk ikut berperang?!" Tanya Hermione tegas.

Kompak seluruh pria berbadan kekar menggeleng. Sama sekali tidak ada yang tega mengirim pemuda malang sepertinya untuk ikut serta melawan kaum vampir.

Melihat tidak ada yang menjawab, Hermione kembali menatap Aldrich yang masih setia diam. Pemuda tersebut beberapa kali curi pandang pada pria berkulit pucat di depannya.

Hermione menghela napas, menebak-nebak mengapa anak muda seperti Aldrich dapat berada di kota Transylvania yang sedang berada di dalam masalah.

"Apa kau dikirim ke sini oleh Delvaros dan Fandarez?" Awalnya Hermione hanya menebak saja, tetapi melihat respon pemuda itu yang mengangguk, membuatnya terkejut bukan main.

Tidak pernah menyangka, dua saudaranya tega mengirim anak muda dalam keadaan mengenaskan dan tidak bisa menggunakan senjata untuk berperang.

"Secara paksa?" Tanya Hermione sekali lagi.

Aldrich kembali mengangguk membenarkan ucapan Hermione, walaupun masih ada setitik rasa takut dalam benaknya. Takut jika pria dengan netra merah darah itu akan marah dan membunuhnya karena dia adalah pasukan musuh.

"Sepertinya dia budak yang dimanfaatkan Delvaros dan Fandarez untuk mengikuti perang." Salah seorang memberitahukan isi pikirannya mengenai Aldrich.

Hermione mengangguk menyetujui ucapan pria itu, mungkin saja anak muda ini hanya budak yang dipaksa oleh saudaranya yang tidak memililk hati. "Kalau begitu apa kau mau tinggal bersamaku saja, dari pada kembali pada Delvaros dan Fandarez?"