webnovel

Chapter 42~ Dance

~Andrea ~

Aku mencoba untuk menghilangkan kegugupan dalam diriku. Saat ini aku sedang berada di mobil menunggu kakak selesai merakitkan kursi rodaku. Kyla sudah keluar dari mobil kami dan menunggu Alex dan juga yang lainnya. Aku masih tidak menyangka aku melakukan hal ini. Entah aku harus salut akan kenekatan ku atau mengutukinya. Aku menghela nafas panjang mencoba menghilangkan semua hal negatif ini.

Seseorang mengetuk kaca jendela menyadarkanku dari aktifitas yang kulakukan. Aku hendak menurunkan kaca jendela namun kakak sudah terlebih dahulu membuka pintu mobil. Dia menundukan kepalanya dengan ke dua tangan yang ada di atas mobil. Dia tersenyum lembut dan bangga kepadaku.

"Sudah siap?" Tanyanya yang tidak kujawab sama sekali. Aku memandangnya dengan tidak menyembunyikan pandangan ketakutan dan ketidak berdayaanku. Kakak melembutkan pandangannya dan memegang ke dua tanganku.

"Don't start it okay. C'mon you can do it." Ucapnya sambil menggendongku dan meletakannya di kursi roda. Aku tidak menyangka kakak hanya mengatakan itu kepadaku. Biasanya dia memakai kesempatan ini untuk membujukku dan mengatakan kata-kata manis.

"Kakak tidak mau memulai pidatomu untuk menyemangatiku?" Godaku kepadanya untuk menghilangkan nervous yang ada.

"Kau tidak memerlukannya Dre. Kau sudah siap." Serunya yang di jawab dengan serius. Entah mengapa kakak sedikit aneh hari ini. Dia tidak seperti dirinya yang biasa, dirinya yang suka bercanda.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Namun kali ini kau tidak perlu candaanku. Kau harus memulai ini sendiri Dre. Kakakmu yang tampan ini harus mengajarkanmu untuk tidak selalu bergantung kepadanya." Ucapnya sambil mengedipkan matanya. Saat ini dirinya sedang mendorongku menuju teman-teman yang sedang berkumpul di lobi. Aku tersenyum ke arah kakak. Setidaknya dugaanku salah, kakak masih tetaplah kakak yang biasanya.

"Good luck." Bisiknya di telingaku saat Kyla menghampiriku. Kakak pun memberikanku ke pada Kyla dan pergi menuju mobilnya.

"Kak Andrew tidak ikut? Kemarin aku hanya bercanda. Kakak diundang kok!" Teriak Kyla kepada kakak yang sudah berjalan menjauh. Dirinya membalikan badan dan tersenyum sambil melambaikan tangannya. Sepertinya untuk kali ini aku benar-benar sendiri tanpa kakak.

"Kakakmu marah karena kemarin?" Tanya Kyla sambil mendorongku menuju para lelaki yang berkumpul di lobi.

"Bukan, dia sedang mengajariku untuk tidak bergantung kepadanya. Sepertinya dia tahu jika dia ikut berpesta, aku akan selalu menempel kepadanya." Jawabku sambil tertawa pelan. Kyla hanya menggelengkan kepalanya.

"Wow! Kau benar-benar memakainya." Seru Tio saat melihatku menggunakan kursi rodaku. Seruannya membuatku menolehkan kepalaku ke arah mereka.

Seorang gadis yang sangat cantik berdiri di antara Tio dan juga Aldo menarik perhatianku. Dia terlihat cantik dengan gaun warna hijau yang menutupi seluruh kakinya namun dapat menunjukan kaki jenjangnya. Gaun itu tidak berlengan dan menunjukan lengannya. Dia terlihat sangat elegan. Dia tersenyum ramah ke arahku, membuatku membalas senyumnya dengan sedikit canggung.

Tidak dapat kupungkiri saat orang asing melihatku dengan kursi roda, aku merasa takut akan pandangan mereka. Namun kali ini aku dapat melihat jika gadis itu menatapku dengan tatapan kagum. Setidaknya dia tidak memberikan tatapan kasihan kepaku. Aku sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang akan aku hadapi di dalam nanti. Aku ingin menangis karena kakak memilih untuk meninggalkanku sendiri.

"Kau hebat Dre." Seru Aldo menatapku dengan tatapan bangga. Aku menggumamkan terimakasih kepadanya. Aku sedikit malu dengan semua perhatian yang mereka tujukan kepadaku.

"Ayo masuk. Semua sudah lengkap." Seru Alex sambil berjalan menuju lift. Kyla menyusul Alex, sementara Aldo mulai mendorongku. Kami pun memasuki lift, Aldo mendorongku sampai ke belakang lift dan dirinya berdiri di sampingku. Alex yang sedari tadi berdiri di depanku menghampiriku dan membisikan kata-kata di telingaku.

'Revan akan sangat senang melihatmu menuruti permohonannya.' Bisik Alex kepadaku. Dia pun tersenyum setelah membisikan hal itu dan mengacak-ngacak poniku. Untung saja saat ini aku mengikat setengah rambutku sehingga tidak terlalu berantakan. Aku menatap dirinya dengan tatapan garang dan membenarkan poniku.

Setidaknya untuk saat ini, aku memiliki semua teman-temanku yang mendukungku dari belakang. Walau harus kuakui bahwa aku sangat takut, namun rasa takut itu sedikit berkurang mengingat semua teman yang mendukungku. Tanganku kembali berkeringat saat lift sudah membawa kami menuju lantai 4. Aldo mendorongku dengan perlahan mengikuti yang lain sampai di depan pintu apaterment Rafa. Saat Alex hendak membuka pintu dengan spontan aku menghentikannya.

"Tunggu!" Teriakku menghentikan pergerakan Alex. Semua orang memandang kepadaku seperti mereka telah menduga hal ini akan terjadi.

"Mau kupanggilkan Rafa keluar?" Tanya Kyla lembut kepadaku. Aku hanya mengangguk kepadanya tidak berdaya.

"Baiklah. Aldo bisakah kau menunggu di sini bersama Drea sementara yang lainnya masuk ke dalam?" Tanyanya Alex. Aldo tidak menjawabnya, namun aku tidak begitu peduli. Saat ini pikiranku sedang dipenuhi oleh ketakutanku.

Aldo mendorongku di lorong sedikit menjauh dari pintu apatermen Rafa. Aku menutup mataku sambil menggenggam kedua tanganku dengan erat. Aku merasa seseorang berada di depanku dan dia menggenggam ke dua tanganku. Aku membuka mataku dan melihat Aldo yang sedang berlutut dan menatapku dengan senyumnya.

"Hei, kau tidak apa-apa?" Tanyanya yang aku jawab hanya dengan gelengan kepala.

"Aku tidak bisa berjanji semua akan baik-baik saja, namun kau dapat mengandalkan kami." Lanjutnya dan mengeratkan pegangannya kepadaku untuk menyalurkan kekuatan kepadaku. Aku tersenyum lembut ke arahnya.

"Hei.." Seru Rafa yang berjalan ke arah kami. Aku mendongakkan kepalaku ke arahnya. Entah mengapa saat ini aku ingin menangis di pelukannya.

"Baiklah. Aku akan meninggalkan kalian berdua di sini." Kata Aldo pamit sambil berjalan menuju apatermen Rafa.

Aku memekik kaget saat secara tiba-tiba Rafa menggendongku dan memutar tubuhku. Kakiku tergantung di depan kakinya dan ikut terputar seperti sebuah kain yang ditiup angin. Rasanya sedikit aneh karena seumur hidupku, aku belum pernah digendong seperti ini tanpa menggunakan kaki palsuku. Rafa memelukku dengan erat dan aku langsung membalas pelukannya secara spontan. Bau tubuhnya yang khas memenuhi indra penciumanku. Ini yang kubutuhkan saat ini.

"You don't know how happy I am right now. Oh God, you really doing it for me." Bisiknya di telingaku seperti tidak percaya bahwa aku benar-benar melakukan apa yang dimintanya. Kami tetap berada di posisi seperti ini selama beberapa menit. Aku mengambil kekuatan dari dirinya sebanyak mungkin di waktu singkat ini. Aku menaruh kepalaku di bahunya sambil mendengarkan dirinya yang bernafas di dekat telingaku. Aku memeluknya dengan erat sambil menutup mataku menikmati kehangatan tubuhnya.

Rafa mendudukkan tubuhnya dan bersandar di dinding sementara aku masih berada di gendongannya. Aku menenggelamkan kepalaku di atas bahunya dan memeluk dirinya dengan erat. Aku mencoba menghirup seluruh aroma tubuhnya yang menenangkan sebanyak mungkin. Rasanya begitu damai saat ini. Seluruh ketakutanku seperti menguap dengan hanya sebuah pelukan erat dari dirinya. Aku tidak dapat memikirkan apa-apa saat ini selain menyadari keberadaannya yang selalu ada untukku.

"Hei, how are you feeling?" Tanyanya sambil tersenyum lembut dan mengelus rambutku. Aku menghirup wangi tubuhnya sebanyak mungkin sebelum aku mengeluarkan kepalaku dari dekapannya dan menatap matanya.

"Scared. Anxious. Happy. Proud. I don't know." Ucapku berterus terang. Kami berpandangan selama beberapa menit. Sebelum Rafa memecah kesunyian.

"Kau siap untuk masuk sekarang? Atau kau memerlukan beberapa menit?" Tanyanya dengan berhati-hati. Aku berpikir sejenak dan aku memutuskan untuk segera mengakhirinya. Lebih cepat lebih baik.

"Kau berjanji untuk selalu bersamaku?" Tanyaku. Aku merasa tidak enak kepadanya untuk bertanya hal ini. Bagaimanapun hari ini adalah hari ulang tahunnya, tidak seharusnya aku memonopolinya seperti ini. Namun aku memerlukannya, aku memerlukannya untuk memastikan bahwa aku tidak sendiri menghadapi ini.

"Aku berjanji." Jawabnya dengan kesungguhan di matanya. Aku menganggukan kepalaku menandakan aku sudah siap untuk masuk ke dalam.

Rafa mencium keningku sebelum dirinya mengangkatku kembali dan meletakannya di kursi roda. Aku mengangkat tanganku memintanya untuk menggenggamnya. Saat ini aku butuh sentuhan dari dirinya. Dia menggenggam tangan kiriku dengan erat sementara tangan kanannya dengan perlahan mulai mendorong kursi rodaku masuk ke dalam apatermennya. Saat dirinya membuka pintu dengan otomatis aku mengencangkan peganganku ke tangannya. Dirinya meremas pelan tanganku menandakan bahwa aku tidak sendiri saat ini.

Tidak seperti bayanganku bahwa seluruh orang akan berhenti dari kegiatan mereka dan menatapku. Musik terdengar jelas dari sini. Beberapa orang yang sedang bercengkrama melihatku dengan tatapan tidak percaya, membuat mereka membisikan sesuatu kepada teman bicaranya. Sementara yang lainnya masih sibuk dengan aktifitas mereka. Beberapa anak laki-laki yang bermain play stasion dan bermain kartu, tidak menyadari sama sekali keberadaanku. Suasana disini begitu meriah. Rafa mendorongku dengan perlahan menyusuri semua ruangannya menuju dapur.

Ruang keluarga yang terdapat sofa dan juga televisi, di singkirkan ke ujung sehingga terdapat tempat kosong yang menghadap ke arah jendela kaca. Terdapat kursi-kursi yang tersebar di berbagai ruangan. Sementara area dapur di penuhi dengan beberapa botol cola, jus dan juga minuman lainnya yang tidak kukenal. Beberapa makanan cepat saji seperti pizza, burger dan juga beberapa cemilan terlihat mendampingi minuman.

Kyla dan yang lainya sedang berada di dapur dan memakan makanannya sambil bercengkrama satu sama lain. Saat Kyla menyadari kedatangan kami, aku dapat melihat matanya menyala senang. Dirinya langsung keluar dari kerumunan dan mendatangiku. Telingaku sedikit geli saat Kyla membisikan sesuatu.

"You okay?" Tanyanya yang aku sambut dengan anggukan dan juga senyuman. Dia membalas anggukanku dengan mengacungkan ke dua jempolnya.

"Let's partying!" Teriaknya sambil mengambil tangan kiriku dari genggaman Rafa dan menggerakkan ke dua tanganku mengikuti irama lagu. Kyla menggerak-gerakkan kepalanya ke atas ke bawah membuat rambut yang sudah di tatanya berhamburan keluar dari ikatannya. Aku tertawa dengan keras melihat tingkahnya.

"Yo dude, happy birth day!" Teriak salah satu teman Rafa mengalihkan perhatianku dari Kyla. Kehadiran Rafa di belakangku yang selama beberapa detik aku hiraukan, membuatku merasa bersalah. Dirinya saat ini sedang bercengkrama bersama temannya itu.

"Rev! Aku akan menculik pacarmu!" Teriak Kyla menarik perhatian Rafa. Namun sebelum Rafa mengatakan sesuatu Kyla sudah terlebih dahulu mendorong kursi rodaku menuju tempat kosong untuk menari di sana.

"Kyl! Ini bukan ide bagus!" Seruku panik saat melihat beberapa anak yang menari di sana.

Aku akan menarik perhatian saat ini. Sepertinya Kyla mengabaikan perkataanku atau dirinya sama sekali tidak mendengar apa yang kukatakan akibat suara musik yang keras. Aku mulai panik saat dirinya kembali menarik ke dua tanganku dan menggerak-gerakkannya seperti tadi mengikuti irama lagu.

"C'mon Dre! Just follow the music!" Teriaknya. Bagaimana bisa aku mengikuti musik jika saat ini aku sedang panik menatap sekitarku dengan tatapan waspada. Lama kelamaan Kyla ikut memutar kursi rodaku dan menari di sekitarnya. Hal ini benar-benar menggangguku. Pilihanku saat ini, pergi dari sini atau pasrah dan mengikuti ke inginannya.

Aku mulai mencoba mengabaikan sekelilingku dan memusatkan perhatianku kepada Kyla. Dirinya saat ini terlihat sangat menikmati lagu Never Coming Down yang dinyanyikan oleh Williamette Stone. Aku mengenali lagu ini dari salah satu film yang di angkat dari novel favoritku. Aku mencoba mengikuti iramanya dengan menggerakan kepalaku dengan sedikit kaku. Namun setelah beberapa lagu diputar aku bisa menikmatinya dan menggerakan badanku dengan bebas, walaupun pada kenyataannya gerakkanku sedikit terbatas.

Saat ini aku sedang menikmati lagu Solo oleh Demi Lovato. Aku menggerakan seluruh badanku sesuai irama. Kyla mengambil ke dua tanganku dan kami pun menari bersama. Kami menaikan ke dua tangan kami ke atas sambil tertawa. Sementara Kyla meloncat dengan tangan ke atas, aku mencoba untuk menggerakan tubuhku ke kiri ke kanan. Aku begitu asyik dengan menari sampai tidak menyadari jika beberapa orang yang ikut menari bersama kami memperhatikan kami. Mereka tersenyum ke arahku saat aku menangkap basah mereka yang sedang menatapku.

Aku mengambil nafas untuk memberanikan diri ke arah mereka. Aku mengabaikan Kyla yang sedang asyik dengan dirinya menari ke sana kemari. Aku mendorong pelan kursi rodaku ke arah mereka. Mereka yang menyadariku mendatanginya, ikut berjalan mendekat ke arahku. Beberapa muka terasa familiar bagiku, meskipun aku tidak dapat mengingat nama mereka. Aku tahu jika mereka teman-teman sekelasku.

"Hei!" Teriak salah satu dari mereka. Terdapat 4 orang yang mendekatiku.

"Hai!" Balasku berteriak.

Kerasnya musik di sini mengalahkan kelantangan suara kami. Salah satu dari mereka mengusulkan untuk pergi ke dapur untuk berbincang-bincang. Kalau dipikir-pikir, ini adalah kali pertamaku berbincang dengan teman selain sahabat-sahabatku. Hal ini adalah sebuah langkah gila karena saat ini aku sama sekali tidak memakai kaki palsuku. Entah keberanian dari mana yang aku dapatkan saat ini. Sepertinya aku kerasukan sesuatu.

"Aku tidak menyangka.." Kata salah satu gadis dengan rambut merah alaminya. Dirinya menggerakan tangan ke bawah dan ke atas ke arahku untuk menunjukan kelumpuhanku.

"Bahwa aku lumpuh?" Balasku sambil tertawa canggung. Mereka menjawabnya dengan anggukan singkat. Aku dapat melihat jika mata mereka menyorotkan keingin tahuan dan juga kebingungan.

"Ya begitulah. Selama ini aku lumpuh." Jawabku sambil tersenyum simpul. Aku mengambil salah satu jus yang ada di meja dan meminumnya untuk melegakan tenggorokkanku yang tiba-tiba terasa kering.

"Ho-how could you walk like normal people? Sorry, I mean.." Tanya seorang lagi berhati-hati. Aku tahu jika dirinya takut membuatku tersinggung dengan kata 'normal', namun aku sudah pernah mengalami perkataan yang lebih parah dari itu.

"It's okay. Well... I have my ways." Seruku secara misterius membuat yang lain mengangkat sebelah alisnya mempertanyakan jawabanku.

Kami terdiam beberapa saat. Mereka penasaran dengan kondisiku namun takut untuk menyinggungku. Aku dapat melihat itu dari ekspresi keraguan yang mereka tunjukan. Situasi diantara kami menjadi sangat canggung saat ini. Namun setidaknya ekspetasi terburukku mengenai pesta ini tidak terwujud. Hal ini jauh lebih baik daripada mereka yang menganggapku aneh dan menjauhiku. Atau malah memperhatikan diriku terus menerus sambil berbisik-bisik. Terkadang aku dapat mendengar bisikan negatif mereka, yang ternyata adalah pikiran negatifku sendiri. Namun itu semua tidak terjadi, setidaknya tidak semua mengarahkan pandangan aneh ke arahku.

"Hei!" Teriak Rafa memecah kecanggungan ini. Tanpa bisa aku tahan aku menghela nafas yang tentu saja di dengar oleh teman-teman perempuan yang ada disekitarku. Dengan segera mereka melemparkan tatapan meminta maaf dariku. Itu membuktikan bahwa mereka peduli dengan perasaanku. Satu persatu mereka pergi dengan alasan yang tentu saja dibuat-buat.

Setelah mereka pergi, aku mendongakkan kepalaku ke arah Rafa yang saat ini sedang menatapku dengan tatapan khawatir. Aku tersenyum mencoba untuk menenangkannya. Mungkin yang ada dipikirannya saat melihatku bersama anak-anak tadi adalah pembulian, hinaan? Aku tidak tahu, yang jelas pemikirannya membuatnya cemas terhadapku. Dirinya berjalan mendekat dan berjongkok di depanku. Secara otomatis dirinya menggenggam tanganku dan menciumnya sebelum meletakkannya di pangkuanku.

"I'm okay Raf." Seruku sambil sedikit tertawa melihat sorot kekhawatiran yang tidak lepas dari matanya itu. Seketika juga dirinya tersenyum lembut dan sorot kekhawatirannya hilang.

"Jadi, bagaimana? Kau menikmati pestaku?" Tanyanya. Dan tanpa menyembunyikan apapun aku menjawabnya dengan jujur.

"Sejauh ini, ekspetasi terburukku tidak terjadi. Aku masih dapat bertahan mendapat beberapa bisikan dan tatapan aneh dari sekitar." Jawabku membuat dirinya kembali khawatir, membuatku memutar bola mataku sedikit kesal.

"Itu tidak separah yang kau kira Raf. Tentu saja itu tidak separah yang aku duga akan terjadi. Aku sudah mengalami yang lebih buruk. Tenang saja, pacarmu ini adalah gadis yang kuat."

"Dan karena itu aku mencintaimu." Serunya secara tiba-tiba. He said the L word! Teriakku dalam hati. Aku ingin sekali berteriak kegirangan dan itulah yang kulakukan sekarang. Untung saja tidak ada yang menyadarinya akibat musik yang keras ini, hanya Rafa yang menatapku dengan aneh.

"Whats wrong?" Tanyanya dengan bingung melihatku tertawa dan berteriak girang.

"Apakah kau menyadarinya?" Tanyaku geli.

"Menyadari apa?" Tanyanya balik dengan pandangan menuntut jawaban.

"You said the L word." Bisikku yang anehnya dapat didengar olehnya. Hal itu membuatnya tersenyum puas dan membisikkannya lagi dan kali ini membuat pipiku semerah kepiting rebus.

Kali ini dia mendekatiku dan membisikannya secara langsung di kedua telingaku. Aku dapat mendengar suaranya dengan jelas. Kesungguhan dan cinta tertuang dari suaranya yang begitu lembut saat membisikannya di telingaku. Dia mencium pipiku dan menatapku dengan tatapan intense. Tiba-tiba dirinya menghilang dari hadapanku sebelum akhirnya kembali setelah musik Thinking Out Loud yang dinyanyikan oleh penyanyi favouriteku Ed Sheeran dimainkan. Aku sangat mengetahui apa yang akan dilakukan oleh pria yang mencintaiku ini.

"Can I have this dance?" Tanyanya yang langsung kujawab dengan anggukan. Tanpa kuduga dirinya mengangkatku dari kursi roda. Kedua tangannya berada dipinggangku, memelukku dengan erat. Sementara aku tertawa perlahan sambil mengalungkan tanganku pada lehernya.

"Aku tidak menyangka bahwa kau akan melakukan ini?" Bisiku tidak percaya. Saat ini benar-benar tidak ada jarak diantara kita, dan tatapan yang diberikannya kepadaku begitu intense, membuatku meleleh di dalam.

"Mengapa tidak? Aku menyukai jika orang yang kucintai bisa berdansa denganku. Apalagi dengan posisi sedekat ini." Bisiknya ditelingaku membuatku memukul punggungnya secara keras. Dirinya sukses membuat pipiku memerah kembali.

Kami saling bertatapan menikmati keindahan mata yang memancarkan kebahagiaan dan juga cinta. Jika di film-film romantis berkata bahwa saat ini waktu seakan berhenti, hal itu memang terjadi. Aku melupakan sekelilingku dan saat ini pikiranku dipenuhi oleh dirinya, bahkan mungkin saat ini aku tidak dapat berpikir. Jika aku terjebak didalam lingkaran waktu yang terus terulang dan tidak pernah berhenti, aku akan memilih untuk terjebak di saat ini bersama dengan dirinya. Aku harap momen-momen seperti ini akan terus terjadi kedepannya, setiap harinya dalam hidupku, dan dapat kupastikan jika aku akan menjadi orang yang berbahagia.