webnovel

Chapter 25~ The Truth

~Rafael~

"Pagi semua..." Seruku kepada teman-teman yang ada di kelas. Seperti biasa Aldo selalu datang lebih pagi.

"Sepertinya mood mu sedang bagus Rev! Apakah kau sudah berbaikan dengannya?" Tanyanya penasaran. Seketika itu juga moodku langsung hancur.

"Belum. Aku malah memperparahnya." Sahutku dengan helaan nafas sambil duduk di bangku.

"Lalu kenapa dengan mood bagusmu pagi ini?" Tanyanya heran.

"Entahlah... Tapi aku merasa sesuatu yang menarik akan terjadi hari ini." Jawabku jujur dan pagi ini aku berhasil untuk bangun lebih pagi dan membuat bekalku sendiri.

"Firasatmu biasanya selalu benar Rev. Sepertinya seharian ini aku harus menempel padamu agar dapat melihat hal menarik itu."

"Kau berkata seolah-olah selama ini kau tidak menempel padaku saja." Ledekku. Dia hanya tertawa mendengarnya.

"Kalian berbicara apa pagi-pagi begini?" Tanya Alex sambil menguap.

"Tumben datang pagi?" Tanya Aldo.

"Aku berangkat dengan ayahku." Serunya singkat dan segera menuju kursinya untuk melanjutkan tidurnya. Aku dan Aldo pun hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya.

"Dia datang." Seru Aldo setengah berbisik kepadaku. Mendengar perkataannya aku segera melihat ke arah pintu belakang.

Hari ini dia tetap sama cantiknya. Dia memakai jaket jeans dan dia menguncir setengah rambutnya. Jarang sekali dia menguncir rambutnya seperti itu. Drea langsung menuju tempat duduknya dan segera mengeluarkan novel seperti biasanya. Kelakuannya membuatku terkekeh pelan.

Aku segera datang menghampiri dirinya dan merebut novelnya. Dia melihatku dengan kesal sementara aku hanya tersenyum jahil. Aku membiarkan dirinya merebut novel itu dariku dan segera memanfaatkan hal itu untuk menyatakan permintaan maafku. Saat dirinya berdiri dan memajukan tubuhnya untuk mengambil novel, saat itulah aku mendekatkan kepalaku dan membisikan permintaan maafku.

"A.Apa yang kau bilang?" Serunya gugup sambil kembali duduk dengan novel ditangannya.

"Aku benar-benar minta maaf soal kemarin. Maukah kau memaafkanku atas semua yang kulakukan kemarin. Aku akan mentrakritmu." Seruku.

"Hmm... Baiklah. Kau berhutang sebatang coklat kepadaku." Serunya membuatku tersenyum seperti orang gila.

"Tentu saja." Seruku sambil mengacak-ngacak rambutnya gemas. I really miss her. Aku benar-benar bodoh dengan keputusanku kemarin untuk menjauhinya. Dan aku sadar bahwa aku tidak bisa jauh dari padanya.

"So? Peace?" Tanyaku sambil mengulurkan tanganku.

"Peace." Serunya sambil membalas uluran tanganku. Aku pun segera mencubit kedua pipinya dan segera kembali ketempat duduk. Sementara dirinya menggumamkan sesuatu dengan menahan senyum sambil kembali membaca novelnya.

"Kalian sudah berdamai?" Tanya Aldo penasaran.

"Seperti yang kau lihat." Jawabku sambil tersenyum tanpa mengalihkan pandanganku dari dirinya yang sedang membaca.

"Jangan melihatnya seperti itu." Seru Aldo .

"Seperti apa?" Tanyaku sambil melihat ke arahnya membuatnya tertawa.

"Kau melihatnya seperti seekor singa yang siap untuk menerkam mangsanya."

"Mungkin kau benar. Dia adalah mangsaku." Jawabku sambil mengangkat ujung mulutku.

"Kau benar-benar mengerikan." Serunya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya sementara aku hanya tertawa mendengarnya.

"Lalu bagaimana dengan rahasianya?" Tanyanya penasaran. Sejujurnya aku belum memikirkan hal itu.

"Entahlah Do. Aku akan lebih memikirkan Drea daripada rasa penasaran dan ketakutanku." Seruku sambil membisikkan kata-kata terakhirku.

"Tumben seorang pencinta misterius sepertimu menyerah seperti ini. Kau benar-benar sudah membuang rasa penasaranmu demi dirinya." Katanya.

"Kau tahu, aku benar-benar akan melakukan apapun untuk dirinya." Kataku.

Guru pun masuk tepat sebelum Aldo hendak membalas perkataanku. Pelajaran pun berlangsung cukup lama bagiku. Aku ingin cepat istirahat dan menunjukan bekalku kepadanya. Akhirnya setelah sekian lama mencoba aku berhasil membuat makaroni skotel yang enak.

Bel pun berbunyi membuatku tersenyum. Dengan segera aku mengeluarkan bekalku dan segera menuju meja Andrea. Tanpa menunggunya untuk bereaksi aku segera mengambil kotak bekalnya di loker dan segera menariknya menyusul teman-temanku menuju kantin.

"Raf! Raf!" Protesnya entah untuk yang keberapa kali. Aku pun mengalah dan menengokkan kepalaku kepadanya.

"Aku bisa berjalan tanpa perlu kau tarik-tarik seperti ini." Protesnya. Aku mengabaikan perkataannya dan segera melanjutkan perjalananku ke kantin.

"Rev, kau menariknya seakan-akan kalian akan ketinggalan bus." Ledek Tio sambil tertawa. Aku mengabaikan ledekkannya dan segera mendudukan Drea di sebelah Tio.

"Kau.... Untuk apa... Menyeretku seperti itu?" Tanyanya sambil mengatur nafasnya akibat kelelahan. Aku pun meletakan tanganku di wajahku. Bodohnya aku!

"Drea aku minta maaf. Aku benar-benar lupa jika langkahmu berbeda dengan langkahku. Maaf." Seruku sambil membuka kotak bekalku dan memberikannya kepadanya.

"Aku terlalu bersemangat agar kau dapat mencicipi bekal buatanku." Seruku sambil tersenyum kecil dan entah mengapa hal itu membuat Andrea tersenyum.

"You're so cute~" Bisiknya namun masih dapat terdengar olehku. Perkataannya itu benar-benar membuat jantungku berdetak tak karuan.

"Kau kekanak-kanakan sekali Rev!" Ledek Alex membuatku memberikan pandangan sengit kepadanya.

"Alex jangan mengganggu mereka!" Seru Kyla memarahinya. Aku memberikan senyuman kemenangan kepadanya.

"Kau benar-benar membuatnya Raf?" Tanyanya dan aku langsung mengangguk dengan semangat.

"Enakkah?" Tanyaku berhati-hati. Dia langsung menunjukan muka yang tidak enak, membuatku menundukan kepala dan menggumamkan kata-kata kasar. Tiba-tiba saja dia mengacungkan kedua jempolnya dan tersenyum.

"Enak kok. Kau belajar dari mana?" Tanyanya.

"Enak! Wah aku tidak percaya." Seru Tio.

"Kemarikan. Biarkan aku mencobanya." Seru Alex sambil menggerakan tangannya agar aku memberikan kotak bekalku kepadanya.

"Benar ini enak. Siapa yang kau bayar untuk memasak ini?" Tanya Alex.

"Hei! Aku tidak membayar siapa-siapa!" Seruku kesal.

"Kemarikan Lex. Aku ingin mencobanya." Seru Aldo. Setelah memakannya Aldo menatapku dengan tatapan terkejut.

"Kemarikan! Aku mau membuktikannya." Seru Tio. Kali ini Tio berdiam ditempat seperti tersihir oleh makaroniku.

"Reaksi kalian begitu menyebalkan." Keluhku.

"Kau tahu Rev. Makaroni ini harus kita museumkan. Karena ini termasuk salah satu keajaiban dunia!" Seru Tio dengan alaynya seperti biasa.

"Kau sangat-sangat melebih-lebihkannya." Komentarku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Kalimatmu sendiri tidak efektif Raf!" Kritik Drea.

"Dan kau terlalu perfeksionis dalam hal perkataan." Seru Kyla kepada Drea.

"Kau menyebalkan Kyl." Balasnya tanpa melihat Kyla dan mulai memakan kotak bekalnya.

"Hey Kyl! Kau jangan memarahi sahabatku seperti itu!" Gerutu Tio.

"Kau sebaiknya diam." Seru Kyla kesal.

"Terserah kau saja." Seru Tio mengalah. Setelah itu suasana di meja kami menjadi sunyi. Entah mengapa sepertinya hari ini Kyla terlihat seram sekali. Mungkin dia sedang PMS.

Bel pun berbunyi dan pelajaran dilanjutkan seperti biasanya. Membosankan. Setelah jam pelajaran berakhir, aku langsung mendapat pesan dari kak Andrew. Lagi-lagi dia mengatakan akan menemuiku setelah mengantar Andrea pulang. Aku benar-benar penasaran apa yang akan dikatakan olehnya.

Setelah pulang aku langsung kembali ke apatermen dan menunggu kak Andrew. Sambil menunggu, aku memikirkan alasan kak Andrew bertemu denganku. Sepertinya dia kemari karena Andrea. Aku jadi mengingat apa yang dikatakan dirinya kemarin. Aku masih penasaran apa yang akan dikatakannya kepadaku. Apakah dirinya memutuskan untuk memberitahukanku semuanya? Kalau benar, aku benar-benar membenci ibuku yang menelphoneku secara tiba-tiba seperti itu. Kenapa dirinya harus memberitahukan soal orang tua bodoh itu pada waktu yang tidak tepat.

Handphoneku pun berbunyi menandakan notification dari kak Andrew yang sudah berada di lobi. Aku segera turun ke bawah dan menemuinya di lobi. Selama di lift aku sama sekali tidak bisa menghilangkan rasa takutku. Apa kak Andrew marah karena aku meninggalkan Drea sendirian kemarin? Kalau iya, aku sama sekali tidak bisa mengelak dan memberitahukan alasanku.

"Halo kak." Sapaku gugup. Dia sepertinya menyadari kegugupanku.

"Kau tidak perlu setegang itu. Aku kemari mau menjelaskan sesuatu kepadamu. Aku yakin kau mengerti maksudku." Serunya tanpa basa basi.

Sekarang aku benar-benar terpaku di tempat. Kak Andrew sendiri yang akan menjelaskan semuanya kepadaku. Aku benar-benar takut sekarang. Di satu sisi setengah dariku merasa penasaran setengah mati dengan apa yang sebenarnya terjadi kepadanya. Namun disisi lain aku merasa takut. Rasanya ingin lari saja dari sini meninggalkan kak Andrew agar aku tidak mengetahui semua rahasianya.

"Baiklah. Apakah di sini ada tempat sepi? Atau kau mau berbicara di dalam apatermenmu?" Tanyanya.

"Kakak bisa bermain basket?" Tanyaku. Aku sangat bingung dan takut sekarang, jadi mungkin jika aku berbicara dengannya sambil bermain basket akan menghilangkan kecemasanku.

"Baiklah. Mari kita bermain basket." Serunya. Aku pun membawanya kelapangan basket yang ada di area taman dan menyuruhnya untuk menunggu sementara aku kembali ke apatermenku untuk mengambil bola basket dan juga memakai sepatu basketku.

"Okay! This is what you want Revan! So don't be a coward." Kataku setengah berbisik dalam perjalanan menuju area taman.

Saat kak Andrew melihatku dia segera berdiri dan berjalan menuju tengah lapang. Aku pun mulai mendribel bolaku sambil berjalan ke depan dan berhadapan dengannya.

"Aku sudah lama tidak bermain basket. Jangan berharap lebih dariku." Serunya sambil memulai gerakannya untuk merebut bola dariku.

"Jadi apa yang akan kakak bicarakan?" Tanyaku sambil berlari menuju dekat ring.

"Kau sebenarnya penasaran dengan apa yang terjadi dengan Drea?" Serunya sambil memblok tembakanku ke ring. Dia mengambil bolanya sambil mendribel menjauh dari ring. Aku tetap diam sambil berusaha mengambil bolanya menunggu dirinya melanjutkan perkataannya.

"Kau sudah tahu berapa jauh soal dirinya?" Tanyanya sambil maju melawanku.

"Aku hanya mengetahui dirinya mempunyai phobia terhadap petir dan tidak boleh terkena air." Jawabku sambil merebut bola dan berhasil.

"Kau mengetahui dirinya tidak boleh terkena air?" Serunya heran sambil terdiam membuat diriku ikut terdiam.

"Sepertinya om Jason yang memberitahukannya." Serunya menjawab pertanyaannya sendiri sambil berlari ke arahku untuk merebut bolaku.

"Apakah kau tahu mengapa dirinya tidak boleh terkena air?" Tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepalaku sambil menembak jarak jauh dan berhasil memasukan bolanya.

"Kau tahu mengapa Drea takut dengan petir?" Tanyanya sambil berlari mengambil bola dan mendribellnya ke tengah lapangan.

"Dia memberitahuku bahwa dirinya pernah mengalami kecelakaan akibat petir." Jawabku sambil berhadapan dengan dirinya.

"Drea tidak menceritakan lebih dari itu?" Tanyanya sambil merebut kembali bola dariku.

"Tidak." Seruku sambil mengejarnya dan berusaha memblok tembakannya sayangnya gagal.

"Mari kita berbicara dan istirahat." Serunya sambil berjalan ke tempat duduk yang ada di pinggir lapangan. Sementara aku mengambil bola dan menyusulnya.

"Kau sudah lelah?" Tanyaku membuatnya tertawa.

"Tidak hanya saja perbincangan kita akan jauh lebih serius dari sekarang." Jawabnya membuatku kembali gugup.

"Baiklah." Bisikku sambil duduk di sebelahnya.

"Aku akan membeli minuman. Kau ikut?" Tanyanya sambil berdiri menuju supermarket yang ada di dalam apatermen. Aku mengikutinya dari belakang dan membeli sebotol minuman isotonic.

"Akan kutraktir." Serunya.

"Baiklah kak." Jawabku sambil menaruhnya di meja kasir. Kami pun keluar dan kembali menuju taman. Sehabis menegak minumannya kak Andrew pun mulai berbicara.

"Kau tahu.. Kecelakaan itu membuat dirinya berubah. Selain dirinya phobia terhadap petir dan mobil, dia sempat mengalami hilang ingatan untuk sesaat." Mendengar Drea sempat kehilangan ingatan benar-benar mengejutkanku.

"Untungnya dia mendapatkan memorinya dengan sangat cepat. Namun bukan itu yang membuat dirinya berubah. Dia kehilangan fungsi kakinya." Tuturnya.

"Maksud kakak?" Tanyaku bingung.

"Saat kecelakaan kepalanya mengalami benturan yang sangat hebat. Dirinya sempat mengalami gegar otak dan cedera tulang belakang, sehingga saraf ditulang belakang yang mengatur kakinya sama sekali tidak bisa berfungsi. Intinya dia tidak dapat berjalan sama sekali."

"Bukankah kalau begitu kelumpuhannya tidak dapat disembuhkan? Dan... Dan kenapa sekarang dirinya dapat berjalan seperti itu?" Tanyaku bingung. Aku tahu diriku tidak pintar dalam pelajaran biologi namun untuk hal seperti itu tentu saja aku tahu. Karena kerusakan otak sama sekali tidak dapat disembuhkan oleh dokter.

"Untung saja ayah kami adalah seorang ahli kimia." Jawabnya sambil tertawa.

"Maksudnya? Ayah Drea menyembuhkannya?" Tanyaku bingung.

"Semacam itulah. Sebenarnya bukan menyembuhkan tapi dia membuat sesuatu. Dia membuat sebuah kaki palsu untuknya." Jawabnya.

"Kaki palsu? Tapi kaki Dreakan tidak buntung." Kataku keheranan membuat dirinya tertawa lagi.

"Bukan kaki palsu seperti yang kau pikirkan. Itu dibuat khusus demi dirinya. Ayahku membuat sebuat baterai yang sangat kecil."

"Dan untuk apa baterai itu?"

"Karena sarafnya tidak bisa berfungsi lagi ayah dan om Jason menemukan cara untuk mengalirkan listrik ke otot-otot dan sarafnya sehingga bisa kembali digerakan. Dalam istilah medis itu disebut functional electrical stimulation sistem (FES)." Tuturnya.

"Kak aku bukan seorang dokter ataupun pencinta biologi seperti Aldo. Jadi mohon tolong jelaskan dengan bahasa Indonesia." Selaku. Dia pun menghela nafas dan mencoba untuk menjelaskan secara pelan.

"Baterai yang diciptakan ayahku membantu Drea untuk berjalan lagi. Aliran listrik membantu saraf dan ototnya kembali bekerja. Mengerti?" Tanyanya. Aku menganggukan kepalaku walaupun aku belum mengerti sepenuhnya.

"Jadi jika kaki palsunya terkena air, hal tersebut akan membuat baterainya menjadi rusak dan akan menyengat kakinya. Walaupun ayah sudah membuat pelindung air tetap saja itu tidak dapat bertahan dalam waktu yang lama."

"Selama ini dirinya menggunakan kaki palsu itu agar dapat berjalan normal kembali." Seruku dan dirinya mengangguk.

"Dan kenapa dirinya tidak mau memberitahukan semua itu kepada kami?" Tanyaku bingung.

"Kau tahu. Kejadian itu terjadi saat dirinya masih kecil. Sehingga dirinya tidak dapat kembali bersekolah dan mempunyai teman. Bahkan saat jalan-jalan keluar rumah saja dia tidak mau. Dia berkata bahwa semua orang melihatnya dengan tatapan aneh... Sejak saat itu dia tidak mau keluar rumah lagi. Dia membenci tatapan yang orang-orang berikan saat bertemu dengannya." Tuturnya. Mendengar itu aku merasa kasihan padanya.

"Jangan sekali-kali kau merasa kasihan kepadanya." Seru kak Andrew tiba-tiba mengagetkanku.

"Pandangan yang diberikan semua orang itu kepada Drea adalah pandangan kasihan. Dia sangat membencinya. Selain itu dia tidak mau kalau kalian menjauh dirinya karena dirinya hanya seorang yang cacat." Serunya.

"Kami tidak akan pernah menganggapnya seperti itu." Sergahku cepat.

"Aku percaya dengan kalian." Balasnya. Terjadi keheningan di antara kami. Saat ini aku sedang mencerna semua informasi ini dan kak Andrew sepertinya mengerti.

"Aku ingat saat pertama kali dirinya pulang ke rumah. Dia sama sekali tidak mau dibantu untuk melakukan aktifitas apapun karena dirinya tidak mau dianggap sebagai orang cacat. Dia sangat-sangat keras kepala. Jadi aku sarankan setelah ini jangan ubah pandanganmu terhadapnya. Walaupun begitu aku minta tolong untuk menjaganya. Walau dia berkeras kepala untuk tidak mau dibantu dia tetap adikku yang ceroboh." Serunya sambil terkekeh.

"Entahlah kak. Sekarang aku tidak tahu apakah aku benar-benar dapat dipercaya untuk menjaganya." Seruku jujur. Aku kembali mengingat kejadian waktu di taman bermain. Saat itu aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa untuk membantunya.

"Jangan meragukan dirimu sendiri dan jangan merusak kepercayaanku juga!" Serunya.

"Baiklah akan kuusahakan." Jawabku sambil tersenyum lemah.

"Kau tahu awalnya juga aku sepertimu. Merasa tidak bisa apa-apa saat melihat adik kecilku menangis sambil memukul kakinya dengan segala benda yang ada disekitarnya. Rasanya lebih baik aku saja yang kehilangan kakikku. Tapi saat dirinya sudah cukup dewasa untuk menerima semuanya, dia berkata kepadaku bahwa dirinya masih lebih beruntung daripada orang diluar sana yang bahkan mungkin tidak bisa keluar dari tempat tidurnya dan harus menderita sepanjang hari. Dia bahkan tertawa saat mendengar aku berbicara seharusnya aku yang lumpuh itu." Tuturnya. Saat ini kak Andrew terlihat sangat sedih.

"Bermain lagi?" Tanyaku mencoba untuk keluar dari perbincangan kami yang membuatku dan dirinya sedih.

"Baiklah." Serunya.

Aku pun menghabiskan hari ini dengan bermain basket dengan kak Andrew sambil memikirkan semua informasi yang baru saja kudapatkan. Aku memutuskan walau bagaimana pun pandanganku terhadapnya tetap sama, bahkan jauh lebih hebat lagi.