Sandra meraba sekelilingnya. Terasa dingin, terutama hawa pendingin ruangan yang berembus tepat di samping tubuhnya.
Dia mengerling pada badannya yang tertutupi selimut. Polos dengan banyak tanda merah di kulitnya. Seketika dia mengutuk perbuatan seseorang yang semakin ia benci.
"Kau sudah bangun Sayang? Maaf tadi ada meeting sebentar."
Bara masuk ke dalam kamar. Menampilkan deretan giginya yang rapi. Pakaiannya telah lengkap. Tidak seperti Sandra yang belum sepenuhnya sadar atas apa yang terjadi.
Kaki Bara ringan melangkah menghampiri istrinya.
"Kau butuh sesuatu?" ucapnya lirih. Terasa merdu dan tulus. Tapi Sandra menolaknya. Ia merasa ucapan Bara sama halnya dengan memintanya menandatangani perceraian mereka.
"Kau menjebakku!" sahut Sandra dengan tenggorokan yang amat kering.
"Minumlah. Kita teriak dan mendesah terlalu semangat."
Sandra menyingkirkan gelas yang terulur padanya. Rasanya sesak sekali diingatkan hal memalukan tadi. Yang paling ia benci, bahkan dirinya tadi begitu menikmati permainan Bara.
"Kau mau ke mana?"
Bara panik melihat Sandra yang berdiri dengan tiba-tiba. Belum lagi keterkejutannya pada nasib gelas yang melayang dalam sentuhan perempuan itu.
"Bukan lagi urusanmu Bara. Lepaskan! Aku hendak memakai pakaianku!"
Sandra sedikit berteriak dan memaksa Bara melepaskan cengkeramannya. Dia tidak peduli lagi dengan hal tadi. Kehormatannya telah dicuri, andai kata dia pun masih memiliki.
"Duduklah dulu di sini. Aku akan ambilkan pakaian yang baru di almari."
"Tidak perlu. Aku mau pakaianku tadi."
Bara tidak mengindahkan. Dia terus berjalan ke arah walk in closet. Tempat almari Sandra dengan sebagain isi miliknya. Sandra memang tidak membawa semua pakaiannya. Menyisakan sebagian karena tidak muat masuk kopor.
"Kau pakai ini. Ini masih punyamu. Sebulan sekali di laundry tenang saja. Baru kemarin dicuci."
Bara menyodorkan gaun santai selulut berwarna biru muda. Sandra mengingatnya memang milik dirinya. Hanya saja tangannya masih terlalu gengsi menerima.
"Ayolah San. Pakaianmu sudah robek parah. Tidak mungkin dipakai lagi."
Sandra mendesah. Terpaksa otaknya harus mengulang lagi kejadian beberapa jam yang lalu. Tiba-tiba Bara mencumbunya. Sempat menolak, lambat laun justru dia membalas lumatan pria itu.
Hingga Bara merobek pakaiannya. Sandra hanya bisa pasrah dan malah menikmati. Khas Bara yang sedang menggebu gairahnya. Sehelai benang yang mengganggunya akan ia sobek hingga menyingkir dari tubuh Sandra.
"Ayo ambil San. Kau mau mengulangi lagi? Aku telah lama berpuasa. Membayangkan tubuhmu tanpa sehelai benang membuat gairahku kembali naik," ujar Bara jujur.
Memang dia begitu memuja Sandra. Istrinya tampak begitu cantik. Dia yang telah lama tidak menyentuh perempuan tidak bisa melewatkan begitu saja.
"Terima kasih gaunnya Tuan. Tapi mohon maaf, gombalanmu barusan tidak berlaku. Seorang Bara, mana mungkin berpuasa dalam bercinta."
Sandra berlari dengan melilitkan selimut penuh ke tubuhnya. Menghindari tatapan Bara yang memang berniat menerkamnya untuk ke dua kali. Dia tidak mau lagi terjadi.
"Ugh untung masih selamat."
Sandra menormalkan debaran jantungnya yang memburu. Terasa sekali gugup saat melihat kabut gairah dalam manik mata yang selalu menguncinya. Tatapan Bara masih sama. Tapi dia tidak mau terperdaya begitu saja.
Segera dia nyalakan shower untuk membasuh, sisa-sisa Bara pada tubuhnya.
***
Bara masih asyik senyum-senyum saat mengingat momen singkat tadi. Dia begitu mendamba Sandra. Mengingatkannya lagi dan lagi. Meski hari ini Sandra harus membencinya lagi, dia tidak peduli. Toh, dia juga bisa merasakan sendiri perempuan itu masih menginginkannya.
Ingin rasanya dia masuk dalam gemericik air yang terdengar di dalam sana. Menyamaratakan perasaan yang membuncah Lantara terlalu lama tertahan. Menangisi kebodohan hingga waktu memisahkan mereka. Namun, Bara masih menghormati Sandra. Perempuan itu akan selalu terhormat di depannya.
"Kau masih di sini," sinis Sandra saat menyadari Bara duduk di tepi ranjang. Kali ini bahkan menatap intens dirinya.
"Yah sudah berpakaian," desah Bara kecewa. Dia terlalu jauh membayangkan Sandra yang keluar dari kamar mandi dengan hanya handuk yang melilit di tubuhnya. Buah dadanya tercetak separuh dan menggodanya. Seperti dulu saat otaknya masih waras.
"Jangan berpikir terlalu jauh Tuan. Memangnya ikan akan akan rela ke daratan jika tahu nayawanya terancam?" sahut Sandra malas. Untung saja instingnya benar dengan memakai baju di kamar mandi saja.
"Kau menyamakan dirimu dengan ikan?" celoteh Bara.
"Anda sepertinya jauh lebih cerewet dari sebelum-sebelumnya ya Tuan."
Bara terkekeh geli. Memang jika seseorang sedang merayu atau berpedekate ria, keahlian berbicara amat dibutuhkan. Bara sedang melakukan ini. Yang ternyata jauh lebih susah, dibanding menggoda calon kliennya.
"Aku seperti ini karenamu," ujar Bara kemudian.
Sandra hanya melengos. Tidak berminat menanggapi. Dia memoles bibirnya dengan lipstik nude. Setelah riasan sederhananya jadi, digandengnya tas tangannya.
"Kau mau ke mana?" Bara panik, terlihat Sandra akan meninggalkan dirinya.
"Sekolah Sky. Dia selesai pukul tiga sore," jawab Sandra dengan ekspresi yang tidak terbaca.
"Kalau begitu ayo."
Sandra merutuki kebodohannya lagi. Untuk apa dia berkata jujur kali ini. Seharusnya dia bisa bilang akan pulang ke apartemen dan tidur. Serta tidak mau diganggu. Dengan begitu mungkin akan bisa bebas dari lelaki yang tidak dia kehendaki.
"Ayo tunggu apa lagi? Jangan biarkan anak kita menunggu."
"Anak aku, bukan kita!" pekik Sandra tidak terima.
Bara mengelus lembut rambut Sandra yang setengah basah. Perempuan itu belum sepenuhnya mengeringkan rambut.
"Anak kita Sayang. Dia Skylar Hernandez. Tidak bisa dibantah."
Sandra melotot tajam. Mana bisa seenaknya begitu mengganti-ganti nama orang. Belum tentu juga anaknya mau.
"Namanya Skylar Lukito, Tuan Bara," ujar Sandra tidak mau kalah.
"Loh, ayahnya kan aku. Mana bisa nama keluarga beda."
Sandra hanya menghela napas kesal. Tidak berminat lagi meladeni Bara. Biarkan saja pria itu mengoceh tidak jelas. Dia tidak akan peduli.
"Aku berjanji akan mengurus administrasi putera kita segera," ujar Bara lagi sebelum mesin kendaraan hidup.
"Terserah kau. Tapi aku tidak mau menikah kembali denganmu!" ujar Sandra geram.
"Tidak masalah. Lagi pula kita belum bercerai kan. Dokumen itu tidak pernah aku tanda tangani atau bahkan aku kembalikan ke pengadilan."
Sandra melotot kesal. Lagi-lagi dia dipermainkan oleh Bara.
"Sebaiknya aku turun saja di sini Tuan. Lama-lama bisa gila, jika harus satu mobil dengan anda," ujar Sandra. Tangannya hendak melepas seat belt. Tapi urung, karena ditahan Bara.
"Jangan gegabah San. Lagi pula, kau aneh sekali dengan bahasa formalmu. Panggil namaku," sahut Bara sedikit kesal. Tangannya bahkan tanpa sadar meremas bahu Sandra kuat.
"Ck, anda yang memulai dan anda juga yang nekad. Ayolah Bara, ke mana kau tujuh tahun yang lalu?"
Sandra sekuat tenanga menahan lelehan tangis yang siap meledak. Dia masih sanksi saja mengeluarkan di depan Bara.
"Aku akan menebus semaunya Sandra. Beri aku kesempatan sekali lagi."
Nada suara Bara terasa melemah di telinga Sandra. Meski muak bisa-bisanya dia tetap mendengarkannya. Banyak pertimbangan yang dipikirkan olehnya. Terutama yang berhubungan dengan anak semata wayangnya.
Ayahnya telah salah melangkah. Apa dia juga harus salah mengambil keputusan.
***